Hati manusia menyeru pertolongan. Jiwa manusia memohon pembebasan. Tapi kita tidak mendengar teriak mereka, karena kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya. Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut “gila” lalu kita tinggalkan.
-Kahlil Gibran, Pikiran dan Samadi
“Apa itu, seorang intelektual? Dan apa fungsinya dalam masyarakat?” Begitulah pertanyaan Franz Magnis dalam pengantar buku “Peran Intelektual” yang ditulis oleh Edwar W. Said. Menurt Edwar Said sendiri, Intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat untuk mempresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada publik. Kaum intelektual selalu berada di sepanjang zaman, biasanya ia berada di balik setiap pergolakan, perlawanan terhadap kekuasaan dan revolusi-revolusi besar. Hampir tidak ada revolusi penting di zaman modern tanpa peran dari seorang intelektual. Artinya, intelektual telah berperan sebagai ayah dan ibu sebuah gerakan perlawanan dari berbagai belahan dunia. Pertanyaannya ialah, apakah mahasiswa adalah seorang intelektual? Mengingat perubahan-perubahan besar di Indonesia dimotori atau dipelopori oleh sekumpulan orang-orang yang lahir dari rahim pendidikan tinggi.
Antonio Gramsci, seorang Marxis berkebangsaan Italia, aktivis, wartawan, filsuf politik cemerlang dan pernah dipenjarakan oleh Mussolini antara tahun 1926 hingga tahun 1937, menulis dalam bukunya, Prison Notebooks bahwa “orang dapat mengatakan: semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual.” Jika merujuk pada pandangan Gramsci, bisa dikatakan bahwa pendidikan tinggi adalah tempat lahirnya para intelektual. Namun, tidak semua lulusan atau penghuni universitas menjalankan mandat seorang intelektual. Kaum cerdik pandai ini sangat lazim menjadi incaran lingkungan kekuasaan karena kemampuannya dalam membangun opini publik. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengkhianati perannya sebagai golongan intelektual. Mereka menjual kepintaran kepada kekuasaan, menjadi kaki tangan kampus dan menjadi bagian dari partai politik.
Menurut Romo Magniz, dalam kenyataannya kaum intelektual sering menjual diri kepada penguasa: Apa demi pembayaran atau, lebih mungkin, karena mereka biasa “dipakai”. Mereka menempatkan ketajaman berpikir, kemampuan berbicara dan keahilan dalam membangun opini masyarakat untuk melayani kepentingan politik penguasa. Hingga nanti ketika mereka lulus dari lingkungan pendidikan mereka akan menjelma menjadi pemangsa baru, penindas baru, dan penjajah baru orang-orang miskin. Akhirnya, kekhawatiran Y.B. Mangun Wijaya akan segera terjadi, ia mengkritik dan menampar kita semua:
“apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas tapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka.”
Di UNJ tidak sedikit mahasiswa yang mengabdikan diri mereka kepada birokrasi kampus dan masuk ke partai politik. Alih-alih merubah sistem dari dalam, mereka justru menjadi birokrat baru yang dungu dan kehilangan akal sehat. Kasus ini terlihat pada saat adanya pemerkosaan mahasiswi di Universitas Negeri Jakarta, mereka yang kegemarannya menjilat birokrat tidak akan rela atasan mereka dikritik oleh mahasiswa universitas. Bahkan mereka tidak segan-segan menilai mahasiswa yang menuntut tanggungjawab kampus sebagai “pembuat onar” atau “penyebar aib kampus”. Padahal tanpa sadar merekalah yang merusak tata kehidupan kampus karena mereka hanya diam melihat ketidakadilan, kecurangan, dan pelecehan seksual di rumah mereka sendiri. Seakan-akan nama Kampus akan bersih ketika orang-orang di dalamnya berhasil menutupi permasalahan kampus tanpa adanya niatan menyelesaikan permasalahan hingga tuntas. Diam melihat pemerkosaan dan bungkam melihat UKT yang setiap tahun semakin meninggi adalah kematian mahasiswa yang tidak bisa ditoleransi, itu merupakan pengkhianatan intelektual.
Selain dari itu, berjuang dari dalam biasanya menjadi alasan dari mereka yang bersedia mengabdi kepada kekuasaan. Sampai sekarang pun argument ini masih dipakai, kendati sesungguhnya mereka tak punya cukup ruang gerak untuk menjalankan peran sesuai hati nurani. Cukup banyak contoh dimana intelektual cemerlang yang menjadi bagian dari birokrasi pun harus mensubordinasikan keyakinannya, demi kepentingan kekuasaan yang diabdinya. Di masa kampanye, misalnya, mereka harus menjadi jurkam (juru kampanye) yang mewartakan kisah-kisah klise sukses pembangunan. Alih-alih mengawal akal sehat, mereka menjadi tukang propaganda. Dalam keadaan seperti ini mereka tak ubahnya tukang obat kaki lima yang pintar jual kecap. Sehingga terminologi “pengkhianatan intelektual” dari Julien Benda tepat mereka sandang.
