Benar kata dosen saya, buku adalah pacar yang paling setia. Gak cemburuan lagi. Gak PHP-in. Gak kaya kamu. Iya kamu.
Semester ini saya ingin menabung. Rekening BNI yang ATM-nya menyatu dengan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sejak dulu kering kerontang. Selalu diselimuti debu yang membuat mata tak sanggup melihatnya. Cara menabung bagaimana? Yaa saya harus lebih rajin menulis di Poros ataupun menahan nafsu saya membeli buku. Hal yang menurut saya menjadi penyebab ini semua. Tai Pat Kai, Siluman Babi dan filosof flamboyan di serial “Kera Sakti” pernah mengatakan bahwa cinta itu penderitaan tiada akhir. Saya setuju. Untuk saat ini cinta masih menjadi bahan penderitaan tiada akhir. Apa lagi waktu dia meninggalkan saya pasca hari jadinya yang ke 20. Ahhh Sial saya kebablasan curhat. Tapi untuk buku, saya tak paham apakah membeli buku untuk dibaca adalah bentuk cinta yang menderita atau tidak.
Saya akui, daya beli buku saya membuncah waktu kuliah. Ketika masih menjadi Mahasiswa Baru menjadi awal saya rajin membeli buku. Awalnya paksaan dari berbagai mata kuliah. Tapi cinta itu tumbuh. Karena paksaan? Mungkin karena lingkungan. Saya adalah mahasiswa Jurusan Sosiologi dan itu yang menuntut saya untuk terus membaca.
Buku bacaan tentang ilmu sosiologi kalau tidak tebal, tipis tapi full bahasa inggris. Jikapun karya terjemahan, masih sulit untuk dimengerti. Begitupun dosennya. Ada dosen dari awal saya ketemu di semester 1 sampai tahun ketiga saya masih suka tidak mengerti apa yang beliau jelaskan. Tetapi walaupun begitu, dosen itu rajin menulis buku, menulis opini di Koran dan menjadi salah satu dosen yang terkenal di dunia akademis sosial-humaniora Indonesia. Bahkan para mahasiswa atau akademisi lain sering membicarakan pemikirannya. Bangga sih, tapi saya masih sering gagal paham ketika dia mengajar.
Beragam kesulitan itu tidak membuat saya menyerah. Pernah sih frustasi, tapi karena sudah kadung masuk Jurusan ini, masa iya harus menyerah di semester pertama. Untuk itu saya mulai baca buku. Sederhana, saya memulai membaca buku-buku sebelum kegiatan kuliah dimulai. Seperti anak sekolahan. Malamnya baca untuk besok di kelas. Kadang saya tulis dalam buku catatan untuk lebih mengingat. Hasilnya bagus. Saya mulai mengerti apa yang diucap dosen dan bisa sedikit melontarkan pertanyaan dan komentar pada saat perkuliahan di kelas. Dosen pun apresiatif dan saya makin mencintai membaca buku.
Candu Buku
Saya mulai rajin membaca dan membeli buku. Bukan berarti sok kaya, tapi membeli buku terasa lebih nyaman ketimbang meminjamnya. Setidaknya buku tersebut bebas saya stabilo, hehehe. Dahulu di depan Jurusan IKK FT ada bazaar buku dan saya rajin membeli buku di sana. Mulai dari buku bacaan wajib perkuliahan sampai buku sejarah dan teori sosiologi yang sebenarnya belum perlu dibaca untuk mahasiswa semester awal.
Saya membeli buku Soe Hok Gie yang berjudul “Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan” dan George Ritzer yang judulnya “Sosiologi Berparadigma Ganda”. Buku itu saya beli dengan alasan-alasan yang sederhana. Pertama karena bukunya tipis dan murah. Kedua karena sampul buku Soe Hok Gie berwarna merah, warna favorit saya, dan terakhir karena buku George Ritzer ada sosiologi-sosiologinya di bagian judul. Tidak ada tujuan untuk mengenal Soe atau sok-sokan jadi mahasiswa sosiologi yang sok baca buku-buku teori.
Pencarian buku tidak berhenti disitu saja. Saya menjelajahi perpustakaan kedua sepupu saya yang umurnya sekitar 10 tahun lebih tua dari saya. Mereka adalah Bang Didang dan Bang Pizzaro. Bang Didang adalah alumnus FISIP UI jurusan ilmu politik. Saya tahu dia punya banyak buku karena sejak kecil saya sering bermain di kamar dia. Maklum, rumah orangtuanya dan orangtua saya sangat berdekatan. Bahkan bersebelahan langsung sampai bangunannya saling menempel. Beda Bang Didang, beda Bang Pizzaro. Beliau adalah lulusan Pendidikan Konseling UIN Jakarta. Dia yang sekarang menjadi wartawan media Islampos memiliki buku yang banyak dirumahnya. Sebenarnya itu bukan buku-bukunya semua. Ayah dan kakaknya juga penggila buku sehingga menambah banyak koleksi buku di rumahnya tersebut.
Dua sepupu saya ini memiliki koleksi buku yang berbeda. Bang Didang lebih pada buku sejarah perang dari Perang Dunia II sampai dinamika politik di peristiwa 65. Sedangkan Bang Pizzaro buku mentereng mulai dari psikologi ala Freudian dan Deleuze-Guattari, konspirasi Yahudi dan Syiah sampai isu media dan pergerakan organisasi Islam. Saya menyukai koleksi buku mereka. Bahkan saya sering terbantu dengan buku-buku mereka dikala mengerjakan tugas.
Seperti saat saya harus mengerjakan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, saya meminjam buku tentang peristiwa 65 dari Bang Didang begitupun waktu saya mengerjakan tugas akhir mata kuliah Teori Sosiologi Klasik saya meminjam buku-buku tentang kajian media dari Bang Pizzaro. Bahkan untuk Bang Pizzaro, untuk “menyelamatkan” buku-buku bagus yang takutnya bakal hilang karena banyaknya koleksi buku dirumahnya saya sengaja menaruh buku-buku tersebut di rumah. Nanti saya akan mengembalikannya.
Buku saya cari karena saya semakin merasa senang kala membaca. Rasanya ada kenikmatan tersendiri ketika membaca buku sampai habis. Mungkin seperti kala pendaki gunung mencapai puncak, para gamers menamatkan permainan atau yaaa coba bayangkan sendirilah. Saya tidak mau membuat metaphor berlebihan tentang membaca. Itu yang membuat saya semakin rajin mencari buku untuk dibeli.
Pencarian buku saya tidak di kampus saja. Saya mulai melakukan penjelajahan di toko buku ataupun toko buku online. Toko buku pun saya jarang sekali di toko buku besar seperti Gramedia. Entah kenapa saya lebih sering memborong buku di toko buku kecil seperti yang ada di dekat rumah abang saya di sekitar Villa Pertiwi Cilodong, ataupun Toko Buku Kharisma di Graha Cijantung yang sekarang sudah tutup. Saya pernah memborong buku tentang pendidikan bahkan buku Restorasi Pendidikan karya LKM UNJ yang waktu itu dosen saya Pak Syaifudin ikut menyumbang tulisan kala masih mahasiswa ataupun buku-buku tentang kajian budaya populer dan nasionalisme di Toko Buku Kharisma. Sisanya saya membeli di toko buku online.
Untuk Online saya memiliki dua toko buku langganan di Yogjakarta. Bahkan setiap liburan semester ataupun awal kuliah saya selalu memesan buku baik untuk sekadar mengisi waktu libur untuk membaca ataupun tuntutan matakuliah. Mengenai biaya untuk membeli buku saya membagi menjadi dua sumber dana.
Soal buku untuk tuntutan matakuliah saya meminta dari orangtua. Sebagai anak terakhir dengan kedua kakak yang sudah berkeluarga dan meninggalkan rumah otomatis semua berpusat kepada saya sekarang sehingga untuk urusan pendidikan orangtua memberi perhatian penuh kepada saya termasuk membeli buku. Apakah saya senang? iya, tapi saya berusaha untuk tidak berfoya-foya.
Di kampus, saya banyak belajar dari kawan yang mencari nafkah demi uang kuliah untuk mandiri dan berhemat. Untunglah sejak tahun 2014 saya mulai menjadi wartawan lepas di media nasional. Honor dari menulis saya jadikan sumber dana kedua dan tambahan uang untuk membeli buku khususnya buku yang saya ingin baca bukan karena tuntutan kuliah. Sisanya jika ada saya tabung. Itu saya lakukan sampai sekarang. Menjadi mahasiswa semester 7. Membaca buku demi tuntuan kuliah atau karena ingin membacanya. Saya menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan jika mampu saya menuliskannya ulang dengan gagasan saya.
Oleh: Naufal Mamduh (Fakultas Ilmu Sosial)
Tulisan ini merupakan salah satu tulisan bulanan dengan tema “First Step Mahasiswa Baru UNJ” yang dipersembahkan oleh KOMBUN (Komunitas Blogger UNJ). Ingin bergabung dengan kami? Silakan daftarkan dirimu di:http://goo.gl/forms/hXtu6HKl4N