Era teknologi modern memungkinkan masyarakat saling berinteraksi tanpa di batasi ruang dan waktu, sepaham dengan arti globalisasi. Social Media banyak diciptakan dan semakin menambah jumlahnya. Dengan perbedaan fungsi yang tidak terlalu signifikan dari setiap social media yang ada, ambil contohnya dahulu orang-orang mengenal Friendster dimana setiap orang dapat membuat profil pribadi dan diiringi pesan yang dapat di tulis siapa saja di “wall” Friendster tersebut. Karena kurangnya kebutuhan akan privasi, orang-orang meninggalkan Friendster dan beralih ke Facebook yang memungkinkan untuk menyeleksi permintaan pertemanan.

Kemudian muncul Twitter dan dianggap lebih menarik karena interfacenya lebih sederhana dibandingkan facebook. Demikian juga dengan social media yang muncul belakangan, tetap menjadi daya tarik bagi kaum muda untuk terus mencoba memakai satu social media ke social media yang lain. Inilah era postmodernisme, dimana suatu hal dapat mudah sekali terganti dengan suatu hal yang baru jika hal tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan hal yang yang lain. Fungsi utama yang tadinya hanya untuk menambah pertemanan di dunia maya, kemudian digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Eksistensi dapat dijabarkan secara sederhana menjadi dua hal, yaitu eksistensi adalah apa yang ada dan juga eksistensi adalah apa yang dimiliki.

Mulai dari presiden hingga anak setingkat Sekolah Dasar pun masing-masing memiliki akun di social media. Tengok Ridwan Kamil sebagai walikota Bandung dan Kang Yoto sebagai bupati Bojonegoro, pemakaian social media menjadi alat untuk berinteraksi dengan warganya (membaca keluhan, memperbaharui info kewilayahan, dan merespon). Atau anak muda yang tergabung dalam akun Indovidgram dan FilmMakerMuslim yang menjadi contoh anak-anak muda untuk berkarya.

Jadi social media dapat berfungsi memperkenalkan atau meningkatkan “personal branding” jika diisi dengan hal-hal yang sifatnya positif. Apa itu personal branding? Semua orang memiliki personal branding masing-masing. Dimana secara sederhana dapat diartikan “personal branding” adalah bagaimana manusia dikenal oleh manusia lainnya. Sebelum memiliki personal branding, manusia akan mencari eksistensi yang merefleksikan posisinya di masyarakat. Namun yang terkadang terjadi di era post modern ini adalah sulitnya membedakan dunia maya dengan dunia nyata.

Munculnya “akun-akun kebablasan mencari eksistensi” yang banyak dimiliki oleh anak muda generasi Z (anak-anak yang lahir di atas tahun 1994). Maksud dari pemakaian kata “kebablasan” adalah akun-akun tersebut berisikan kehidupan pribadi yang diposting tanpa memperhatikan mana yang masih boleh diketahui oleh orang lain dan mana yang sudah masuk ke dalam privasi. Terlebih mirisnya lagi, jika sudah terlanjur “kebablasan” memposting sesuatu yang dianggap aib di masyarakat, maka akun-akun ini justru bukannya malu malah mencari massa di social media untuk membenarkan aib tersebut menjadi sesuatu yang disebut “rahasia umum”. Tentunya ini sebagai cerminan untuk masyarakat melihat kondisi generasi yang dominan di zaman sekarang dan ikut serta memperbaikinya karena mereka adalah masa depan Indonesia.

Apakah social media hanya digunakan sebagai pencarian eksistensi yang bersifat personal? Tentu tidak karena fakta yang menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu peringkat pemakai social media tertinggi di dunia, menjadi peluang untuk melihatnya sebagai target pasar yang luas. Diambil dari segi ekonomi, maka social media dimanfaatkan untuk mencari rupiah. Yang paling sederhananya untuk pebisnis pemula (startup) adalah social media menjadi ladang untuk promosi dan pengenalan produk yang biasanya berupa katalog digital. Terlebih untuk perusahaan menengah dan besar, social media menjadi media komunikasi untuk customer dan meningkatkan kepercayaan di masyarakat.

Lahirlah banyak istilah baru di masyarakat, seperti copywriting ( teknik menghasilkan tulisan yang membuat pembaca memberikan respon yang kita inginkan/ biasanya di pakai untuk membuat jarkoman iklan), promote paid (bayaran yang diterima oleh pemilik akun social media ketika masyarakat ingin mengiklankan produk mereka), endorsement (memberikan produk secara cuma-cuma untuk promosi), dan sebagainya. Selalu ada dua sisi di setiap hal. Jika secara personal muncul “akun-akun kebablasan”, maka dari segi ini muncul akun-akun yang membuat sensasi demi mendapat rupiah. Yang biasanya menyinggung SARA dan pornografi. Tanpa disadari justru masyarakat juga ikut membuat akun tersebut semakin terkenal.

Ambil contoh satu akun Instagram yang mengambil foto-foto wanita secara sembarangan lalu menuliskan caption yang berisikan pornografi. Mereka yang yang penasaran akan membuka akun tersebut, kemudian tidak setuju adanya akun seperti itu dan berusaha mengingatkan teman-temannya yang lain. Dari proses mengingatkan ini, maka siklus tadi berulang. Semakin banyak orang yang penasaran dan membukanya, maka memang inilah tujuan si pemilik akun tersebut. Adanya celah untuk orang-orang yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan akun tersebut yang dilihat banyak orang. Termasuk wanita-wanita di foto tersebut bisa menjadi “pelaku” yang mengaku sebagai “korban”.

Akhirnya pemakaian social media baik untuk personal, bisnis, ataupun keduanya haruslah dimanfaatkan secara cerdas dan tidak berlebihan. Mencari eksistensi untuk membuktikan keberadaan diri di masyarakat menjadi penting jika memberikan perubahan yang berarti. Bukan hanya sekedar menunjukkan kepada umum “siapa diri kita” dan “apa yang kita miliki”. Karena era postmodernisme berarti kewaspadaan untuk dapat menyaring mana yang nyata dan mana yang maya. Mengurangi jam pemakaian social media dalam sehari untuk lebih berkontribusi di dunia nyata adalah pembuktian eksistensi yang sejati. Menjadikan social media sebagai fitur penunjang dalam berbisnis ada baiknya dimaksudkan untuk melakukan kebermanfaatan dan hindari memakai cara-cara yang dilarang dalam norma masyarakat. Jadi, bagaimana social media mendeskripsikan dirimu di masyarakat?

Oleh: Nurfitria (FE)

Categorized in: