Dalam dunia pergerakan mahasiswa, tentu secara umum dikenal tiga jenis pergerakan, yaitu gerakan sosial, gerakan jalanan (demonstrasi), dan gerakan intelektual.
Untuk gerakan yang terakhir sendiri dapat dijabarkan menjadi tiga jenisnya, yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi.
Baca juga: Menjadi Mahasiswa Aktivis Era Milenial A La Ubedilah Badrun
Universitas Negeri Jakarta secara historis dikenal sebagai kampus pergerakan intelektual. Hal tersebut tercermin dalam periode Nasionalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) di periode Orde Baru. Saat dimana-mana kampus berada dalam kungkungan pemerintah, UNJ atau saat itu bernama IKIP Jakarta, tetap memelihara kultur perlawanan tersebut lewat budaya menulis dan diskusi.
Hal tersebut tercermin dalam potongan Mars IKIP Jakarta: “Belajar sanggup, mendidik bisa, mengkritik boleh, aksi pun jadi … Dengan dilandasi kesadaran kritis, serta penuh tanggung jawab moral …”
Namun teruntuk menulis sebagai bentuk sebuah gerakan mulai bisa terjadi di kampus Rawamangun.
Baca Juga: “Berkelana” Bersama Fajar Subhi
Untuk kembali membangkitkan budaya tersebut, Tim Aksi Fakultas Ilmu Sosial Reds Soldier menerbitkan buku antologi tulisan yang berjudul Red’s Progress: Catatan Jalan Juang.
Berikut wawancara tim redaksi UNJKITA dengan komandan Reds Soldier 2016-2017, Fajar Subhi (Sosiologi Pembgunan 2015):
Apa yang teman-teman Reds ingin angkat dalam buku Red’s Progress ini?
“Lewat buku ini, kami percaya bahwa pergerakan dalam hal literasi sangat penting yaitu sebagai bentuk catatan pergerakan kita, karena memang pergerakan tidak selalu dalam bentuk aksi turun jalan, kita bisa tuangkan dalam bentuk tulisan.”
Untuk buku ini sendiri, apa konten-konten yang ada di dalamnya?
“Buku Red’s Progress: Catatan Jalan Juang sendiri merupakan antologi essai dan sastra. Esai yang dimaksud ialah berbagai tulisan baik yang bersifat opini atau ilmiah yang lahir dari pandangan teman-teman Reds dalam menyikapi dinamika yang terjadi di dalam atau pun luar kampus. Sedangkan untuk sastra sendiri mencangkupi sajak atau pun puisi, karena kita tidak monoton terhadap tulisan yang bersifat opini saja.
Di dalam antologi tersebut tidak hanya sekadar aksi literasi mahasiswa, tetapi juga dituangkan kajian yag diadakan oleh red soldier semisalnya kenaikan dan hari perempuan. Kami meminta dari lembaga yang kredibel untuk menjadi nara sumber dari kajian ilmiah kami seperti dihari perempuan diambil dari Direktor Woman Riset Institut, sedangkan untuk data kenaikan tarif dasar listrik dari Indonesia Tax Care (INTAC).”
Kira-kira apa tujuan khusus tersendiri dari kawan-kawan Red’s dari buku ini?
“Kami yakin dalam buku ini tidak sempurna dan masih banyak saran dan kritik dari pembaca karena memang belum sempurna. Tetapi, ada hal lain yang ingin kami sampaikan, karena di UNJ dunia literasi masih sangat kurang, kita hanya bertatanan dengan idealita, yaitu diskusi. Diskusi di UNJ sudah cukup baik dan dari berbagai diskusi yang ada seharusnya bisa dituangkan dalam sebuah bundelan atau bahkan sampai ke tahap kajian ilmiah hingga menjadi buku.
Kami menginiasi buku ini sehingga akhirnya bagaimana teman-teman pergerakan mahasiswa UNJ menghidupkan dunia literasi dan juga terkhusus mahasiswa yang mengikuti OPMAWA (BEM) seharusnya bisa menerbitkan atau membuat sebuah karya atau dalam bentuk kajian ilmiah, dan lain-lain. Kami ingin pergerakan mahasiswa di UNJ menjadi hidup dan vital kembali dengan cara berkarya dalam bentuk buku, itulah sejatinya yang harus dilakukan mahasiswa. Buku ini adalah sebagai tanggung jawab untuk masyarakat, apa yang telah kita lakukan kepada masyarakat dan percuma apabila tidak dituangkan dalam tulisan sekaligus merapihkan sebuah catatan pergerakan yang dituangkan dalam bentuk buku. Sebab dunia literasi harus hidup kembali dan sebuah tanggung jawab sosial bagi pergerakan mahasiswa di UNJ.
Tidak sebatas menerbitkan karya tanpa tujuan, Red Soldier ingin memantik pergerakan mahasiswa di UNJ bagaimana bisa bergerak dan menyikapi problema di UNJ. Kita juga ingin menumbuhkan kesadaran mahasiswa yang sejatinya harus bergerak membuka wawasan dan hati untuk bisa merapihkan jejak, atau bahkan resistensi sesuai dengan passion mereka bisa dalam bentuk seni atau sastra dan sebagainya.”
Baca Juga: “Berkelana” Bersama Fajar Subhi