Pernahkah Anda merasa bosan saat mengikuti suatu pelajaran/mata kuliah/seminar atau rapat?

Besar kemungkinan kebosanan itu terjadi akibat metode penyampaian yang digunakan cenderung monoton dan sulit dicerna. Akibatnya otak kita merasa mudah ‘lelah’ dan cenderung enggan untuk menemukan sisi menarik dari pemaparan tersebut.

Ada dua orang guru sejarah, yang sedang mencoba menyampaikan materi pelajaran tentang sejarah penemuan sandwich. Guru pertama bertutur, “Sandwich ditemukan pada tahun 1748 oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama John Montagu. Ia adalah seorang politisi sekaligus aristocrat. Ia sangat suka bermain kartu sambil makan. Saat ia bermain kartu sambil makan, ia mencetuskan ide diciptakannya sandwich, roti isi daging yang melegenda hingga saat ini.”

Di kelas berlainan, Guru kedua bercerita dengan lebih panjang, “Suatu hari di tahun 1748, ada seorang aristocrat dan politisi Inggris yang sedang menikmati waktu luangnya. Ia sangat suka bermain kartu dan sangat suka makan. Ia bisa habiskan waktu selama berjam-jam hanya dengan bermain kartu sambil makan makanan ringan. Tangan kirinya selalu menggenggam kartu sementara tangan kanannya ia biarkan berkeliaran mengambil makanan ringan yang ada di hadapannya.

Tapi menurutnya hal itu sangat menyulitkan. Ia tak bisa bebas makan sambil bermain. Ia harus mengambil sebongkah roti, menggigitnya lalu meletakkannya kemudian menggigit daging dan seterusnya.

Berangkat dari permasalahan itu, dan akibat dari terlalu sering melihat kartu, tiba-tiba ia jadi memiliki ide untuk membuat sebuah makanan yang bentuknya terilhami dari kartu yang ditumpuk-tumpuk.” Dua lembar roti yang ditumpuk, lalu disisipkan daging di tengah-tengahnya. Hmm…. Pasti akan sangat lezat. Dan tentunya praktis! Aku bisa makan dengan mudah sambil tetap bermain kartu.”, pikirnya saat itu.

Sejak saat itulah makanan temuannya dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan “sandwich”.

Dan hingga saat ini ia dikenal sebagai salah satu penemu makanan paling legendaries di dunia barat. Namanya dikenang sebagai pencipta Sandwich. Dia adalah John Montagu, seorang politisi dan aristocrat asal inggris.”

Kira-kira manakah yang lebih menarik dan lebih mudah diingat? Penyampaian pertama atau penyampaian kedua? Saya yakin bagi Anda yang membacanya sepenuhnya akan menganggap bahwa cara penyampaian kedua lebih menarik dan lebih mudah diingat dibandingkan cara pertama.

Mengapa?

Karena pada dasarnya manusia sangat suka bercerita dan mendengarkan cerita. Sejarah peradaban dunia telah membuktikan bahwa dunia ini dibangun di atas kisah (cerita). Peradaban mesir kuno menyampaikan sejarah mereka melalui cerita yang dituangkan dalam gambar-gambar yang dilukiskan di dinding-dinding gua, piramida, obelisk dan seterusnya. Dalam kitab suci mayoritas agama samawi, banyak disampaikan cerita/kisah-kisah. Inilah alasan mengapa jutaan eksemplar novel laris terjual. Inilah penyebab mengapa milyaran orang pergi ke bioskop setiap tahunnya.

Jika dicermati, ini pula penyebab mengapa berita hoax yang dibumbui dengan “pengalaman pribadi”, “Pengalaman tetangga” dan seterusnya lebih mudah menyebar dibandingkan berita-berita yang tidak melibatkan kisah sama sekali.

Dapatkah kita bayangkan jika ‘kekuatan’ kisah ini kita bawa ke ranah pemelajaran? Pelajaran yang pada umumnya dibenci kebanyakan siswa seperti matematika misalnya? Siswa didik tentu akan jauh lebih betah belajar matematika dibandingkan biasanya. Lalu, bagaimana caranya kita membuat belajar matematika lebih asyik dengan cerita?

Ada 3 cara untuk melakukannya:

Belajar Matematika dengan Cerita

Rupiah

Pertama: Jadikan cerita sebagai pengantar pembelajaran matematika

Saat akan menjelaskan suatu hal kepada anak-anak/siswa didik, akan lebih baik jika kita coba buatkan kisah terlebih dahulu.

Misalnya…. Saat kita akan mengajarkan pembagian dan perkalian ke anak-anak kelas 2 SD. Kita bisa bercerita terlebih dahulu kisah seorang anak yang dimarahi ibu nya karena salah menerima kembalian setelah berbelanja.

Suatu hari di sebuah kota minikecil, ada seorang anak kecil berusia 8 tahun, Dio namanya. Ia tampak menunduk lesu sambil menangis di bawah jendela rumahnya. Kak Rudi, tetanga sebelah melihat kejadian itu. Ia pun bertanya kepada Dio,

“Dio kenapa?”
“Aku dimarahin mama….”
“Kenapa dimarahi?”
“Tadi aku disuruh belanja sama mama….Terus waktu pulang, dimarahin. Katanya kembaliannya kurang.” Jawab dio sambil menyeka air mata nya yang kian membanjir.

Kak Rudi mencoba untuk memeluk sambil menenangkan dio.

Nah… anak-anak, hari ini kita akan coba bantu dio untuk menghitung barang belanjaannya. Biar dio ga nangis lagi. Gimana?

Setelah itu barulah kita coba ajarkan konsep perkalian dan pembagian melalui studi kasus yang dialami oleh Dio.

Cerita Sebagai Analogi

Opini

Kedua: jadikan cerita sebagai analogi dalam menjelaskan suatu hal

Kadangkala matematika sulit dicerna bukan karena anak-anak yang tak pandai dalam bermain logika. Seringkali karena mereka tak mampu memahami makna kongkrit dari apa yang kita jelaskan.

Misalkan, kita ingin menjelaskan konsep KPK kepada anak-anak kelas 4 SD. Alih-alih langsung menjelaskan dalam beragam symbol angka dan berjuta istilah, kita bisa coba gunakan analogi bu rani, bu indah dan bu ratna yang pergi ke pasar dalam waktu yang rutin namun berbeda-beda periode. Lalu selanjutnya baru kita dekati mereka dengan menjelaskan konsep KPK.

Cerita Sebagai Inti Materi

hand

Ketiga: jadikan cerita sebagai sarana menyampaikan inti materi.

Misalnya, saat kita akan menyampaikan materi tentang lebih besar dan lebih kecil kepada anak SD kelas 1. Kita bisa gunakan cerita si jangkung dan si gendut yang sedang dalam jamuan makan. Si jangkung hanya makan sedikit karena tubuhnya kurus tinggi, sedangkan si gendut makannya lebih banyak karena tubuhnya lebih besar dibandingkan si jangkung.

Kunci utama dari mengajarkan matematika lewat cerita ini ada pada kisah yang disampaikan dan cara pembawaan kisah. Sebagai pendidik/pengajar kita harus rela melepaskan rasa malu untuk sesaat di hadapan mereka. Bermain peran sambil memeragakan kisah/cerita tentu akan membuat anak-anak lebih tertarik untuk menyimak apa yang kita sampaikan.

Saat anak-anak sudah tertarik dengan apa yang kita sampaikan, saat itulah kita telah memenangkan hatinya. Ketika kita telah memenangkan hatinya, maka itulah momen terbaik untuk menyampaikan pesan kepada mereka.

Selamat bercerita, selamat membuat pemelajaran matematika lebih berwarna.

Salam hangat,
Anggayudha A. Rasa
CEO of Science Factory

Categorized in: