Tepat kemarin tanggal 22 maret 2016, kota Jakarta di guyur hujan tetapi tidak menyurutkan aksi demonstrasi para pengemudi legal terhadap pengemudi illegal, atau pengemudi manual dengan pengemudi online, aksi demontrasi tersebut cukup memakan korban baik itu pengemudi maupun penumpang, bahkan sarana dan prasarana pun dikabarkan turut menjadi sasaran, sebenarnya apa yang menjadi dasar gerakan ini.
Gerakan ini didasari atas pengurangannya omset pendapatan para pengemudi manual atau bisa dikatakan supir taksi ini, beberapa nama yang mencuat saat ini yaitu dua perusahaan taksi yang cukup terkenal dan sering digunakan di kota Jakarta, taksi blue bird dan taksi ekspress, nama keduanya mencuat kala aksi tersebut, dan kejadian-kejadian pengrusakan yang tersebar di segala media sosial, para supir taksi ini menilai bahwa layanan online sudah melanggar aturan, karena tidak mengikuti uji KIR dan tidak mennggunakan plat kuning sebagai kendaraan umum. Ada pun pasal-pasal yang diklaim dilanggar oleh layanan transportasi online adalah Pasal 138 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan, angkutan umum dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Selain itu, layanan Grabcar dan Uber Taxi juga dinilai melakukan pelanggaran Pasal 139 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 mengenai penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa hal ini yang dituntut pengemudi taksi di depan kementrian komunikasi dan informatika untuk segera menutup layanan online.
Kalau kita menarik benang merah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh para supir taksi ialah kekurangan pemasukan tiap harinya dikarenakan masyarakat lebih menyukai layanan online, ini merupakan salah satu dampak adanya globalisasi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkhususnya aplikasi-aplikasi yang mempermudah kegiatan masyarakat yang menjadi “in” saat ini, bagaimana tidak begitu banyak kemudahan di dalamnya ingin membeli apa tinggal menyuruh, dan akan diantar, dan salah satu tagline aman yang menjadi sumber kepercayaan masyarakat, walaupun ada beberapa pemberitaan kasus layanan online namun masyarakat masih tetap memilih layanan online dibandingkan manual.
Sebenarnya ada yang harus diperbaiki, bukan saling menyalahkan dan menganggap layanan online akibat kekurangan omset, melainkan kaum-kaum kapitalis yang ada dibelakang para supir taksi lah yang harus memperbaiki kinerja dan layanan, karena saat ini semua orang sedang berlomba-lomba dengan kemudahan dalam mengapai kebutuhan, sehingga bagaimana cara kaum kapitalis tersebut membuat sebuah inovasi yang berdaya guna hingga menarik perhatian masyarakat, walaupun para kaum kapitalis tersebut melarang karyawannya untuk aksi demonstrasi namun harus diingat kalian kaum kapitalis sebenarnya harus menjadi kuping dan penyambung lidah para karyawan yang hidup dinaungan kalian, selain mengambil keuntungan harus menjadi penyambung lidah aspirasi karyawan sehingga karyawan tidak melakukan hal yang menghancurkan nama baik perusahaan.
Karena tindakan-tindakan yang tersebar di media massa dapat membuat persepsi dalam masyarakat bahwa supir taksi A dan B adalah aktor yang anarkis, bukankah itu akan memperkecil pendapatan kalian juga, yang diperlukan adalah bermain cantik dan membuat inovasi yang berdaya guna.
Bukan menyalahkan tindakan para supir taksi ini, namun setiap perbuatan akan akibatnya, pertama, akibat dari aksi yang dilakukan supir taksi ini masyarakat menjadi was-was dan beberapa angkutan tidak beroperasi serta terganggunya sistem pelayanan publik yaitu media transportasi, kedua, bermunculannya korban jiwa, seperti pengemudi taksi yang dikeroyok massa di wilayah basuki rahmat kemarin petang yang keadaan pengemudi harus dibantu oleh masyarakat sekitar untuk dibawa ke rumah sakit, serta keadaan kendaraan yang rusak oleh massa, bukankah itu menjadi akibat perorang dan perusahaan juga. Selain itu, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, munculnya persepsi masyarakat mengenai keanarkisan supir taksi.
Diharapkan kejadian seperti ini dapat di minimalisir melalui para perusahaan, dan diharapkan pula kepercayaan publik bahwa setiap transportasi di Jakarta khususnya aman, bagaimana kita bisa hidup dan memanfaatkan layanan jikalau persepsi mengenai ketidakamanan masih dipergunakan.
Helmina Mutia
Mahasiswa FIS UNJ