“Tunggu guru selfie dulu.. Ganteng dikit, cekrek! Ganteng banyak, cekrek! Ganteng banget.. cekrek cekrek upload!”
Hayooo sobat UNJKita.com, di mana lo pernah denger dan liat kalimat itu? Yup, lead dalam tulisan ini pada mulanya merupakan salah satu tagline iklan fenomenal dari provider Axis yang begitu menciduk perhatian dari pengonsumsi tayangan di televisi. Isi iklannya? Menceritakan tentang seorang pelajar yang udah kecanduan selfie. Hmm… lalu?
Selain bertuju sebagai alat pemasaran, jauh seperti yang Roland Barthes katakan, produksi iklan menciptakan konteks yang secara tematis mengandung makna tertentu bagi khalayak yang dituju. Bagi Barthes, iklan mengandung kode berkombinasi. Yang bila diartikan, teks mengarahkan pembaca melalui gejala petanda dari citra, dan menyebabkan pembaca menghindari yang satu dan menerima yang lain.
Nah, oleh Axis, teks mengenai kegandrungan selfie boleh jadi produksinya sengaja dirancang untuk dialirkan lagi melalui arus sosial media. Dalam hitungan kilat, meme dengan model pelajar sekolah yang narsis langsung tersebar di banyak akun hiburan di instagram seperti @dagelan. Sebagian dari kita lalu mencontoh dengan membuat meme serupa agar dibilang lucu dan kekinian, sebagian lagi menjadi silent reader dengan menyungging senyum getir.
Emang sih, sosial media punya peran penting selain cuma sekedar hiburan tong kosong, yaitu dalam hal penyebaran informasi. Namun, meski memiliki keragaman informasi, si pengonsumsi berita via internet justru cenderung akan menderita kekurangan besar dalam hal kedalaman dan keluasan ilmu (bukan sekedar informasi). Bila tidak dibarengi dengan menimbun kekayaan literatur dari buku, meminjam bahasa Haidar Bagir, si pengonsumsi berita via internet dipastikan akan menderita penyakit ‘amnesia buku’.
Persoalan ‘amnesia buku’ dimulai ketika negara ini belum berhasil dalam mengembangkan budaya baca yang merata, ditambah masih didominasi oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk ke budaya audio-visual (radio dan televisi) yang lebih mudah menyedot perhatian masyarakat. Tambahan lagi, dalam pergulatan penuh susah payah dengan budaya audio-visual itu, kita sudah ‘terpaksa’ larut dalam budaya digital (Kompas, 28/04/16).
Haidar menilai, besarnya pasokan informasi yang menerpa serta sifat sebagian besar tulisan yang tersedia di media digital telah menyebabkan para pengguna internet mengakses lebih banyak tulisan-tulisan pendek yang kurang keluasan dan kedalaman. Alih-alih gampang mencari informasi yang multi-tasking, justru dengan mengakses informasi gila-gilaan via internet, secara tidak langsung menjadi faktor penyebab si pengonsumsi berita tersebut lebih cepat mengakibatkan rasa capai (fatigue). Beda rasanya dengan menggali informasi dari buku-buku cetak yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu.
Kecemasan Haidar juga dirasakan betul oleh si pembaca tulisannya. Ia katakan, bahwa pemilihan bahan bacaan melalui internet, juga sosial media, bisa mempermanenkan habit keengganan membaca buku. Apalagi ketika telepon pintar berlayar kecil telah mulai merampas fungsi PC/laptop ataupun tablet sebagai reader, lambat laun akan memberikan dampak besar dalam hal penurunan daya baca (literasi buku) di masyarakat.
Gak perlu jauh-jauh. Dalam pola pikir mahasiswa yang miskin literasi buku pun bisa dilihat. Banyak footnote skripsinya dikutip melalui situs berita online yang bahan bacaannya lebih ringkas dari cerita pendek. Kalau buku? Ada yang mencomot dari buku lawas hasil penelitian sebelumnya. Hmm, ramalan mengenai keadaan masyarakat di masa depan seperti yang ditakutkan Nicholas G Carr mungkin ada benarnya, tentang akan lahirnya generasi “orang-orang dangkal” (the shallows).
Nah, merayakan hari momentum pun, harus juga kita sikapi dengan memperkaya beragam perspektif sejarah mengenai kelahiran hari tersebut. Peristiwa apa yang melatarbelakangi kejadian itu? Bagaimana bisa terjadi dan berkesudahan? Siapa saja yang terlibat di dalamnya? Bila orang-orang mendokumentasikan hanya dengan ucapan selamat, kita harus dengan tulisan. Bila stasiun televisi mengangkat berita human interest yang setiap tahunnya hanya berganti penggalan kisah, kita harus berupaya untuk mencari solusi yang konkret. Sebab, euforia yang mula-mula hadir dalam apapun bentuk kesejarahan –termasuk perayaan hari momentum setiap tahun– seperti yang Goenawan Mohamad bilang, hanya akan senantiasa berakhir menjadi melankolia.
Sebagai didikan perguruan tinggi, kita sama-sama punya tanggung jawab dalam mereproduksi generasi pembaca buku. Jangan sampai masa-masa kuliah hanya dihabiskan dengan wefie di ruang kelas. Dilanjut nongkrong kuliner di kedai hits sambil memfoto makanannya, lalu menguploadnya di sosial media. Jabatan mahasiswa tingkat akhir pun disandang, hingga akhirnya lulus sidang dan diwisuda. Selepas menerima ijazah paling berharga hanya untuk memperoleh pekerjaan, orang tuanya dibiarkan telantar untuk menyaksikan anak-anaknya bahagia berwefie ria. Cekrek.. cekrek.. cekrek.. Masing-masing galeri smartphonenya lalu penuh dengan bukti janji yang pernah diutarakan sebelumnya, “pokoknya kita harus bisa selfie bareng pake toga!”
Belum sembuh penyakit ‘amnesia buku’, setelah kejadian itu, muncullah penyakit kepo dan baper yang ditularkan secara alamiah: (1) Kerja di mana? (2) Kapan ngundang?
*esai jenaka yang ditulis untuk menyemarakkan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan memakai bahasa satire. Ketimbang hanya berucap ‘selamat’ di sosial media, yuk, baca buku!