Hujan deras di siang hari tak menghalangi para relawan pengajar dari VTIC (Volunteerism Teaching Indonesian Children) Foundation untuk tetap berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia. Tepat pukul 16.30 waktu Kuala Lumpur kami disambut oleh Diplomat RI atase Pendidikan, Prof. Ari Purbayanto, untuk melakukan diskusi terkait nasib pendidikan anak-anak buruh migran di Malaysia.

Penemu mesin pemisah tulang ikan dan daging ini sangat bangga sekali menyambut 44 relawan pengajar dari 27 universitas di Indonesia. “Saya sampai geleng-geleng, kalian datang ke Malaysia untuk program yang mulia ini. Kalian adalah penerus generasi bangsa!” ujarnya. Lulusan Maritime Technology di Tokyo University berpesan bahwa generasi muda harus meningkatkan profesionalisme sesuai bidang masing-masing, karena ini merupakan sebuah pengorbanan atau dedikasi yang luar biasa untuk bangsa.

Dalam diskusi antara para relawan dan diplomat RI, Ahmad Adib, Ketua VTIC Foundation menyampaikan harapan-harapan untuk program VTIC Cycle dan VTIC Training yang akan dilakukan dari tanggal 3-23 Agustus 2015 di Serawak, Malaysia. VTIC Cycle akan berfokus pada kegiatan belajar mengajar para relawan di Sekolah Non Formal, sedangkan VTIC Training akan berfokus pada kesehatan dan psikologis para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Serawak.

“Kami berharap KBRI dapat mendukung diadakannya sekolah setingkat SMP dan SMA untuk anak-anak buruh Migran di Malaysia,” kata Adib. Selain itu, Adib menambahkan bahwa jumlah anak-anak buruh migran kurang lebih ada 20.000 jiwa, tetapi hanya 4% yang diizinkan untuk bersekolah. Harapan lainnya, semoga pihak KBRI bisa terus menjalin kerja sama dengan VTIC Foundation untuk mendukung pelaksanaan program-program VTIC.

IMG_0357

Ari Purbayanto mengatakan bahwa telah ditandatangani PERBER (Peraturan Bersama) antara pihak pemerintah Indonesia dengan pihak KBRI untuk berkomitmen terkait penyelenggaraan pendidikan di luar negeri. Pemerintah Indonesia menjamin mutu pendidikan anak-anak Indonesia di luar negeri. Namun, PERBER tidaklah berjalan sinergis dengan pihak pemerintah Malaysia. “TKI yang berkatagori Non Profesional tidak diperbolehkan menikah dan memiliki anak-anak atau membawa keluarga,” jelas Ari terkait peraturan dari pihak pemerintah Malaysia.

Pemerintah Indonesia hanya dapat mendirikan International School ataupun Sekolah Indonesia-Malaysia, namun syaratnya adalah sekolah tersebut hanya diperuntukkan untuk anak-anak Indonesia yang mempunyai sertifikat kelahiran atau akta kelahiran. “Yang menjadi masalah besar adalah anak-anak buruh migran adalah anak-anak ilegal. Mereka hanya diizinkan bersekolah sampai setingkat SD, yaitu dari umur 0-12 tahun. Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk meminta sampai umur 15 tahun untuk bisa mendapatkan hak pendidikan. Sabah sudah mengizinkan anak-anak buruh migran bisa bersekolah sampai setingkat SMP. Namun, di Serawak belum,” ungkap Ari. Setelah lewat dari usia 12 tahun, anak-anak buruh migran menjadi pekerja ilegal di ladang-ladang kelapa sawit seperti orangtuanya.

Diplomat RI atase Pendidikan juga menekankan bahwa bagaimana menyadarkan orang tua (buruh migran) tentang pendidikan tinggi untuk anak-anaknya. Setelah anak-anak bersekolah sampai tingkat SMP, mereka harus siap dipisahkan dari orang tua untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi lagi di Indonesia, maka anak tersebut akan menjadi anak-anak legal. Jika orang tua tetap membiarkan anak-anak mereka untuk bekerja di ladang, kapan pun mereka bisa saja dideportasi.

Anak-anak buruh migran seperti berada di dalam penjara. “Bahkan mereka dilarang untuk mendekati jalan beraspal agar tidak ketahuan bahwa mereka adalah anak-anak ilegal bagi pemerintah Malaysia,” pungkasnya.

*Tulisan ini merupakan resume dari diskusi antara KBRI untuk Malaysia dengan 44 relawan pengajar VTIC Cycle 4 pada tanggal 2 Agustus 2015.

Wahai engkau pemuda pembangun peradaban, adik-adik kita membutuhkan dukungan dari kalian semua!

Categorized in: