Masih ingat dengan kartu kuning Zaadit?
Februari awal tahun 2018 kita telah dihebohkan dengan aksi kartu kuning Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa pada acara Dies Natalis UI. Aksi tersebut membawa tiga tuntutan, yang satu diantaranya adalah “Menolak dengan tegas rencana pengangkatan Plt. Gubernur dari kalangan Polri Aktif”. Menanggapi tuntutan BEM UI, Menkopolhukam Wiranto membatalkan usulan pengangkatan anggota polri aktif menjadi Plt. Gubernur pada saat itu (Merdeka.com, https://www.merdeka.com/peristiwa/menkopolhukam-batalkan-usulan-pati-polri-jadi-penjabat-gubernur.html).
Senin, 18 Juni 2018, Komjen Iriawan yang merupakan anggota aktif Polri sekaligus Sekretarus Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dilantik menjadi Pejabat (PJ) Gubernur Jawa Barat oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan ungkapan menkopohukam seperti yang tertulis diatas. Tentu, kejadian kontroversial ini mengundang gejolak publik.
Aliansi BEM Seluruh Indonesia melalui Koordinator Wilayah Jawa Barat, yaitu Presiden BEM REMA UPIpun menyikapi dengan menolak pengangkatan tersebut. Gelombang penolakan juga datang tidak hanya dari kampus yang berasal dari wilayah Jawa Barat, BEM Universitas Riau melalui akun media sosialnya juga menolak pengangkatan Komjen Iriawan.
Kejadian kontroversial ini juga terdengar hingga dinding parlemen di Senayan. Tak sedikit yang menolak akan kebijakan ini. Bahkan parlemenpun siap untuk mengeluarkan Hak Angket terkait kejadian ini (news.detik.com, https://news.detik.com/berita/4073089/kompaknya-pd-gerindra-pks-dorong-hak-angket-soal-komjen-iriawan).
Lantas, mengapa pengangkatan Komjen Iriawan begitu kontroversial?
Pengangkatan Komjen Iriawan dinilai bertabrakan dengan beberapa Undang-Undang. Antara lain UU No. 22/2002 tentang Kepolisian, UU No. 16/2016 tentang Pilkada, dan UU No. 5/2004 tentang Aparatur Sipil Negara (suara.com, https://www.suara.com/news/2018/06/19/113550/3-pelanggaran-pengangkatan-pj-gubernur-jabar-menurut-fadli-zon).
Dalam UU No.22/2002 Pasal 28 ayat 1 berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis”, hal tersebut sudah mendeskripsikan secara jelas bahwa anggota polisi dilarang untuk mengikuti kegiatan politik praktis. Sementara kita mengetahui bahwa jabatan Gubernur Provinsi merupakan jabatan yang diperolah melalui konteks politik praktis. Namun, pada pasal 28 ayat 3 UU tersebut memperbolehkan anggota polisi untuk menduduki jabatan di luar kepolisian “apabila setelah mendundurkan diri atau pensiun”.
Sementara kita ketahui bersama bahwa Komjen Iriawan belum mengundurkan diri ataupun pensiun dari kepolisian.
Bangsa Indonesia memiliki pengalaman traumatis akan kebijakan dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Pada saat itu Anggota Aktif ABRI boleh berkegiatan politik praktis dan tentunya memberikan dominasi kekuasaan ABRI dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilantiknya Komjen Iriawan tentunya kembali membangkitkan pengalaman traumatis tersebut dan mengindikasikan kemunduran semangat reformasi. Ataukah dapat dikatakan bahwa kita akan kembali ke zaman orde baru dimana demokrasi amat sulit untuk dirasakan?
Di lain hal, kita juga telah mendengar secara terus menerus akan label “Pilkada & Tahun Politik”. Tentu dengan adanya pengangkatan anggota polri aktif yang beririsan dengan label tersebut menimbulkan adanya prasangka intrik politik. Walaupun Komjen Iriawan sudah menyatakan bahwa dirinya akan netral dalam menjalankan amanah, tapi tidak ada jaminan hal itu akan terjadi, apalagi jika kita mengingat pengalaman pada orde baru.
Terdapat pula momen yang cukup menggelitik ditengah-tengah kebijakan yang kontroversial ini. Nampaknya cukup tepat jika melabeli pemerintah sebagai “pembohong” terkait kebijakan ini. Hal itu jelas terlihat ketika sudah ditolaknya gagasan pelantikan anggota Polri aktif oleh menkopolhukam, namun nyatanya gagasan tersebut tetap dilaksanakan sekarang ini.
Tentu ini akan menambah akumulasi kesalahan pemerintah yang akan membuat citra pemerintah, atau bahkan partai penguasa menjadi kian buruk. Oleh karena itu, nampaknya label tahun politik amat melekat dengan kejadian ini dan beberapa kejadian yang akan terjadai dalam rentan tahun politik.
Dalam momen yang kian hari kian memanas menjelang Pilkada Serentak 27 Juni 2018, penulis mengajak kepada pembaca untuk cerdik dan peka terhadap situasi politik di Negeri kita. Gunakan kesempatan kita sebagai pemilih untuk menentukan nasib bangsa kita di masa yang akan datang. Tentunya dari berbagai harapan kebaikan dalam konteks demokrasi ini, kita mengharapkan pemegang kekuasaan dapat mempergunakan kuasanya dengan bijak dan amanah. Sehingga kejadian-kejadian yang menciderai semangat demokrasi dan reformasi tidak akan terulang dan pemerintah mampu mewujudkan harapan masyarakat.
Oleh: Akbar Kurnianto (FE UNJ)