Ini adalah kisah nyata yang Aku alami. Saat itu malam Jumat tanggal 6 Januari 2017. Jam digital menunjukan pukul 03.00 WIB, menandakan subuh akan segera datang beberapa jam lagi. Entah mengapa Aku ingin mengulangi kebiasaanku yang sudah lama tidak Aku lakukan. Dengan sedikit kekuatan yang ada,Aku segera bergegas keluar menuju jalan raya.

Menyusuri jalanan ibu kota saat malam adalah kebiasaanku dulu saat masih kuliah. Aku kerap melakukannya saat pulang kuliah. Kala itu Aku sering pulang setelah maghrib. Tempat tinggalku di daerah perbatasan Klender dan Pondok Bambu. Untuk ke sana harus naik angkot dua kali. Namun Aku lebih sering naik angkot sekali saja, selanjutnya jalan kaki. Lumayan jauh jaraknya, sekitar 2 kilometer. Saat tengah malam pun kadang Aku keluar sendiri, sekedar duduk di atas Flyover Klender atau kadang mampir di warkop di tepi jalan. Baru di akhir-akhir masa kuliah Aku mulai mengajak sahabatku untuk merasakan rasanya jalan-jalan tengah malam atau menikmati kopi di warkop tepi jalan.

Kali ini kuputuskan untuk menyusuri jalan sekitar Rawamangun. Aku memilihnya karena tidak jauh dari tempatku tinggal saat ini. Aku menyebut jalan-jalan malam dengan istilah “Wisata hati”. Yang Aku lakukan hanya berjalan menyusuri jalan, mengamati kawasan sekitar dan mencoba menghayati hidup.

Kebiasaanku sudah Aku mulai sejak awal datang ke Jakarta. Bahkan Aku pernah jalan kaki dari Kampus UNJ Rawamangun hingga ke Kwitang, Jakarta Pusat tempat tinggalku dulu. Tidak hanya sekali, tapi dua kali. Perjalanan lumayan lama, sekitar 3-4 jam karena Aku sengaja melambatkan langkahku. Sepanjang perjalanan Aku temui berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari pengamen, gelandangan, pemulung, tukang sampah, orang gila dan lainnya. Semua berjuang untuk mencoba menyambung hidup dengan caranya masing-masing. Dari sinilah Aku mulai mencoba menghayati kehidupan. Ternyata dunia ini penuh dengan cerita kehidupan.

Bahkan suatu malam Aku sengaja tidur di tepi jalan, di halte busway tidak jauh dari Kampus A UNJ. Aku coba untuk senyaman mungkin. Suasana sangat sepi karena sudah lewat tengah malam. Karena hujan,Aku pun akhirnya pindah ke sebuah emperan tempat jualan di tepi jalan. Saat Aku mulai terlelap tiba-tiba segerombolan pemuda yang jumlahnya lebih dari 15 orang datang menghampiriku. Aku pun terbangun karena khawatir mereka akan tawuran atau menggangguku. Namun tidak disangka salah satu di antara mereka, mungkin ketuanya justru berkata “Tidur lagi aja Bang, kita gak bakal mengganggu kalau Abang tidak mengganggu”, ucapnya sembari memberi aba-aba kepada yang lainnya untuk meninggalkan tempatku berada. Sejenak Aku merasa lega ternyata mereka tidak jahat selagi kita tidak jahat kepadanya. Jujur Aku cukup khawatir karena anak muda di daerah itu terkenal ugal-ugalan.

Kembali ke cerita malam Jumat. Malam itu Aku hanya duduk di bantaran tepian jalan. Mencoba menikmati malam yang sunyi. Ibu kota yang biasanya riuh dan bising seolah disulap menjadi desa yang permai. Tidak ada suara bising kendaraan bermotor. Tidak ada cuaca terik dan kemacetan yang menyebalkan.

Saat Aku sedang asyik terdiam, ada yang datang mendekatiku. Beberapa ibu yang jumlahnya lebih dari lima. Aku mulai tidak nyaman dengan kedatangannya. Mereka tampak mondar mandir di sekitarku, tak jelas. Aku pun menjadi begitu terganggu. Mereka mondar-mandir tanpa bersuara.
Aku begitu kaget saat ada yang nekat mendekatiku dan menyentuhku. Akupun terhenyak dan segera menepisnya sangat pelan. Mendapatkan respon dariku, ia sedikit menjauh namun tetap di sekitarku. “Berani banget ini ibu,” batinku.

Berlahan Aku mencoba menghayati apa yang mereka lakukan. Aku pun teringat saat belajar di kampus. Mereka hanya para ibu yang sedang mencari nafkah. Berkorban menghabiskan malam untuk menyambung hidup di keesokan harinya. Sekilas Aku menjadi kagum terhadapnya. Pejuang tangguh pikirku. Tak kenal lelah demi buah hatinya yang disayangi. Begitu pemberani, pejuang sejati yang harus bekerja di larut malam saat kebanyakan orang justru tertidur lelap.

Hingga beberapa menit pun berlalu. Mereka masih di sekitarku. Aku kini dibuatnya tidak betah. Aku pun berniat hendak pergi mencari tempat lain. Namun tiba-tiba ada yang menyentuh dan meminta sesuatu dariku. Ia memintanya dengan tidak bersuara. Aku menolaknya dengan menepis berlahan. Namun ia dan yang lainnya semakin menjadi, mereka dengan mengambil paksa apa yang ada di diriku. Aku pun marah hingga kutepis dengan keras. Ayunan tanganku begitu keras hingga….plak. Mereka mati di tangan ku. Ya mereka benar-benar mati. Bahkan ada yang sangat mengenaskan karena Aku terlalu keras memukulnya. Sepontan Aku berteriak “Ah, sial banyak nyamuk!”.

Benar, ibu sang pejuang tangguh yang pemberani itu adalah ibu dari para jentik-jentik nyamuk. Mereka menghisap darah untuk memberikan nutrisi cukup bagi telur-telur yang dikandungnya. Hanya nyamuk betina yang menghisap darah manusia karena hanya nyamuk betinalah yang hamil. Nyamuk jantan tidak menghisap darah melainkan akan menghisap nektar.

Dari kisah nyamuk betina kita dapat mengambil hikmah tentang pengorbanan seorang ibu. Mereka pantang menyerah untuk mencari darah, tak takut mati. Walapun kecil dan lemah, mereka tetap berjuang untukmencari darah dan memberikan yang terbaik untuk telur-telurnya.

Begitu pula dengan ibu-ibu kita yang rela mengorbankan apapun untuk buah hatinya. Kini saatnya kita membalas kebaikan ibu-ibu kita kawan. Sekian. Oh iya, maaf ibu nyamuk, Aku membunuh kalian.

Categorized in: