Papua adalah surga emas, tambang dan berbagai jenis logam lainnya. Publik mendesak agar kekayaan alam, terutama tambang di Papua yang dikelola Freeport, harus digunakan untuk kemakmuran warga Papua dan bangsa Indonesia. Sampai kapankah drama politik freeport ini berakhir?

Unjkita.com akan berbagi hasil diskusi yang telah dilakukan oleh BEM UNJ beberapa hari silam. Berikut ini notulanya:

Diskusi sore (14/12/15) kali ini membahas tentang Drama Politik Freeport yang difasilitasi oleh Fathia Rizki Amalia (Sospol BEM UNJ 2015) dimulai pukul 17.00 WIB. Peserta diskusi dihadiri oleh pengurus BEM UNJ.

Diskusi dibuka oleh Fajar Kurniawan (Sospol BEM UNJ 2015) dan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Fathia selaku fasilitator. Pemaparan materi diawali dengan penjelasan sejarah masuknya Freeport di Indonesia.

Sejarah Masuknya Freeport di Indonesia

Perusahaan asing asal Negeri Paman Sam ini ternyata sudah lama mengincar Papua. Tahun 1959, perusahaan Freeport Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan Van Gruisen, bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis oleh Jean Jaques Dozy (Geolog asal Belanda, penemu Gunung Ersberg) pada tahun 1936. Dalam laporan penelitian atas Gunung Ersberg di Irian Barat, ekspedisi ke puncak Cartenz oleh The New York Times, disebutkan bahwa tembaga di gunung tersebut tidak perlu susah-susah digali melainkan hanya cukup mengambil saja, karena tembaganya sudah berada di atas tanah.

Tahun 1960, suasana di Papua tegang. Soekarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi militer yang diberi nama Trikora. Namun, tragedi September 1965 menghancurkan Soekarno. Soekarno yang keras menolak modal asing, digantikan Soeharto yang Pro Asing. Oleh karenanya, Soeharto menyetujui pihak asing untuk masuk ke Indonesia. Setelah dilantik, Soeharto segera menyetujui pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Dari 100% hasil tambang, Indonesia hanya mendapatkan 9,3% saja. Belum lagi, mereka mengekspor bahan mentah yang telah melanggar peraturan ekspor bahwa barang mentah harus diolah terlebih dahulu sebelum di ekspor. Alhasil, tak hanya emas dan tembaga saja yang mereka peroleh, uranium dan 12 jenis logam lainnya mereka peroleh dengan mudahnya.

Benarkah “Papa Minta Saham” Pengalihan Isu?

Lalu permasalahan, pernyataan “Papa minta saham” Setya Novanto, Sudirman Said, Luhut, dan Jokowi-JK ternyata hanyalah pengalihan isu saja antara Segitiga Setan (istana, freeport, legislatif). Hal tersebut bertujuan agar masyarakat tak menyadari bahwa sebenarnya pihak asing ingin memperpanjang kontrak Freeport, disitulah peran media sangat mendominasi. Pola pikir masyarakat akan terbentuk dari stimulasi yang sering diperoleh melalui media tersebut, mulai media elektronik hingga cetak. Hingga akhirnya masyarakat tak menyadari yang sebenarnya.

Kontrak Freeport akan habis pada tahun 2021 dan mereka boleh meminta perpanjangan 2 tahun sebelum masa kontrak habis yaitu tahun 2019 (menurut Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2012). Namun, mengapa sekarang mereka ingin memperpanjang kontrak dan bahkan mulai melobi para penjabat negara?

“Penyebab dari permasalahan ini adalah kesalahan Indonesia yang telah menganut sistem kapitalisme. Sumber daya alam milik negara dapat dieksploitasi oleh pihak swasta (asing),” ujar Fathia.

“Lalu, apakah Indonesia siap bilamana Freeport menjadi milik Indonesia?” tanya Fuad, salah satu peserta diskusi.

Menanggapi hal tersebut, Fathia mengatakan bahwa kemungkinan Indonesia mampu karena memiliki SDM yang luar biasa cerdas dan mumpuni.

Selanjutnya, Vina, salah satu peserta diskusi ikut memberikan pendapatnya bahwa bahwa langkah konkret untuk mengatasi masalah Freeport ini adalah dengan mengevaluasi Undang-undang, yakni UU No. 22 Tahun 2001 pasal 9 Ayat (1) UU Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan, Fathia mengatakan bahwa solusi yang diambil seharusnya adalah dengan mencerdaskan masyarakat, dan tidak hanya mengubah UU, melainkan mengubah sistem yang rusak.

“Indonesia sudah dijual 100% untuk asing dan Militer sudah dikuasai. Posisi mereka sudah tetap, dan sulit bilamana ingin mengubah sistem. Sedangkan Rakyat Papua semakin teraniaya di timur sana,” ujar Faisal, Kepala Departemen Pendidikan BEM UNJ. Faisal juga menambahkan bahwa cara yang paling efisien saat ini adalah menyiapkan diri menjadi pemimpin, lalu memasuki lembaga legislatif dimana UU itu disahkan.

Mengubah sistem memang bagus, namun faktanya sulit, karena Indonesia memang sudah dikuasai oleh lingkaran sembilan naga, yaitu para mafia besar yang memegang kendali kekuasaan dan sistem saat ini. Mahasiswa saat ini memiliki pola pikir helikopter view, yaitu mahasiswa hanya melihat sesuatu dari atas saja, sehingga gerakan dan aksi mahasiswa saat ini banyak dikecam oleh berbagai pihak.

“Jokowi belum berani mengambil tindakan untuk Amerika dikarenakan koleganya pasti akan marah. Namun, peluang itu ada karena Indonesia saat ini memiliki backing China juga, walaupun sebenarnya ini tidak baik. Oleh karena itu, tindakan yang perlu dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat ini adalah dengan mendukung pemerintah. Bukan menjadi musuh mereka. Dukung mereka untuk memprivatisasi (Nasionalisasi) aset (Freeport). Selanjutnya mendesak aparat penegak hukum untuk mengadili para pengkhianat negara,” ungkap Ronny Setiawan, Ketua BEM UNJ.

Notulen Diskusi: Habibah Najmatussholiha (Sospol BEM UNJ 2015)

Editor: Mutiara (KOMINFO BEM UNJ 2015)

 

Categorized in: