Hari itu, lima hari yang lalu, tepatnya pada hari Rabu 20 April 2016. Tepat di depan singgasana “Raja” ibu kota. Kami barisan mahasiswa tak bersenjata yang hanya mengandalkan suara, berteriak menggaungkan kebenaran. Sudah menjadi rahasia umum “jantung” ibu pertiwi sedang sakit, sakit oleh kesengsaraan yang semakin merebak, sakit oleh kemelaratan yang semakin meluas, sakit oleh kezaliman yang semakin diwajarkan.
“Jantung” ibu pertiwi kami sedang sakit, sakit teramat parah. Rakyat yang harusnya dilindungi negara nyatanya justru semakin terancam. Tinggal di sana digusur, tinggal di sini digusur. Semua seolah menjadi hal biasa. Dimana nurani?
Negara ada untuk menyejahterakan rakyat. Tapi nyatanya apa? Laut luas pun ditimbun. Bapak Ahok yang disayangi dan dicintai para pengusaha, coba bapak jawab; setelah laut Bapak timbun, mereka mau mencari ikan dimana? Tak pernah saya lihat ada ikan hidup dan berjalan-jalan ria di atas daratan. Sejujurnya, muak sekaligus miris jika membahas tentang peyakit “jantung” ibu pertiwi.
Kembali ke aksi kemarin, kami datang dengan suara lantang; tak lebih dari seratus jumlah kami. Tujuan kami satu, menemui Bapak Ahok yang dicintai oleh para pengusaha untuk berdiskusi mengenai rakyatnya, tanggung jawabnya, dan semua yang telah diperbuatnya. Namun yang kami dapat hanyalah sia-sia belaka; jauh diluar yang bisa kami pikirkan; dan semua sangat amat mengecewakan.
Alih-alih mendapat sambutan baik, teman kami malah dikeluarkan secara paksa dari dalam singgasana. Entah apa salah kami. Apa kami mengancam hidup bapak? Apa kami menodongkan senjata ke dahi bapak? Apa kami membawa bom sehingga perilaku kasar dihalalkan untuk mengusir kami?
Alih-alih pulang dengan wajah ceria; kami pulang dengan menundukan kepala. Kezaliman masih meliputi “jantung” ibu pertiwi. Suara kami belum cukup kuat menghembus untuk menggerakan awan hitam dari atas bumi Jakarta. Namun, kami tidak putus asa. Hati kami telah berkomitmen untuk terus berada dalam barisan oposisi pemerintah selama yang diperintah masih merasa terzalimi. Karena yang kami pahami; pada zaman seperti ini, berdiam diri adalah sebuah bentuk pengkhianatan.
Allahu Ta’ala a’lam
Oleh Muhamad Zidni Rizky Ardani (FMIPA UNJ)