Ini adalah pengalaman yang beralaskan kenyataan. Dimana mereka yang bergabung dengan kekuasaan menjelma seperti sekumpulan tukang obat. Mereka mengesampingkan akal sehat, mata mereka buta, kuping mereka tuli dan mereka tidak lagi bisa berucap jujur bahwa barang yang mereka jual memiliki borok. Pada akhir bulan Agustus 2015, Ribuan Warga Kampung Pulo mengamuk melihat lahan mereka dieksekusi sepihak oleh pemkot Jakarta. Menurut kesaksian warga di Kampung Pulo, pemkot melakukan beberapa pelanggaran, salah satunya tidak menghargai dan melanggar proses hukum yang sedang berjalan di PTUN Jakarta Timur. Lantas, aku dan beberapa kawan coba membantu warga menyuarakan hak mereka, salah satunya dengan memberikan fakta pelanggaran yang dilakukan pemkot melalui media sosial. Namun, tidak sedikit yang menolak hal tersebut. Salah satunya ialah #TemanAhok, semua tahu siapa itu Teman Ahok? Mereka adalah sekumpulan relawan yang berperan sebagai Tim Sukses Ahok untuk Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017. Teman Ahok tidak terima jika pemimpin idola mereka dikritik dan tidak mau membuka mata kalau Ahok telah melakukan pelanggaran di Kampung Pulo.
Penggusuran Kampung Pulo dilakukan ketika tanah masih dalam keadaan sengketa, hakim belum ketuk palu dan menentukan tanah di Kampung Pulo itu punya siapa, milik siapa, tiba-tiba penguasa Jakarta menggusur tanah warga secara sepihak. Kasus ini ibarat dua orang anak yang sedang rebutan kue. Dimana anak pertama dan anak kedua saling mengklaim bahwa kue itu milik mereka. Perdebatan pun terjadi hingga akhirnya sang Ayah berusaha melerai dengan mencari informasi kue itu milik siapa. Belum sempat si Ayah menentukan siapa si pemilik kue, tiba-tiba anak kedua main rebut kue itu dan memakannya dengan paksa, tentu merupakan hal yang wajar ketika si anak pertama mengamuk dan marah. Front Pembela Ahok jangan kehilangan akal sehat. Warga di Kampung Pulo tidak anti dengan pembangunan, mereka hanya ingin diperlakukan selayaknya manusia. Bukan diperlakukan seperti binatang. Dimana negara hari ini lebih memanusiakan badak, dan membadakkan manusia.
Ada lagi yang lebih gila di kota Depok, pada awal bulan September 2015, PT. Andika Investa melakukan penggusuran sebagian wilayah Sekolah Master (Masjid Terminal) secara paksa. PT. Andika Investa merupakan pihak pemodal proyek Revitalisasi Terminal Depok. Selama ini, ia mengumpat di balik ketek Walikota Depok untuk menggusur Sekolah Master, sekolah khusus anak-anak marjinal demi mensukseskan proyek raksasa kapitalis yang bengis di “Kota Layak Anak” itu. Sebelum penggusuran dilaksanakan, Nur Mahmudi, Walikota Depok terlihat sangat lemah di hadapan pihak pemodal, bahkan ia cenderung lepas tangan terhadap isu-isu penggusuran yang mencuat di beberapa pemberitaan media. Komentarnya pun menawan sekali, di Republika tanggal 9 April 2015 ia menyatakan;
“Saya tak tahu soal penggusuran, saya nggak ikut campur soal itu. Saya tidak terlibat dan tidak berani berkomentar”
Bagaimana mungkin orang nomor satu di kota Depok tidak terlibat dan tidak ikut campur dalam pembangunan proyek raksasa di kota yang ia pimpin? Mana mungkin proyek besar bisa berjalan tanpa adanya izin dari kekuasaan setempat? Jangan mau dibohongi! Hati-hati penguasa tipu rakyat. Penguasa selalu membahasakan pembangunan Apartemen, Mall dan Pusat Grosir demi kepentingan publik, padahal jika ditelaah lebih dalam proyek tersebut digulirkan demi kepentingan bisnis, kepentingan kaum bermodal! dimana ada proses “privatisasi” lahan-lahan publik yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan umat. Tidak usah dulu teriak Anti Amerika jika di hadapan pemilik modal saja Walikota tidak bisa berkutik. Kapan negeri ini memiliki pemimpin yang bernyali? Aku mengkritik dengan keras sikap lemah Nur Mahmudi melalui media sosial dan beberapa tulisan. Bagiku, pemimpin yang loyo di hadapan orang-orang berduit tidak pantas disebut sebagai pemimpin umat. Karena menggusur Sekolah Master sama saja dengan menghardik anak yatim, menzalimi orang-orang miskin, mengubur harapan kaum pinggiran yang ingin sekolah dan menghancurkan impian ribuan anak-anak jalanan di Depok dan sekitarnya. Jika keadaannya masih seperti ini, apakah masih layak kota Depok menyandang gelar “Kota Layak Anak?”
Kritik yang aku nyatakan mendapatkan respon yang beragam, ada yang mendukung dan ada yang menolak. Siapakah yang menolak? Siapa lagi kalau bukan simpatisan parpol pengusung Walikota? Mereka kehilangan kejujuran bahwa pemimpin yang mereka usung adalah penindas umat dan penghardik anak-anak yatim. Aku mengkritik karena aku adalah bagian dari Sekolah Master, bukan karena pendukung partai sebelah. Aku paham sekali kenapa mereka tidak ingin nama Walikota jelek karena penggusuran berlangsung ketika Wakil Walikota Depok kembali mencalonkan diri sebagai Calon Walikota di Pilkada setempat. Sangat jelas, bahwa kepentingan partisan bukan lagi pada kesejahteraan rakyat. Tetapi agar pemimpin idolanya menang dalam pilkada tanpa memperdulikan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya di masa silam. Apakah mereka masih waras?
Seorang intelektual seharusnya memposisikan diri mereka berada di tengah-tengah rakyat, ataupun umat. Bukan di lingkaran partai politik, apalagi menjadi Tim Sukses. Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul The Responsibility of Intellectuals menyatakan bahwa “Intelektual berada dalam posisi mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif-motif serta maksud-maksud yang tersembunyi disana” Artinya peran intelektual sebagai barisan pengingat akan luntur ketika kita bergabung dengan kepentingan kekuasaan. Akan sangat berbahaya ketika seorang intelektual sudah bergabung dengan kekuasaan. Kemampuan mereka dalam membangun opini publik justru dimanfaatkan untuk membohongi dan mengibuli orang-orang miskin demi kepentingan politik ataupun kepentingan bisnis yang bengis.
Inilah alasan kenapa aku katakan bahwa mereka yang sudah bergabung dengan kekuasaan atau pun menjadi relawan cawalkot, cagub, caleg ataupun capres tidak bisa lagi menggunakan akal sehat mereka. Kuping dan mulut mereka tertutup rapat, alih-alih ingin merubah tatanan yang ada, mereka justru menjadi sekelompok pengkhianat yang kerjaannya menutupi kesalahan-kesalahan yang dibuat pemerintah serta “membenarkan” sikap pemimpin idola mereka yang sebenarnya bisa dikatakan seringkali merugikan orang miskin. Mahasiswa sebagai kelompok intekektual adalah bagian dari masyarakat, bergabung dengan kekuasaan adalah pengkhianatan terhadap berjuta-juta rakyat di negeri ini. Jangan jadi simpatisan parpol, apalagi bersedia dijadikan juru kampanye untuk memenangkan mereka. Berpolitik itu bukan berarti masuk ke dalam sistem. Jangan merelakan keyakinan dan independensi. Karena tugas seorang intelektual adalah bersekutu dengan rakyat tertindas untuk menghancurkan sistem yang kejam. Bekerja untuk kemaslahatan umat,menyelamatkan orang miskin, bukan bekerja untuk kekuasaan, seperti birokrat kampus ataupun partai politik. Mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya tidak bisa didikte oleh siapapun. Baik itu oleh pemerintah ataupun korporasi raksasa.
Selain itu, Edward Said mengatakan karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir, dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan. Intelektual sejati menurut Julien Benda, berisiko dibakar di tiang, dikeluarkan dari komunitas, atau disalibkan. Nyatanya memang seperti itu, di masa pergerakan nasional, Soekarno, Agus Salim, Sutan Sjahrir hingga Tan Malaka pernah merasakan diasingkan, dipenjara dan dijauhkan dari keluarga mereka, dari lingkungan mereka. Penjara, kelaparan, ancaman pembunuhan hingga pukulan pernah dirasakan oleh mereka yang sepanjang hidupnya diabdikan untuk memerdekakan orang lain. Mereka menolak menjadi pragmatis, tidak mau bekerja untuk pemerintahan Belanda, berapapun gajinya. Masa muda mereka digunakan untuk menolong bangsa-nya yang dihina sebagai “monyet” dan “kerbau” oleh Belanda. Menyaksikan petani-petani kurus dan buruh-buruh tambang yang di tembak oleh penjajah membuat Soekarno Muda ketika itu bertekad untuk mengeluarkan bangsanya dari kekejaman kolonialisme. Mengulas kembali kata-kata bung Tan Malaka bahwa orang yang berjuang memerdekakan orang lain harus rela kemerdekaannya terenggut. Bagiku, mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya bekerja menjadi pejuang sosial, bukan bekerja untuk lingkungan kekuasaan dan kepentingan bisnis. Mereka harus mengesampingkan kepentingan pribadinya demi kepentingan yang lebih besar, yakni: kemerdekaan dan pembebasan umat Manusia. Seperti yang pernah dikatakan oleh Victor Serge.
“Kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini?”
Andika Ramadhan Febriansah
Mahasiswa Sejarah UNJ
anggota SEMERU (Serikat Mahasiswa Perubahan UNJ)