Belakangan, kita mengetahui bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar telah membuat kepanikan tersendiri terhadap publik. Beragam respon mulai bermunculan. Mulai dari institusi pemerintah yang menganggap ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan – mengingat krisis ini tidak sebanding dengan tahun 98 –, hingga berbagai elemen layaknya oposisi pemerintah yang menilai ini merupakan masalah serius yang tidak boleh luput dari penanggulangan pemerintah. Terlepas dari berbagai macam respon yang dikeluarkan oleh banyaknya elemen yang ada di indonesia, terdapat suatu fenomena unik yang nampaknya patut dijadikan perhatian, yaitu respon mahasiswa terhadap problematika ini.
Munculnya aksi-aksi mahasiswa yang dinisiasi oleh aksi UIR (10/9/2019) kepada pemerintah yang salah satu tuntutannya adalah stabilkan perekonomian bangsa telah menyedot perhatian publik. Bagaimana tidak, setelah diadakannya aksi tersebut, mulai bermunculan dukungan kepada entitas gerakan mahasiswa untuk ikut menyuarakan keresahan dan problematika bangsa kepada penguasa. Hal itupun disambut cukup baik oleh elemen-elemen mahasiswa lainnya, salah satunya adalah aksi yang dilakukan oleh Aliansi BEM Seluruh Indonesia Wilayah Jabodetabek-Banten di Kementrian Keuangan pada tanggal 14 September 2018. Dari berbagai macam rentetan aksi-aksi tersebut, muncul kembali pertanyaan, “Mengapa Mahasiswa (Masih) Harus Bergerak?”.
Empat Peran Mahasiswa
Sebelum penulis menjabarkan lebih jauh terkait alasan mengapa mahasiswa harus bergerak, ijinkan penulis terlebih dahulu sedikit menjelaskan empat peran mahasiswa. Idealnya, dalam berbagai macam kegiatan kemahasiswaan yang diadakan di kampus-kampus, ataupun retorika para orator diatas panggung jalanan, mereka akan menyebutkan bahwa mahasiswa memiliki empat peran: Agent of Change, Social Control, Iron Stock, dan Moral Force.
Sebagai seorang mahasiswa, kita semestinya menjadi solusi atas segala macam problematika yang hadir di tengah-tengah bangsa kita. Oleh karenanya, kita harus menjadi agen perubahan (agent of change) yang mampu merubah kondisi bangsa menuju arah yang lebih baik.
Berperan sebagai social control, mahasiswa harus mampu menempatkan diri ditengah-tengah masyarakat, mendengarkan keluh kesah masyarakat, dan memposisikan diri untuk menanggulangi timbulnya gejolak ditengah-tengah masyarakat. Sebagai iron stock, mahasiswa berperan sebagai pengganti generas-generasi sebelumnya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Serta, mahasiswa memiliki peran sebagai moral force yang berguna sebagai penguat moral ketika bangsa menghadapi permasalahan identitas dan sebagainya.
Masalah Yang Begitu Kompleks
Dengan empat peran yang sudah dipaparkan di atas, mahasiswa dihadapkan dengan permasalahan yang begitu kompleks. Sebut saja masalah perekonomian, masalah sosial, pengekan hukum, kebebasan berdemokrasi, dan masalah-masalah lainnya yang hari ini dialami ibu pertiwi yang sedang terisak tangis. Masalah-masalah tersebut merupakan masalah multidimensi, mulai dari masalah horizontal yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, hingga masalah vertikal yang menyinggung peranan pemerintah sebagai penanggung jawab atas masalah-masalah kompleks tersebut.
Jangan Lupa universitas di Indonesia juga memiliki tujuan bersama yang dirangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Minoritas Yang Beruntung
Berlanjut dari poin yang sudah dipaparkan sebelumnya, lantas apa yang menjadikan mahasiswa layak untuk mengemban tugas berat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut? Sederhananya, mahasiswa diberikan anugerah yang begitu luar biasa karena mereka dapat merasakan strata pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) yang tidak bisa dirasakan oleh orang kebanyakan. Mengapa bisa dikatakan demikian?
Menurut Buku Statistik Pendidikan Tinggi 2017, jumlah mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia berjumlah 6.924.511 orang. Ini berarti, mahasiswa hanya berjumlah sekitar 2,6% dari total penduduk Indonesia (asumsi penduduk indonesia 260 juta jiwa). Artinya lagi, bahwa mahasiswa adalah kaum minoritas di negara indonesia ini. Namun, bukan merupakan kaum minoritas lemah yang tidak memiliki bergaining position, melainkan kaum minoritas yang memiliki intelektualitas yang begitu tinggi berkat akses pendidikan yang didapatinya.
Semangat Dan Idealisme
Lantas, apakah intelektualitas saja cukup? Nampaknya kita sudah banyak menyaksikan betapa ironinya para pejabat negeri ini melenggang dengan hinanya menuju sel penjara dengan mengenakan kostum bertuliskan “NAPI Koruptor”. Mereka bukanlah orang yang tidak memiliki kepandaian, intelektulitas mereka tinggi, namun moral mereka begitu rendah. Dari gambaran tersebut saja sudah bisa dipastikan bahwa intelektualitas saja masih belum cukup.
Mahasiswa, yang notabene merupakan pemuda tentunya berada pada masa memegang teguh semangat dan idealismenya. Belum terpapar beban duniawi yang begitu keras dan berat. Hingga gagasan yang bisa mereka berikan adalah murni atas dasar keresahan yang mereka rawat.
Inilah modal utama mahasiswa mengapa mereka harus senantiasa bergerak. Layaknya seorang Tan Malaka berkata, “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda”, saking mewahnya hal ini, sampai-sampai predikat tersebut hanya dikultuskan bagi mereka para pemuda. Oleh karenanya, bergerak merupakan suatu keharusan bagi mahasiswa – yang notabene pemuda – karena tugas mulia tersebut hanya cocok diemban oleh mereka.
“Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu. Anak muda menawarkan masa depan!” – Anies Rasyid Baswedan
Akbar Kurnianto
eisen-ishuzzark.blogspot.com