Perubahan iklim yang terjadi sedemikian cepat disertai dengan bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan yang berkepanjangan menandakan ketidakselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan (KLH RI, 2013). Berbagai kerusakan lingkungan yang terus terjadi tentunya dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia.

Kerusakan lingkungan tersebut merupakan dampak yang ditimbulkan pembangunan oleh manusia. Menurut Machmud (2012), pembangunan yang dilakukan secara terus-menerus terutama di daerah perkotaan, telah merubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Hal tersebut tidak saja terjadi di negara-negara berkembang, melainkan juga terjadi di negara-negara maju. Lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan yang berakibat pada ketidaksesuaian pada fungsi lingkungan. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat semakin memicu terjadinya gangguan dan ancaman terhadap lingkungan khususnya kawasan konservasi (Dephut RI, 2008).

Liesnoor dkk (2014) menjelaskan bahwa masalah lingkungan pada tingkat nasional dan global disebabkan oleh faktor kependudukan. Masalah kependudukan ditandai oleh laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Population Division of United Nation (2015) dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebanyak 255.709.000 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk dari tahun 2010 hingga 2015 sebesar 1,2 persen. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan semakin bertambah. Hal tersebut menyebabkan eksploitasi lingkungan semakin masif yang berdampak pada alih fungsi kawasan konservasi.

Kerusakan lingkungan yang terus terjadi harus segera diatasi sebelum berdampak lebih buruk terhadap kelestarian lingkungan. Salah satu strategi untuk mengurangi permasalahan kerusakan lingkungan adalah dengan konservasi. Menurut Undang-undang Nomor 05 Tahun 1990 Tentang Perlindungan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Moeliono dkk (2010) menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia mengandalkan tiga pilar dalam kebijakan konservasi, yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan.

Kebijakan konservasi sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan pada saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang sangat berat. Permasalahan kebijakan konservasi salah satunya adalah terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Konflik tersebut disebabkan karena masyarakat kurang dilibatkan dalam kebijakan konservasi (Setyowati dkk, 2008). Oleh karena itu, partisipasi aktif dari segenap komponen masyarakat dalam upaya konservasi sangat dibutuhkan. Masyarakat harus turut berpartisipasi dalam upaya konservasi terutama kalangan mahasiswa sebagai kalangan terelajar. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Sebagai pihak yang berpendidikan tinggi sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change), peran mahasiswa sangat diharapkan dalam upaya konservsi. Hal tersebut merupakan bukti nyata pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Mahasiswa dapat mempelajari ilmu tentang konservasi dari mata kuliah atau ikut serta dalam kegiatan konservasi yang diadakan oleh organisasi lingkungan hidup di kampus. Pengertian organisasi lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan. Kegiatan konservasi yang diadakan oleh organisasi lingkungan hidup tersebut mencangkup kegiatan yang bertujuan meningkatkan rasa cinta dan peduli terhadap lingkungan.

Setiap fakultas di Universitas Negeri Jakarta memiliki Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) dengan underbow di bidang sosial politik. TanK MIPA di FMIPA, FIP Green Time di FIP, Pasukan Biru di FT, Red Soldier di FIS, Pandawa di FE, dan Basis di FBS. Namun tidak semua BEM Fakultas memiliki organisasi underbow yang bergerak di bidang lingkungan.

Kini sudah saatnya bagi segenap jajaran Opmawa UNJ untuk memulai menjadi bagian green volunteer. Tentu tidak mudah untuk membentuk organisasi underbow yang bergerak di bidang lingkungan khususnya bagi fakultas yang tidak memiliki prodi yang berbasis lingkungan. Namun, bukan pula hal yang mustahil. Kita dapat bercermin dari kondisi saat ini dimana fakultas yang tidak memiliki prodi berbasis sosial politik justru memiliki organisasi underbow di bidang sosial politik. Kini yang dibutuhkan adalah tekad dan optimisme. Pertanyaannya adalah, “Beranikah BEM Fakultas membentuk organisasi underbow di bidang lingkungan?”.

Categorized in: