Oleh: Remy Hastian
Kepada Pewaris Peradaban…
Yang telah menggoreskan…
Sebuah catatan kebanggaan…
Di lembar sejarah manusia…
Wahai kalian yang rindu kemenangan…
Wahai kalian yang turun ke jalan…
Demi mempersembahkan Jiwa dan Raga…
Untuk Negeri Tercinta…
Teruntuk kamu yang merasa menjadi pewaris peradaban, yang merasa ingin bernafsu merengkuh sebuah jabatan, yang merelakan segala bentuk keegoisan hanya ingin mendapatkan sebuah kursi yang dianggap sebuah kenyamanan.
Peradaban bukanlah hanya sekadar cerita sejarah yang mudah dinikmati dan dilewati hanya dengan meminum secangkir kopi. Tidak sebecanda itu! Negara ini sangatlah Indah, diri ini pun tercandu melihat kemewahan warisan yang ada di alam ini.
Oh tidak, seandainya diri ini tidak pernah mencium busuknya bangkai di negeri ini. Pramoedya Ananta Toer pun mengatakan “Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” Seram sekali, negeri yang dibanggakan nan Indah alamnya diejek bahkan ‘dihina-sehinanya.’
Teruntuk kamu, mau diapakan negeri kita ini wahai kau yang telah menggoreskan sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia?
“Jika kita ibaratkan, maka peradaban manusia persis seperti roda, terus berputar. Naik-Turun. Mengikuti siklusnya. -Tereliye
Lantas,
Siklus apa yang akan engkau berikan?
Kehangatan?
Kesejukan?
Atau melainkan,
Kedinginan?
Atau bahkan,
Kematian?
Dan wahai kalian yang rindu kemenangan maupun yang turun ke jalan. Apa yang engkau artikan dalam arti rindu terhadap ‘kemenangan’ itu sendiri? Jika kita berikan pengertian lebih luas, kemenangan adalah bukan simbol kejayaan atas usaha yang telah diberikan. Melainkan, memberikan segala bentuk kepercayaan kepada kekalahan rakyat yang dulu. Bukan dulu, karena di ekspansi oleh bangsa lain.
Tetapi dulu yang pernah merasakan egoisme tinggi terhadap sebuah jabatan. Jangan sampai terulang, kisah pemimpin kita yang ingin mendeklarasikan pemimpin seumur hidup ‘lagi’, jangan sampai terulang pemimpin otoriter dalam segala bentuk keputusan yang ada dan yang paling penting jangan sampai peristiwa tersebut terulang kembali.
Dan apa yang kau artikan untuk yang turun ke jalan? Ke jalan bukan berarti kita harus berdemonstrasi menuntut hak yang semestinya di diskusikan dan kita jadikan kajian terlebih dahulu untuk membahasnya. Ke jalan, identik dengan turun ke lapangan, Baca; Turun ke TKP (Tempat Kejadian Perkara) secara langsung.
Mereka yang kejalan adalah yang memiliki identitas diri penyelamat rakyat yang paling utama karena berhadapan langsung oleh pengawal Negara. Saling mengejek dan diejek tidak akan berbuah jawaban yang memuaskan… Sudah cukup! Kita hentikan saling membid’ahkan, saling menyalahkan, saling menganggap diri ini benar sendiri.
Sudah cukup! Bersandiwara dalam gelap.
Sudah cukup! Bermain dalam keseriusan
Sudah cukup! Egois yang menutupi relung hati.
Dan cukupilah segala bentuk perbedaan ini dengan indahnya ukhuwah islamiyah, bukan saling memisah hingga saling menumpahkan darah, mari kita berfikir bijak dalam menanggapi masalah… Berharap kita mendapatkan satu arah, menuju jannah.
Karena bagi diri ini, bukan peduli terhadap siapa yang akan mencalonkan, maupun peduli siapa yang memenangkan… Tetapi fokus utama tulisan ini adalah,
Demi mempersembahkan jiwa dan raga…
Untuk Negeri Tercinta…
Wahai teruntuk kalian sang ‘pewaris peradaban.’