Halo-halo sobat UNJ KITA, apa kabarnya ? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan berbahagia. Belakangan ini kita sering mendengar penggunaan akronim Golput dalam event-event pemilihan umum atau kepala daerah yang akan dilakukan serentak pada bulan Februari tahun depan. Terkhususkan pada kalangan mahasiswa, bulan Desember ini adalah momen regenerasi Opmawa lewat kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu) ketua BEM/HIMA/HMJ/Rumpun serentak se-UNJ
Namun, dalam Pemilu ini dan Pemilu sebelum-sebelunya sering terjadi sebuah pergeseran makna sebuah gerakan moral yang dulu diperjuangkan pada dekade 70-an. Golput, atau yang memiliki kepanjangan Golongan Putih sering menjadi sebuah antitesis bagi KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Jargon-jargon anti Golput bertebaran dalam desain-desain buatan tim kreatif KPU maupun tim sukses calon yang berlaga di medan pertarungan visi dan idealisme mahasiswa.
Namun dalam hal sepele tersebut, terdapat pelencengan makna sejarah dari Golput sendiri. Jika kita buka kembali lembaran sejarah, lebih tepatnya pemilihan Pemilu Presiden tahun 1971 maka kita akan mengetahui asal, makna, dan arti sebenarnya dari sebuah gerakan moral yang digalang mahasiswa dan pemuda. FYI, Golput adalah bahasa plesetan dari partai yang berkuasa saat itu Golkar (Golongan Karya).
Gerakan Golput sendiri pada saat itu (1971) dipimpin oleh seorang budayawan muda keturunan etnis Cina, Soe Hok Djin atau yan lebih dikenal dengan nama Indonesianya Arif Rahman. Sedangkan untuk pencetus nama Golput sendiri berasal dari Imam Waluyo, istilah putih disini berasal dari teknis gerakan ini yaitu pencoblosan bagian putih pada kertas suara. Pencoblosan ini dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan surat suara tidak menajadi sah.
Gerakan tersebut tercetus saat itu karena para mahasiswa berpendapat bahwa dengan atau tidaknya Pemilu, kalangan ABRI (TNI) akan tetap berkuasa dibawah sosok besar Soeharto. Dalam pelaksanaannya sendiri, pada Pemilu ini terjadi peleburan besar-besaran partai-partai penanding Golkar dengan alasan “penyederhanaan pengawasan pada partai politik”. Sehingga saat itu jumlah partai yang berlaga hanya terbatas berjumlah 3 partai (PPP, Golkar, dan PDIP). Sehingga dalam pernyataannya dalam harian Kompas terbitan 28 Maret 2004, Arif Rahman menuliskan “Apa gunanya pemilu kalau orang tak bebas berserikat dan berpolitik ? Partai yang bisa dipilih hanyalah partai yang “disediakan” pemerintah.”
Dan hal tersebut diperparah dengan kondisi Golkar yang merupakan partai pemerintah. Dimana dalam pengoprasiannya, keuangan partai ini disokong langsung oleh pemerintah. Bahkan yang lebih parah lagi adalah keanggotaan partai yang diisi oleh para Pegawai Negeri Sipil (beserta keluarganya). Jika PNS menolak masuk Golkar, maka kemungkinan besar akan segera dirumahkan dengan alasan “tidak loyal”. Dengan melakukan Golput, maka sorang warga negara akan terhindar dari ancaman tersebut karena mereka akan tetap terhitung datang ke TPS dan surat suara yang mereka coblos di bagian putih kelak akan tercampur dengan ratusan/ribuan kertas suara dalam satu kotak suara. Sehingga keamanan mereka pemboikot pemilu yang kala itu pemilu hanya menjadi formalitas dan legalitas atas nama rakyat agar kekuasaan Soeharto langgeng di bumi Nusantara.
Sementara untuk Golput dimasa modern ini, dalam tulisannya dalam harian Kompas terbitan 28 Maret 2004. Arif berpendapat bahwa Golput hari ini (saat itu bertepatan dengan pemilu 2004) terjadi karena kegagalan partai politik menberikan alternatif pemimpin yang berbobot. Hal tersebut pun secara tidak langsung diiyakan oleh Asvi Warman Adam, pria yang kini aktif sebagai peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bukunya “Menguak Misteri Sejarah” ia berpendapat bahwa kultur masyarakat Indonesia dalam pemilu adalah memilih sosok dari calon pemimpin. Bukan dari ideologi yang ia bawa atau bahkan partai yang mendukungnya.
Jika kita tarik kembali ke dalam dunia kampus, maka hari ini menjadi pilihan mahasiswa untuk menyumbangkan suaranya atau tidak dalam Pemilu UNJ. Karena hak untuk memilih/tidak memilih dijamin oleh UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Dimana dalam redaksi kata yang dipergunakan adalah HAK, bukan KEWAJIBAN. Yang berarti dapat dilakukan dan tidak dilakukan, kembali lagi dengan pribadi masing-masing mahasiswa.
Jika seorang mahasiswa memutuskan untuk tidak menyalurkan hak suaranya pada Pemilu UNJ, boleh jadi hal tersebut dikarenakan sosok calon-calon dari ketua dirasa kurang berkenan baik karena pribadi dari calon tersebut ataupun karena kendala teknis seperti kurangnya efektif kampanye dari calon terebut dalam dunia nyata maupun lewat dunia maya. Dan yang disayangkan ialah KPU sebagai penyelenggara pemilihan hanya memaknai sempit dari Golput sendiri tanpa memaknai arti dari perjuangan pada pendahulu pencetus gerakan moral ini.
Untuk itu, secara terbuka dengan kerendahan diri saya meminta KPU se-UNJ yang hari ini yang masih mencantukan jargon-jargon yang mendiskreditkan gerakan ini seperti #golputgakkeren, #golputgakkece, atau pun sejenisnya yang lain agar merevisi lagi mengingat faktor sejarah yang ada dalam gerakan ini.