Namaku Alfitra Fariz, ditakdirkan lahir sebagai anak lelaki pertama dari sepasang orang tua yang murni berdarah Jawa. Pada hari senin ini, aku baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhirku yang mana telah sukses membuat seluruh bagian kepalaku ingin meledak. Dan karena itu, aku jadi ingin cepat-cepat pulang ke rumah rasanya. Mandi dengan air hangat, meminum coklat panas sambil mendengarkan lagu bung Fiersa serta tak lupa menyantap roti cokelat keju buatan ibu. Ah aku rasa ini akan ampuh untuk mengobati rasa penat hari ini untuk mewujudkan cita-cita di kepalaku saat ini. Aku harus berhenti mengkhayal dan mulai bergegas mengambil langkah untuk pulang.
Aku terbiasa mengendarai sepeda motor sebagai modal transportasi untuk pulang dan pergi. Karena aku rasa ini adalah satu-satunya kendaraan paling mutakhir yang telah dirancang umat manusia untuk menjelajahi jalanan di negeri ini, khususnya di Jakarta. Meskipun sudah sore, ternyata suhu di bulan ini masih cukup menyengat kulit, belum lagi jalanan Ibukota yang selalu tampak padat, berisik, banyak polusi juga polisi membuat hasratku ingin segera tiba di rumah menjadi semakin merah menyala.
Saat sedang nikmat memainkan tali gas motor, tiba-tiba lampu merah di depan sana dengan seenaknya sendiri mengganti warna kepalanya menjadi merah, sehingga mau tidak mau hal itu memaksaku untuk berhenti dan menunggunya kembali mengubah warna kepalanya. Di tengah hiruk-pikuk dan perasaan kesal karena menunggu, tiba-tiba bola mataku menangkap pemandangan lain di perempatan lampu merah tempatku berhenti saat ini. Seorang bapak yang sedang bersusah payah menyuapi anaknya makanan, walaupun keadaan fisiknya tak sempurna. Tapi itu tidak menyusutkan niatnya untuk membuat sang buah hati tidak kelaparan.
Seketika terasa ada sesuatu yang meleleh di ujung mataku saat itu juga, bayanganku langsung tertuju kepada ayah di rumah. Ayah yang selama ini membesarkanku. Ayah yang selama hidupnya tidak pernah mengeraskan suaranya kala aku berbuat ulah. Ayah yang selalu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak hidup dari belas kasihan orang lain. Ayah yang selalu tidak banyak bicara, namun lebih banyak bertindak dalam membuktikan kasih sayangnya. Ayah yang tidak pernah mengatakan cintanya lewat lisan namun perilakunya setiap hari adalah hasil pembuktian cinta pada anak-anaknya.
Saat itu juga aku merasakan ada sebuah layar transparan yang muncul di depan mukaku, layar yang mulai menampilkan sosok anak laki-laki yang sedang tersenyum riang dengan seragam barunya. Sosok anak yang sedari shubuh tidak sabar untuk menginjakkan kaki ke hari pertamanya sekolah. Saat sudah bersalaman dengan ayah ibunya agar mendapat restu untuk memulai harinya, anak itu bergegas keluar rumah melangkahkan kakinya menuju sekolah yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Anak itu terus melangkah dengan senyum yang terus menempel di bibirnya, tanpa ia sadari ternyata langit tiba-tiba menghitam, pekat. Dan tanpa menunggu hitungan yang lama, hujan mulai turun dengan deras.
Anak yang tidak menyiapkan kedatangan hujan itu dengan sigap, terpaksa harus menelan kenyataan bahwa seragam barunya itu basah kuyup. Sambil setengah berlari, anak itu berusaha mencari tempat untuk berteduh menghindari serangan dari hujan yang semakin garang. Akhirnya ia mulai berteduh di depan toko kelontong yang masih tutup. Setelah sekian lama menunggu, tampaknya hujan tidak memunculkan tanda-tanda untuk reda, senyum yang sedari tadi menempel di bibir bocah itupun mulai bias. Pikirannya tentang hari pertama sekolah yang akan terasa menyenangkanpun hilang, digantikan dengan bayangan akan kemarahan dari gurunya karena keterlambatannya, belum lagi teman-temannya yang akan menertawakannya karena seragamnya yang basah kuyup.
Belum jauh pikiran bocah itu melayang-layang ke depan, tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di hadapannya. Orang yang mengendarai motorpun memberi aba-aba kepada anak itu untuk segera naik ke atas motornya, tanpa diminta dua kali anak itu menuruti perintahnya. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba orang itupun mulai berbicara,
“Nak, Ayah merasa sangat gerah sekali hari ini, Kamu pakai saja jas hujan ini, Ayah ingin merasakan hujan-hujanan supaya tidak gerah lagi, kamu cepatlah pakai dan segeralah naik supaya tidak terlambat”, sambil mulai melepas jas hujannya.
“Tapi Yah, ini sedang hujan deras, nanti Ayah bagaimana?”, jawab anak itu.
“Ayah tidak akan kenapa-kenapa, lagi pula ayah memang sedang ingin hujan-hujanan, ayo cepat pakai nanti akan semakin lama lagi kamu sampai ke kelas”, sanggahnya sambil memakaikan jas hujan kepada anaknya.
Ditengah perjalanan, anak itu tiba-tiba berbicara, “Ayah, aku takut Bu Guru akan marah karena aku terlambat, aku juga takut di tertawakan teman-teman karena seragamku basah kuyup.”
“Tenang saja, Ayah tidak akan meninggalkanmu dan Ayah akan mencoba berbicara kepada Ibu Gurumu nanti”, jawabnya sambil menggigil.
“Ayah kedinginan?”, tanya anaknya.
“Tidak, Ayah tidak apa-ap. Sudah tutup kembali pelindung kepalamu supaya tidak basah, jangan risaukan Ayah”, jawabnya.
Akhirnya kedua orang itupun sudah sampai di sekolah, mereka pun langsung menuju kelas di mana seharusnya anaknya itu berada. Ruangan kelas yang sedang ramai dengan murid-murid, tiba-tiba lenggang ketika melihat seorang bapak dengan anaknya masuk dengan pakaian yang basah kuyup. Dan tanpa diminta, bapak itupun langsung mendekati seorang ibu yang menjadi guru dari anaknya. Dia memberikan penjelasan Panjang lebar mengenai apa yang terjadi dan meminta izin supaya anaknya tetap bisa mengikuti kelas di hari pertamanya sekolah. Dan ibu gurupun berbaik hati mengiyakan permintaan bapak itu.
Anak itupun menyalami gurunya kemudian ia segera memilih bangku untuk duduk. Di sela-sela pelajaran yang ada, anak itu menatap ke jendela dan ditemuinya ayahnya sedang melemparkan senyuman ke arahnya. Ayahnya memutuskan untuk menunggu anaknya sampai selesai pelajaran hari ini.
Selepas pelajaran dan menyalami gurunya, anak itu segera berlari keluar kelas dan ditemuinya ayahnya sedang tertidur lelap di bangku tunggu. Ia memandangi gurat wajah ayahnya yang sedang tertidur itu. Ia memegang tangan ayahnya yang mulai kaku dan keras akibat telah bergulat dengan waktu. Dan dengan suara lirih, anak itu pun mulai mencoba membangunkan ayahnya.
“Kamu sudah selesai, Riz?” tanya ayahnya ketika mulai membuka bola matanya.
“Sudah Yah, maafkan aku Yah telah merepotkan Ayah”, jawab anak itu.
“Ayah tidak merasa direpotkan, Riz, dan maafkan ayah membuatmu terlambat dihari pertamamu sekolah. Ayu kita pulang, Ibu pasti sudah cemas menunggu kita di rumah” jelas ayahnya
Dan tiba-tiba layar transparan di depan mataku hilang, digantikan dengan suara klakson bertubi-tubi dari belakang yang hendak menyuruhku agar segera jalan. Aku baru menyadari, ternyata aku sudah melamun terlalu lama dan mengakibatkan beberapa orang di belakangku merasa geram dengan ulahku. Tapi aku tak memedulikan orang yang sedang marah-marah itu. Pikiranku hanya terfokus pada kejadian yang baru aku lihat di layar transparan tadi. Pikiranku kembali tertuju pada ayah.
Ayah yang selama ini selalu mampu menjadi pahlawan pelindung bagiku. Ayah yang selama ini lebih banyak mengalah untuk buah hatinya. Ayah yang selama ini berbohong tentang apa yang dia rasa, agar tidak membuat khawatir anaknya. Ayah yang selama ini mengesampingkan kebahagiaan dirinya sendiri dan lebih memilih kebahagiaan itu dirasakan anaknya. Ayah yang selama ini melakukan segala hal kepadaku, tapi aku sendiri belum pernah membalas kebaikannya. Bahkan terkadang aku terlalu lupa, hanya untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku sang anak durhaka yang masih selalu ia bela. Aku sang anak pembuat ulah yang masih selalu ia bangga.
Ayah…..
aku minta maaf dan terima kasih atas semuanya….
Jakarta, kala hujan turun saat itu. Aku rindu padamu
Alfitra Fariz M.A.
Pendidikan Sosiologi 2018