Islam adalah agama yang universal. Didalamnya terdapat berbagai unsur dalam berbagai aspek. Dari aspek dunia sampai akhirat. Dari hal kecil sampai besar. Dari hal mengurus istinja sampai mengurus tatanan negara. Semua ada di dalam islam.

Setidaknya, secara garis besar ada 2 aspek yang berkaitan erat, yaitu hubungan vertikal dan hubungan horizontal, habluminallah dan habluminannas. Habluminallah adalah hubungan kita kepada Allah swt. Berkaitan erat dengan ritual, ruhiyah, dan praktek dalam menunaikan hak dan kewajiban kita kepada Allah swt. Sedangkan habluminannas adalah hubungan kita dengan sesama manusia dan berkaitan erat dengan sosial dan politik. Keduanya tidak dalam paket terpisah melainkan sebagai satu kesatuan. Terlebih dalam bidang politik. Walaupun tidak secara spesifik masuk kedalam kategori habluminallah, namun politik merupakan aspek penting dalam habluminannas dan menjadi sarana untuk menuju habluminallah.

Didalam politik akan diatur bagaimana bertatanan sosial, ekonomi, pendidikan, sumber daya, militer, dll. Pun pada akhirnya juga mengatur soal aspek keagamaan, khususnya islam itu sendiri. Yang dimana ini akan mengacu dan bermuara kepada habluminallah jika asas dan tujuan yang dipakai atas nama kebaikan dan atas nama Allah. Jadi tidak tepat jika ada yang mengatakan bahwa politik itu diluar islam. Justru sebaliknya. Islam mengatur politik itu sendiri namun dengan warna yang berbeda.

Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “kebatilan yang tidak dapat dihilangkan dengan kitabullah, akan Allah hilangkan melalui tangan penguasa”. Hal senada disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Siyasah Syar’iyyah; “Wajib diketahui bahwa penguasaan terhadap urusan umat, termasuk kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak akan tegak tanpa adanya penguasaan terhadap urusan umat ini”.

Sekarang kita lihat terminologi politik itu sendiri. Menurut para ahli politik, politik adalah sesuatu yang mengatur. Sebenarnya, definisi politik itu beragam. Tergantung perspektif mana yang diambil. Baik, sampai disitu… Sekarang persoalannya, apakah yang dimaksud politik islam? Dalam 114 surah di Al-quran kita tidak akan menjumpai kalimat politik. Namun apakah berarti konsep politik itu sebenernya tidak ada? Jika argumennya seperti itu, maka konsep akidah pun juga tidak ada. Karena juga tidak termaktub dalam Al-quran. Lalu, kenapa ada banyak ilmu tentang akidah? Kenapa banyak buku akidah seperti ‘Aqidatul Mukmin karangan Abu Bakar Al-Jazairy, atau Aqidah Fillah karangan Umar Sulaiman Al-Asyqar, atau dll?

Sama seperti politik, istilahnya tidak ada dalam Al-quran. Tapi itu tidak berarti tidak ada. Tapi yang ada adalah *esensi*nya. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan (Al-hajj : 41). Dalam tafsir ibnu katsir, ayat ini berkenaan dengan kondisi para sahabat yang diusir dari mekkah lalu kemudian Allah meneguhkan mereka di dalam suatu negeri (madinah) dan berkuasa kemudian diperintahkan berbuat ma’ruf dan nahi mungkar. Ayat ini mengandung esensi politik. Dalam ayat ini, Allah menyuruh para sahabat untuk berbuat amar ma’ruf nahi mungkar. Dan salah satu jalan untuk mencapai itu adalah lewat politik. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani. Imam Syafii tidak setuju dengan adanya istilah politik, melainkan lebih sepakat dengan syariat. Pengertian syariat itu sendiri adalah semua arahan, batasan, perinta dan larangan yang diberikan Rasul. Sehingga kata Imam Syafii, “tidak ada politik, kecuali sesuai dengan syariat”. Kemudian, kita tarik benang merahnya bahwa Politik islam adalah politik yang sesuai syari’at islam. Tegak diatas Al-quran dan sunnah.

Apakah zaman Rasulullah berpolitik? Walaupun belum ada istilah politik pada zaman itu, tapi esensinya ada. Ada yang dipimpin, ada yang memimpin. Ada aturan dan segala halnya. Dimulai ketika di Mekkah, melawan cibiran, siksaan, hinaan, cacian, serta perlakuan fisik dari para kaum jahiliyah. Lalu dengan hijrahnya rasulullah ke yatsrib dan dibangunnya negara madinah dan piagam madinah. Kemudian membangun kekuatan politik dan militer lalu kembali ke mekkah hingga terjadinya fathu Mekkah. Kemudian, kembali membangun kekuatan politik dan kemudian menyebarkan dakwah ke penguasa sekitarnya (mesir, romawi, dan persia). Hingga pada akhirnya tegaklah syariát di bumi jazirah arab khususnya di hijaz. Dan ini adalah esensi politik. (Rahiqul Makhtum: syaikh Al-Mubarakfury).

Politik islam tentunya berbeda dengan politik sekuler. Politik sekular itu lahir dari barat. Tepatnya ketika dogma-dogma gereja menjadikan masyarakat eropa menjadi jumud dan mundur. Dan akhirnya, lahirlah suara-suara yang menyerukan sekularisme. Diantara tokoh-tokohnya adalah Harvey Cox dan Dietrich Bonhoeffer.

Dietrich Bonhoeffer, yang dieksekusi oleh SS Nazi karena terlibat dalam plot membunuh Hitler, menyeru “sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama”. Dalam bukunya the secular city, harvey cox mengatakan bahwa sekularisasi dalam politik bermakna bahwa dalam masyarakat yang sudah tersekulerkan, tidak seorang pun boleh memerintah atas otoritas “hak tuhan”. Jika gereja masuk dalam wilayah politik, maka konflik akan terjadi. Konflik tidak akan terjadi, jika iman itu anti politik.

Pun gagasan politik sekular ini juga diadopsi oleh beberapa sarjana muslim. Sebutlah Nasr Hamid Abu Fayd. Menurut Nasr Hamid, apa yang dimaksud dengan “Syari’ah” adalah semata-mata produk manusia. Bahkan al-Quran sendiri ketika ia diwahyukan kepada nabi, maka Al-Quran itu sudah berubah dari wahyu menjadi penafsiran manusia (nabi). (Nasr Hamid Abu Fayd, Naqd al-Kitab al-dini, Kairo, Sina li al-Nashr, Edisi Pertama, hlm. 93).

Jika argumentasi Havey, Dietrich, dan Nasr Hamid diikuti, maka tidak akan ada lagi yang sakral. Kenyataan idiologis bahwa politik perlu diisi dengan nilai-nilai keislaman, misalnya, akan tersingkir. Institusionalisasi agama akan dipinggirkan. Fungsinya akan diminimalisir. Sehingga institusionalisasi agama menjadi “asing”. Jika ini sudah terjadi, proses pembubaran institusionalisasi agama akan lebih mudah dilakukan.

Jadi, jika politik jika tidak diisi dengan nilai-nilai kebenaran dan keruhanian, maka bentuk dan nilai politik tersebut akan menjadi liar. Karena itu, Islam, sebagai sebuah yang penuh dengan nilai-nilai keruhaniaan, tidak terlepas dari politik. Nilai-nilai Islam sangat perlu diberi peran dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan. Wawasan akan misi dan visi politik Islam harus dibangun secara kokoh. Ini merupakan hal yang sangat fundamental. Jika visi dan misi tidak jelas, maka yang akan terjadi bukan politik Islam tetapi Islam politik. Artinya, Islam akan dipolitisir untuk kepentingan politik tertentu. Jadi, bukan mengislamkan politik tetapi mempolitikkan Islam.

Dan pada akhirnya, sudah saatnya orang islam melek akan politik. Melek akan pemerintahan dan segala kebijakannya. Sudah saatnya bermunculan suara-suara yang melengking akan kebenaran. Karena, kita hidup bernegara tidak semudah itu. Tidak seakaan-akan baik baik saja. Dibalik naiknya ekonomi, dibalik carut marutnya korupsi, dibalik lemahnya pendidikan, dibalik carut marut catur perpolitikan, sampai carut marut dibalik institutional agama di negara, itu semua adalah karena pengaruh politik. Karena politik adalah hajat semua orang. Dan prinsip islam sebagai jalan solusi untuk menuju sebuah peradaban yang madani.

“Orang yang bijaksana tidak akan memilih dunia dengan meninggalkan akhirat”
Imam nawawi Al-bantani

Wallahu a’lam

Oleh : Akbar Bariki (Ilmu Agama Islam 2014)

Categorized in: