Aku berfikir maka aku ada
Dan di sini saya pun mulai mencoba menggambarkan keadaan yang terjadi di sebuah negeri yang sangatlah kaya, sebuah negeri di mana banyak orang berkata bahwa tempat ini diciptakan pada saat Tuhan sedang tersenyum, sebuah negeri yang katanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Namun saat ini terasa senyuman di negeri ini telah di renggut, yang ada hanyalah senyuman palsu segelintir golongan yang mengafirmasi kesadaran masyarakatnya. Semua dimulai di masa lalu di mana semenjak adanya kepemimpinan rezim yang sangat mendukung masuknya banyak modal asing dan liberalisme. Sebuah rezim yang sangat diktator yang membungkam semua kebebasan masyarakatnya termasuk media massa.
Memang cara yang dilakukan pada saat rezim masa lalu tersebut bisa dibilang sangat sadis, dimana banyak orang hilang dan tidak ditemukan keberadaanya dan jika ditemukan sekalipun sudah tidak bernyawa, para demonstran yang ditembaki dan dipenjarakan, dan praktik KKN yang menggeliat, pengeksploitasian kekayaan negara yang hasilnya sebagian besar dinikmati asing, serta kebebasan berpendapat yang sangatlah dibatasi sangatlah menyiksa juga membuat terkikisnya senyuman dari negeri yang kaya ini. Namun saat ini keadaannya sudah berbeda adanya aksi massa yang dipelopori oleh kaum muda yaitu para mahasiswa menghasilkan sebuah harapan baru tentang kebebasan. Akan tetapi apakah sudah dirasakan kah kebebasan yang hakiki serta pemenuhan hak-hak tersebut? Atau Apakah hanya menjadi suatu angan-angan belaka dan terjadinya penindasan baru?
Jika kita merujuk perkataan dari “Syahid Qutb” bahwa sebutir peluru yang menembus kepala hanya akan membunuh ku tapi tulisan dan buah pikiran ku akan menembus jutaan kepala orang maka dapat dikatakan bahwa buah pikiran dan karya dari manusia merupakan senjata yang sangatlah ampuh untuk mempengaruhi banyak orang, dan melalui peran teknologi dan media buah pemikiran serta karya tersebut tersampaikan kepada masyarakat luas. Namun yang perlu dicermati dari media adalah bagaimana dan sejauh mana keberpihakannya? Jika dahulu media masih termasuk kedalam bagian dari civil society namun setelah lahirnya reformasi juga kebebasan berpendapat mulai bertambah menjamurnya berbagai media massa swasta baik cetak maupun elektronik yang tentu saja dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki modal besar dan tujuan berbeda di dalam keberlangsungan berjalannya media tersebut. Maka dari itu posisi dari media saat ini berubah tidak hanya menjadi civil society seperti dimasa lalu namun kini berada diantara state yang berhubungan dengan politik, market yang di dalamnya berhubungan dengan kepentingan bisnis, serta society yang berhubungan dengan masyarakat.
Pada saat ini banyak terjadi kejadian yang merupakan buah dari suatu kebijakan yang membatasi kebebasan dan mengafirmasi pemikiran masyarakat. Hal tersebut tentu dapat berdampak besar kepada pola pikir masyarakat. Salah satunya seperti bagaimana adanya pembatasan waktu dan tempat untuk menyatakan pendapat serta aspirasi yang membatasi kebebasan yang telah tertera dalam Undang-udang di negeri ini yaitu Undang-undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, hal tersebut bisa saja berdampak dan bisa saja dimanfaatkan oleh golongan yang terancam untuk bertujuan melemahkan aksi massa dan memberikan kekuatan untuk mengacaukan serta membubarkan aksi masa itu sendiri, sehingga rezim yang berkuasa terframing tetap baik dan dikatakan hanya menjalankan aturan yang ada serta kepentingan masyarakat lainnya. Tentulah peran media dan keberpihakan media sangatlah berpengaruh kepada sejauh mana framing dan propaganda dari suatu kekuasaan akan berjalan baik ataukah masih ada hati nurani dan idealisme dari proses penyampaian berita tersebut sehingga menyampaikan fakta lapangan yang berimbang dan tidak berpihak kepada rezim maupun kekuasaan tertentu.
Mungkin seringkali bisa digambarkan keberpihakan media-media saat ini melalui berbagai pemberitaan apakah baik dan atau malah condong negatif terhadap aksi-aksi yang selama ini dilakukan terutama dari mahasiswa sangat yang lemah dalam memiliki kapital yang seperti dikatakan “Pierre Bourdieu”, yaitu kapital ekonomi yaitu uang dimana mahasiswa berada pada posisi gluten borjuis atau menuju borjuis di mana mahasiswa tidak memiliki kekuatan modal untuk menguasai media dan propaganda media massa yang memiliki pengaruh besar di masyarakat seperti televisi dan media-media berita online maupun cetak yang tentu memerlukan modal yang besar untuk membuatnya dan menjalankannya di mana saat para mahasiswa memberikan pernyataan sikap maupun ingin membangun citra positif mereka sangatlah sulit untuk di publish oleh media sehingga posisi tawarnya sangatlah lemah. Selanjutnya adalah kapital budaya di mana kapital ini memandang tentang latar belakang dan jaringan mahasiswa, mungkin memang pada sejarahnya mahasiswa memiliki latar belakang yang panjang dan berpengaruh pada perubahan yang terjadi di Negara ini dan beberapa kali menurunkan rezim seperti pada tahun 1965 dan 1998 hal tersebut jugalah yang merupakan salah satu faktor pergerakan mahasiswa dan jaringan juga organisasi mahasiswa di waspadai oleh tiap rezim yang berkuasa yang mencoba mempertahankan status quo nya untuk selalu berkuasa, dan kapital yang terakhir adalah kapital intelektual yaitu pendidikan di mana mungkin dalam kapital ini mahasiswa memilikinya namun bisa menjadi bumerang tersendiri bagi para mahasiswa seperti yang ada dalam tulisan saya sebelumnya tentang dimensi afirmatif dan prinsip prestasi mahasiswa(Dimensi Afirmatif dan Prinsip Prestasi Mahasiswa)
Mengenai keberpihakan media tersebut mungkin dapat dilihat dari aksi-aksi mahasiswa selama ini seperti pemberitaan mahasiswa Universitas Andalas yang ricuh saat menyambut kedatangan Wakil Presiden RI, Aksi mahasiswa Universitas Sriwijaya yang menuntut uang kuliah, aksi mahasiswa KAMMI menuntut penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia, aksi mahasiswa di Papua, maupun aksi tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK yang berujung pada penangkapan belasan mahasiswa. Yang terjadi di Demo BEM SI Hingga Penahanan Belasan Mahasiswa. Berikut adalah salah satu pemberitaan mengenai aksi tersebut :
“Menurut mahasiswa, polisi melakukan provokasi dengan melontarkan kata-kata melecehkan.”
Dari berita yang bersumber dari tirto.id maupun media-media mahasiswa berisi bahwa Demonstrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dalam rangka evaluasi tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Jumat (20/10) berujung ricuh. Sampai Selasa (25/10) malam, masih ada dua mahasiswa yang ditahan di Polda Metro Jaya, Muhammad Ardy Sutrisbi, asal Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Ihsan Munawwar, dari STEI SEBI.
Selain dua mahasiswa itu, sebelumnya pihak kepolisian juga menangkap 12 mahasiswa lainnya (kini sudah dibebaskan). Senin (23/10) kemarin, Polda Metro Jaya menetapkan dua tersangka baru, Panji Laksono dan Presiden BEM Universitas Sebelas Maret (UNS) Wildan Wahyu Nugroho. Keduanya telah dipanggil oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro, tetapi tidak hadir.
Apa sebetulnya yang terjadi ketika itu?
Muhammad El Luthfie Arif, Kepala Departemen Kajian Strategis (Kastrat) BEM Universitas Indonesia–bagian dari BEM SI–yang mengikuti aksi tersebut hingga selesai, bercerita kepada Tirto bahwa aksi mereka dimulai pukul 14.00 WIB. Massa aksi dari berbagai kampus di Indonesia itu berkumpul di Patung Kuda di Jalan Medan Merdeka Barat dan melakukan longmarch hingga lampu merah depan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Massa sudah tidak bisa bergerak lebih dekat lagi ke Istana Negara karena ketika itu polisi sudah memasang kawat berduri. Demonstrasi pun dilakukan di titik itu, dengan konten sebagaimana demo pada umumnya. “Ada orasi, teatrikal, dan puncaknya ‘sidang rakyat’, yang intinya meminta Jokowi mendengar tuntutan kami,” terang Luthfie, Selasa (24/10) malam.
Orasi politik selesai ketika magrib tiba. Ketika itu, BEM-SI memutuskan untuk memulangkan massa aksi perempuan, sementara BEM UI memilih untuk memulangkan semua massanya, dengan hanya menyisakan beberapa fungsionaris BEM saja.
Berbeda dengan aksi di siang hari, demonstrasi mereka dari magrib hingga malam tiba tidak riuh sama sekali. Massa, yang menurut Luthfie tinggal tersisa 200-300 orang, bertahan dengan duduk-duduk di aspal. Ketika itu Medan Merdeka Barat memang sudah diblokade polisi sejak siang.
Ketika malam semakin larut, mulai banyak polisi berpakaian preman yang berkeliaran di antara massa aksi yang memang sudah “cair”, tidak ada border hidup atau semacamnya. Satu dari polisi berpakaian preman itu sempat bertanya kepada Luthfie, yang sejak siang tidak pernah menggunakan jaket almamater, tentang nama-nama dan asal beberapa peserta aksi. “Sepertinya nanya-nanya itu karena memang untuk diincar,” kata Luthfie.
Sekitar jam 22.00 WIB, ketika massa aksi masih juga dalam kondisi duduk dengan menyalakan lilin, keadaan makin ramai. Dari pengamatan Luthfie, ketika itu sudah banyak polisi anti huru-hara, dan mobil water cannon sudah terlihat dari kejauhan. Sementara polisi yang paling dekat dengan massa aksi mulai melakukan provokasi dengan nada melecehkan.
“Enak nih, diinjeknya. Nanti nangis lagi,” kata Luthfie, menirukan celotehan polisi kepada massa aksi. Polisi-polisi ini, menurutnya, masih terhitung muda. Terlihat dari perawakan dan wajah.
Pukul 22.30 WIB, ada beberapa polisi menunggangi motor terus menerus membetot gas di belakang massa aksi. Pada pukul 23.00 WIB, polisi mulai bergerak dengan mengambil tongkat yang digunakan untuk mengibarkan bendera demonstran. Ini dilakukan dengan paksa.
“Di saat itu, massa UNJ memutuskan untuk mengakhiri aksi. Kepergian massa UNJ membuat massa aksi lain panik karena jumlah demonstran berkurang,” aku Luthfie.
Pembubaran demonstrasi terjadi setengah jam kemudian. Pertama-tama, yang dilakukan korps baju cokelat ini adalah mengurung massa aksi dari berbagai sisi dan mendesak mereka ke trotoar depan Kemenko PMK. Massa aksi merespons dengan berdiri dan mencoba bertahan.
“Di titik itu mulai ricuh. Kami didorong ke trotoar. Ada kekerasan. Saya lihat ada yang ditendang perutnya. Saya juga didorong dan ditendang. Ada yang ditarik sampai bajunya robek. Sampai di trotoar kami masih ditendang,” ujar Luthfie. Barisan massa aksi pun sudah tidak bisa dikontrol lagi, mundur ke arah Monas.
“Waktu pada mundur itu polisi masih mengikuti. Mereka bilang ‘cepat-cepat’. Sampai Patung Kuda masih diikuti. Massa pecah,” kata Luthfie. Tidak ada water cannon, atau tembakan gas air mata sebagaimana yang kerap dilakukan polisi untuk membubarkan demonstrasi.
Setelah suasana agak reda, barulah mereka tahu bahwa ada kawannya yang tidak berkumpul. Diketahui kemudian mereka diciduk polisi.
Sementara, Ketua BEM UI, Syaeful Mujab, yang juga mengikuti aksi sampai dibubarkan, mengatakan bahwa ketika kericuhan berlangsung, ada lemparan batu dari arah dalam Monas. “Ini yang membuat ada kawan yang kepalanya bocor,” katanya kepada Tirto.
Mujab adalah orang yang menyelamatkan Wildan, Presiden BEM UNS yang ditetapkan sebagai tersangka kemudian. Menurut pengakuannya, Wildan sudah diincar sejak awal karena memang ia cukup menonjol dalam demo, yang paling sering berorasi. Wildan sempat ditarik polisi sebelum dibantu Mujab.
“Yang menarik Wildan itu polisi berbaju sipil, kaos warna putih,” kata Mujab.
Sampai saat ini, keberadaan Wildan masih tidak diketahui. Mujab telah mengontaknya berkali-kali, namun tidak juga ada respon. Mujab baru kembali dari Polda untuk menjenguk Ardy dan Ihsan ketika dihubungi Tirto. Menurut Mujab, kedua kawannya ini diinterogasi dengan cukup intensif, bahkan polisi kerap melontarkan kata-kata kotor. “Meski menurut pengakuan mereka memang tidak ada kekerasan fisik,” katanya.
Polisi Membantah
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono dalam pernyataan kepada media, di Jakarta, Sabtu (21/10) membantah polisi telah memprovokasi pendemo dengan cara memukul dan menjambak sehingga terjadi keributan sebelum terjadinya penangkapan.
Menurut Argo, aparat kepolisian telah mengupayakan berbagai cara dan persuasif mengimbau pendemo menyampaikan aspirasi sesuai Undang-undang. Petugas bahkan memberikan kesempatan kepada pengunjuk rasa berdemo sejak pukul 11 siang hingga pukul 11 malam. Lantaran tidak menuruti imbauan polisi itulah, para pengunjuk rasa dibubarkan paksa Polisi seperti dalam pemberitaan CNN Indonesia dan Tribun news yang memberitakan mengenai mahasiswa yang ditangkap dan demo yang ricuh.
Tentulah pembaca bisa menilai sendiri bagaimana pola pemikiran yang terbangun oleh masyarakat terhadap aksi dari para mahasiswa dengan adanya pemberitaan tersebut.
Fauzan Indra Kusumah
Mahasiswa Sosiologi Pembangunan dan punggawa Reds 2016-2017 UNJ