Islam sebagai agama rahmatallil ‘aalamiin sudah mengatur begitu rapi tanpa cacat maupun belang sekalipun. Semua sendi kehidupan dan jiwa-jiwa yang telah Allah ciptakan telah diatur segala ketentuan atasnya; termasuk makhluk yang bernama “perempuan”. Ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 3, “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”. Orang-orang yang ber-Islam dengan sebenar-benarnya iman dan berislam secara Kafah, seharusnya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa dalam sistem kehidupan yang Allah rancang dalam islam sudah mengatur keadilan bagi perempuan dan tidak merendahkannya. Bukan justru merekonstruksi sistem yang sudah mapan; yang sudah jelas berbasis wahyu.
Sepertinya, kaum Liberal sudah kehabisan bahan materi supaya bisa “terlihat” intelek. Bagi mereka, ‘kalo nggak nyleneh ya nggak akademis’. Saya jadi teringat kutipan ceramah KH. Zainudin MZ; “Kalo mau terkenal seluruh dunia, kencingi saja sumur zam-zam!”. Ironisnya banyak Mahasiswa – yang baru seumur jagung – dengan latahnya; sok ikut-ikut memperjuangkan hak perempuan, ketertindasan, dan ketidaksetaraan perempuan atas laki-laki; tanpa mempelajari konsep keadilan bagi perempuan di dalam islam terlebih dahulu. Dengan bermodalkan “dalil-dalil” orang-orang Orientalis – yang mereka sendiri bukan orang Islam – mereka dengan pede nya mengkritik ajaran islam dengan membabi buta.
Feminisme. Entah kapan awalnya Iblis “mengilhamkan” ini kepada kaum hawa; ia merupakan gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Tujuan utama dari paham ini ialah ingin membebaskan perempuan dari peran Gender yang over opresif. Untuk menguatkan paham ini, mereka memanfaatkan fenomena sosial yang memperlihatkan peran sosial perempuan dalam tatanan masyarakat lebih rendah dari laki-laki; yang secara zhahir terlihat sebagai suatu penindasan terhadap perempuan; cukup ampuh untuk menyerang psikologis kaum hawa untuk menerima pemikiran ini.
Bagi kaum intelektual, pemikiran tak ubahnya seperti “Roh” yang diciptakan oleh penggagasnya; pada waktunya akan ‘diumbar’ berkeliaran di publik. Merasuki jutaan kepala dan bergulat dengan segala pemikiran di dalamnya.
Mungkin pula pemikiran ini diperdagangkan dalam institusi-institusi pendidikan dalam kemasan yang apik lagi menarik. Sudah menjadi rahasia umum; kampus tidak hanya sebatas tempat menuntut ilmu, juga sebagai “pasar” pemikiran. Bahkan, tak hanya pada tingkat universitas; pada tingkatan Sekolah Dasar tanpa sadar kita sudah dicekoki pemikiran ini. Masih ingat dengan R.A Kartini? Beliau dinobatkan sebagai pahlawan emansipasi.
Emansipasi di sini tidak hanya sekedar usaha untuk setara dengan laki-laki. Sekali lagi bukan! Tapi memaksa untuk dapat jauh di atas laki-laki. Hal ini bukan tanpa data, dalam buku beliau – berisikan kompilasi surat-surat Kartini – “Habis Gelap, Terbitlah Terang”; secara tidak langsung beliau mengatakan bahwa perempuan harus berpendidikan tinggi sehingga kelak bisa mandiri menafkahi keluarga, dan ia tidak perlu menikah karena merupakan ketergantungan terhadap laki-laki. Coba kita berpikir sebentar saja; emansipasi macam apa yang membolehkan perempuan tidak perlu menikah?; Emansipasi macam apa yang berlawanan dengan syari’at?; dengan mengatakan menikah adalah simbol ketertindasan dan ketaklukan perempuan atas laki-laki? Padahal dalam syari’at Islam sendiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan manusia untuk menikah; karena ia merupakan separuh dari agama.
Dalam riwayat hidupnya, Kartini, akhirnya melepaskan pemahaman feminisnya itu. ia lebih senang menjadi perempuan yang sebenar-benarnya perempuan; kembali pada fitrahnya. Kartini memilih menikah, punya anak, tidak mencari nafkah dari tangannya sendiri; jauh dari apa yang diangankannya waktu itu. Bahkan, percaya atau tidak, pernikahan poligami yang sebelumnya amat ia kutuk dan ia anggap sebagai penindasan, pada akhirnya ia jalani juga. Ini juga didukung dengan data yang valid. Beberapa hari setelah pernikahan yang keempat bagi suaminya itu; Kartini mengirim surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya; “Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
Dari pemikiran Feminisme yang pernah beliau anut, perlu kita pertanyakan dan telisik lagi lebih dalam; bagaimana dan dari mana Kartini bisa terpengaruh paham tersebut? Padahal Kartini merupakan perempuan Jawa yang lebih menghayati kehidupan budayanya. Ia tidak pernah menjadi pemberontak seperti yang diajari para feminis.
Jalur pendidikan merupakan jalur yang sangat efektif bagi Barat menanamkan Hagemoninya dengan ekspor pemikiran liberal. Pandangannya terhadap kedudukan laki-laki dengan perempuan banyak dipengaruhi paham-paham liberal yang diajarkan di sekolah Belanda tersebut; belum lagi dengan buku-buku dan surat kabar dari sekolah tersebut yang berhaluan liberal. Perlu kita ketahui, yang membantu terbentuknya pemikiran Kartini juga didorong oleh teman pena nya, Stella Zeehandelar. Stella merupakan feminis garis keras asal Belanda. Pertama kali Kartini mengenal Stella, melalui redaksi De Hollandse Leile; majalah wanita terpopuler di masa itu.
Ketika Kartini meninggalkan paham feminisnya – dibuktikan dengan pernikahan suaminya yang ke-4 – sangat disayangkan oleh Stella; sebagai penganut feminisme garis keras, ia tak mengerti mengapa Kartini berubah haluan. Beruntung Kartini tidak sampai ekstrim – sampai memusuhi laki-laki – dalam menganut feminisme-nya itu. Mungkin, feminisme kala itu hanya sebatas menjadi pergolakan pemikiran dalam diri Kartini yang perlu diekspresikan melalui surat-surat.
Tahukah kita? Sebenarnya Kartini sendiri sebenarnya tidak mem-publish surat-suratnya tersebut hingga menjadi satu buku yang sekarang kita kenal dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Buktinya ialah, sampai beliau meninggal pun pada tahun 1904; pada usia 25 tahun, surat-suratnya pun tidak terpublikasikan. Ini menguatkan asumsi bahwa Kartini sendiri memang tidak ada niatan untuk itu. yang melakukannya ialah Mr. J.H. Abendanon; ia menteri Agama dan pengajaran Hindi Belanda pada masa itu. Dia mengumpulkan surat-surat Kartini dan menerbitkannya setelah tujuh tahun wafatnya Kartini. Abendanon sendiri secara politis, menganut paham etis (liberal); sangat wajar jika ia mempromosikan pemikiran feminis melalui surat-surat Kartini. Secara tidak langsung, Abendanon ingin menanamkan feminis-liberal di Indonesia, namun dengan meminjam tangan anak bangsa. Ini merupakan ironi yang berkepanjangan. Hingga saat ini di sekolah-sekolah, para siswa dijejali dengan kata “emansipasi” tanpa diajarkan pula batasan-batasan dari emansipasi itu sendiri, tanpa diajarkan bahwa Islam yang dibawa oleh Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam ini sangat menjunjung tinggi kemuliaan wanita dan sangat peduli dengan emansipasi. Ketika emansipasi ini tidak diberi batasan-batasan secara proporsionalnya, maka ia akan menjelma sebagai “monster” feminisme. Semoga kita semua Allah lindungi dari paham-paham menyesatkan, dari siksa api neraka.
Wallahu a’lam
Oleh: Tusmana
Sumber:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/feminisme
https://id.wikipedia.org/wiki/Jacques_Henrij_Abendanon
Comments