Gelaran sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memang telah berakhir sepekan lalu. Dalam perlombaan yang digelar di Gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta mengeluarkan 3 nama pemenang. Juara pertama, Felix K. Nesi dengan judul Orang-Orang Oetimu. kemudian, ditempat kedua, terdapat Ahmad Mustafa dengan naskah berjudul: Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman. Lalu ada Mochamad Nasrullah di tempat ketiga dengan Balada Supri.
Gelaran ini sendiri telah mencetak nama-nama tenar dalam jagat novel Indonesia. Sebut saja Putu Wijaya, Ramadhan K.H., Arswendo Atmowiloto, Budi Darma, Ayu Utami, Ratih Kumala, Ahmad Tohari, serta penulis-penulis lainnya. Bisa dikatakan bahwa para pemenang dari sayembara ini dapat dipastikan memiliki kualitas kepengarangan yang diakui, dan merupakan bibit-bibit unggul di dunia sastra Indonesia serta patut dinantikan kiprah mereka kedepannya.
Spesial untuk gelaran kali ini, Mochamad Nasrullah yang keluar sebagai juara ketiga yang tak lain merupakan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pria yang kini bermukim di Jember semasa berkuliah aktif di beberapa komunitas seperti Tembok dan Bengkel Sastra UNJ. Selepas berkuliah di kampus Rawamangun, Nasrul juga merupakan alumni program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dan sekarang sedang menempuh program PPG (Pendidikan Profesi Guru) di Jember.
“Perasaan gw itu adalah kekalahan yang menyenangkan, karena tentu saja itu malamnya mas Felix (juara 1).”
Dalam mengikuti gelaran tersebut, pria yang akrab disapa Nasrul mengikutsertakan naskahnya yang berjudul Balada Supri. Lewat naskah tersebut, Nasrul mendapat banjiran pujian dari dewan juri, bahkan dari mereka sampai membandingkan karya tersebut dengan One Hundred Years of Solitude karya novelis Kolumbia, Gabriel García Márquez. Berikut petikan komentar dewan juri:
“Naskah ini ditulis dengan jenaka dan mengisahkan jatuh-bangunnya sebuah keluarga empat generasi dalam gaya realisme magis. Melalui lintas generasi kita dibawa pada gambar lebih besar berbagai peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia, menyeret para tokoh ke dalam pusaran dan dampaknya pada kehidupan anak-cucu generasi selanjutnya. Metafora-metaforanya menggelitik, dengan dialog yang cair dan alami. Tokoh-tokohnya tidak terjebak ke dalam stereotipe atau karikatur, memaparkan dengan jelas pergulatan batin dan adaptasi mereka di tengah berbagai perubahan. Kelemahan utama naskah ini terletak pada kecenderungannya untuk menjadi sebuah versi lain lagi dari One Hundred Years of Solitude.”
Seakan belum berpuas diri, saat tim redaksi menanyakan ikhwal penerbitan karyanya. Nasrul mengaku belum akan menerbitkan Balada Supri dalam waktu dekat. Meskipun berbagai tawaran datang dari berbagai penerbit, ia mengaku masih ingin, merevisi karyanya agar kemudian dapat lebih baik ketimbang saat proses penjurian lalu.
Untuk hadiah sendiri, sebagai juara ketiga Nasrul diganjar hadiah senilai Rp. 10.000.000. Patut kita nanti, bagaimana sepak terjang Mochamad Nasrullah di dunia sastra kedepannya.