Masihkah Jarak tertanam di Hati?

Pendidikan menjadi pilar penting dalam kehidupan seseorang, yang diharpakan dengan pendidikan mampu menjadikan kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak ingin mengenal menjadi harus mengenal, dan dari tidak menjadi hingga akhirnya harus menjadi. Untuk siapapun yang hidup dan dihidupakn atas izin-Nya.

Berangkat dari siapapun berpikir bahwa pendidikan itu penting, menarik untuk mengemukakan realita yang ada. Sering sekali terlupakan bahwa dalam hidup banyak orang-orang yang diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta. Tidak lain sering kita lihat mereka dengan kelebihan penglihatan, pendengaran, aktivitas, daya khayal dan sebagainya. Baiklah, berikut penulis hadirkan subjek agar menjadi tulisan yang sedikit berbobot yaaa

Didahului dengan pertanyaan:

“Siapa orang-orang yang diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta?”

Sebut saja, orang tuli, buta, idiot, cacat fisik, autis, dan sebagainya. Dalam dunia pendidikan disebutlah mereka dengan istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Penjelasan singkat, yakni mereka yang memiliki karakteristik khusus sehingga memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing secara individual. Nah, bukan berarti mereka tidak mampu untuk mengenyam pendidikan seperti anak pada umumnya, hanya saja membutuhkan pelayanan khusus dan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki.

Pada zaman yang semakin berkembang ini, keberadaan mereka dan peristilahan mereka menjadi jauh lebih menyamankan mereka untuk didengar. Jauh dari konotasi mengejek, merendahkan ataupun memandang sebelah mata mereka. Sekarang ini isilah-istilah yang kuno beralih menjadi tunarungu/ hambatan pendengaran, tunanetra/ hambatan penglihatan, tunagrahita/ hambatan intelektual, tuandaksa/ hambatan fisik dan motorik, ADHD/ADD/hiperaktif, autism, dan sebagainya.

sudahkah kita membuka mata kita untuk menganggap semua memiliki kemampuan?

Jangan heran kita sebagai mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jika tiba-tiba memiliki teman kelas yang memilih hambatan di atas. Di kampus tercinta kita ternyata cukup banyak yang demikian itu, lho. Realitanya masih ada saja yang baik dari kita/mahasiswa, dosen, staff kampus yang masih merasa tidak nyaman akan keberadaan mereka. Bahkan menurutnya tidak pantas teman-teman dengan hambatan yang mereka miliki mengenyam pendidikan di tingkat kampus. Tidak jarang juga dijadikan bahan cemoohan baik saat ada mereka disekitarnya maupun tidak. Sangat disayangkan dengan sikap demikian, notabene mereka berada pada fase perkembangan yang sudah sangat mengenali toleransi juga baik-buruk perilaku.

Apa salahnya? Mengganggu kah? Saya kira tidak pernah mengganggu karena kemandirian mereka yang sudah terlatih. Ini menjadi ulasan ranah sosial ya

Kembali ke dunia pendidikan, UNJ menjadi satu lembaga penyelenggara pendidikan di tingkat kampus dimana terdapat cukup banyak mahasiswa berkebutuhan khusus di dalamnya sudahkah memberikan pelayanan yang sesuai?

Bagi teman-teman tunanetra, menggunakan tongkat dan braille adalah cara mereka mengenali kehidupan ini. Mengenali lingkungannya, pengetahuan, dan sebagainya. Di UNJ beberapa gedung/ bangunan terdapat papan petunjuk tempat yang menggunakan huruf Braille (Peta timbul di UPT Perpustakaan UNJ, Tempat Wudhu Masjid Alumni, ruang kelas ditiap gedung daksinapati/FIP, Lift Gedung R.A. Kartini dan Dewi Sartika). Keberadaan ini menjadi hal terpenting bagi teman-teman tunanetra untuk mengetahui dimana mereka berada tanpa harus memerlukan bantuan orang lain (dimana kita ketahui juga, zaman sekrang kepedulian social semakin terkikis. Re: dampak globalisasi).

Contoh kegunaan huruf Braille bagi tunanetra mereka akan mampu menemukan ruang kelas yang akan ia ikuti dalam perkuliahan. Di lain sisi juga membantu mereka untuk memandirikannya, percaya akan kemampuannya, dsb. Pada kenyataannya huruf-huruf Braille ini tidak terdapat di seluruh lingkungan UNJ. Sepele bagi kita dan bahkan banyak yang tidak mengerti cara membaca, namun itulah bentuk pelayanan khusus yang disesuaikan dengan kondisi teman-teman tunanetra.

Beralih kepada teman-teman tunadaksa, mereka dengan hambatan motorik yang minim berfungsi. Bayangkan tunadaksa pengguna kursi roda harus kuliah di lantai 3, dengan situasi gedung tersebut tidak memiliki lift dan hanya memiliki tangga untuk menuju ke atas. Dengan segala persoalan sosial orang lain tidak ingin membantu, tidak ingin direpotkan dan sebagainya. Hingga pada akhirnya tunadaksa lah yang menanggung, baik itu cemoohan ataupun disalahk-salahkan dengan keadannya yang seperti itu. Pada kenyataannya, tunadaksa itu membayar untuk kuliah sama dengan yang lain, diterima juga di kampus kita, namun pelayanan tidak sesuai.

Di atas adalah contoh sangat kecil namun sering terjadi (lagi-lagi jika memperhatikan) di lingkungan kampus kita tercinta. Tidak menutup kemungkinan ada juga yang memang memiliki kepedulian social terhadap sesama.

Jikalau kita merasa diciptakan, merekapun diciptakan.
Jikalau kita merasa kita mampu, mereakpun merasa mampu.
Jikalau kita sanggup berjuang, apalagi mereka. Lebih dari mampu.
Jikalau hidup tak segan, apakah doa menjadi penawar dosamu?

Maka tugas kitalah mengingatkan sesama untuk mendapatkan kebutuhannya dan senantiasa menunaikan kewajibannya. Penulisan ini hanya sekadar tulisan orang awam yang tidak secara mendalam tahu bagaimana harus bersikap di segala aspek ketika raga sagat dekat dengan mereka yang memiliki hambatan dengan sangat jelas. Hanya ingin berbagi, masih kah kita merasa tinggi jika langit saja tidak pernah merasakannya?

Oleh: Eva Rahma Sridamayanti (Pendidikan Luar Biasa UNJ Angkatan 2014)

Tulisan ini dipersembahkan untuk Pesta Literasi 2017 yang diselenggarakan oleh UNJKita.

 

Categorized in: