Moh Hatta. Ia lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Seorang peranakan dari keturunan ulama dan pengusaha. Bapaknya, Muhammad Djamil ialah seorang guru mursyid sekaligus pengusaha yang juga anak dari seorang pemimpin pondok pesantren di Batuhampar yang cukup terkenal pada masanya, yakni Syaikh Abdurrahman yang biasa dikenal dengan sapaan Syaikh Nan Tuo. Sementara keluarga Ibunya, Siti Saleha, merupakan keluarga yang dikenal bergerak dibidang usaha. Ayah dari Ibu Siti Saleha bernama Ilyas yang mempunyai gelar Bagindo Marah yang memiliki relasi dagang sampai ke Sawahlunto dan Lubuk Sikaping.
Maju pada masa-masa perjuangan si Ghandi of Java –Demikianlah Hatta disebut oleh media jepang dipertengahan ’30-an-. Perjuangan telah “bermutasi” dalam pikirannya dengan semangat untuk memerdekakan Indonesia sebagai buktinya. Hal itu diperngaruhi dengan rekam jejak kehidupannya. Termasuk saat ia menimba ilmu di Belanda dan di sana ia dikenal sebagai si kutu buku dengan perangai yang religius yang tidak suka berfoya-foya dengan wanita juga tidak meminum minuman beralkohol, sebagaimana pelajar-pelajar lainnya di Belanda. Dengan demikian ia mendapat ejekan dari teman-temannya dan juga dianggap sok alim.
Pemikirannya diimplementasikkannya dengan terbentuknya PNI-Baru. Organisasi yang berakronim Pendidikan Nasional Indonesia-Baru. PNI-Baru mulanya dipimpin oleh Sjahrir karena saat itu Moh Hatta ingin menyelesaikann tugas akhirnya. Saat tugasnya selesai, Moh Hatta pulang ke tanah air bersiap mengemban amanah menjadi pemimpin PNI-Baru dan Sjahrir melanjutkan studinya yang sempat tertunda untuk mendirikan PNI-Baru. Saat Sjahrir ingin ke Belanda, Belanda yang telah mendengar betapa berpengaruhnya organisasi “pengganti” PNI kepemimpinan Soekarno ini langsung bertindak represif dengan menangkap pemimpin-pemimpin PNI-Baru. Beberapa di antaranya, Moh Hatta dan Sjahrir. Mereka ditangkap oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 25 Februari 1934.
Penangkapan itu ialah penangkapan kali kedua yang sebelumnya ia alami pada tanggal 25 September 1927 saat ia menjabat di PI (Perhimpunan Indonesia). Begitulah jalan pejuang, hari-harinya tak jauh dari ancaman. Mesti harus ada yang yang dikorbankan untuk menggapai cita-cita bersama. Begitupun urusan cinta. Ia, Bapak Koperasi Indonesia, menunjukkan kesungguhannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan komitmen tak akan menikah sebelum kemerdekaan telah berada di pangkuan ibu pertiwi.
Di tengah usaha menggapai kemerdekaan di era pergerakan nasiona, Hatta tak pernah sekalipun meninggalkan shalat lima waktu. Bahkan ia kerap melakukan puasa Senin-Kamis sebagai aktivitas ibadah sunnah. Begitulah ia, Bung Hatta sang pemimpin yang gila buku. Latar belakang keluarga yang relijius menjadikan ia seorang pejuang nasional yang relijius. Komitmennya untuk tidak menikah sebelum Indonesia benar adanya, murni kesungguhan hatinya. Sampai akhirnya Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945: sebuah penggalan-penggalan peristiwa yang menyusunnya dalam bentuk utuh, sebuah kemerdekaan. Kisah penculikan dwitunggal ke Rengasdengklok pada 17 Agustus 1945 yang bermaksud mendesak dwitunggal segera memproklamirkan kemerdekaan pun menjadi sekelumit cerita sebelum akhirnya Indonesia merdeka. Romansa cintanya pun terwujud tak lama selepas kemerdekaan. Tepat pada bulan November 1945 Moh Hatta menikahi Rahmi diusianya yang telah mencapai 43 tahun.
Singkat cerita, setelah tak lagi mendampingi bung besar, beliau, Moh Hatta, mengalami pasang surut kehidupan bersama keluarga kecilnya. Biaya listrik yang mesti dipikirkan, uang “pensiunan” yang terbilang kurang besar dan sepatu yang diinginkan tak terbeli hingga ajalnya datang. Dari banyak hal yang dapat diteladani setelah beliau tak lagi menjadi wakil dari Ir. Soekarno –karena perbedaan pandangan- ialah, beliau bukan serta merta memutus tali silaturahmi. Saat Panglima Revolusi mengalami sakit dan akhirnya wafat, Moh. Hatta pun ikut mendampingi presiden RI pertama itu.