“Bisa terlihat bahwa orang Indonesia itu kaya-kaya. Tetapi, hartanya disimpan rapi di luar negeri supaya bebas dari kewajiban pajak.”
Program Tax Amnesty era bapak Jokowi digadang-gadang sebagai program Tax Amnesty dengan deklarasi harta dan tebusan tertinggi di dunia. Dilansir dari Center for Indonesia (CITA), Indonesia menduduki peringkat pertama dengan deklarasi harta sebesar Rp 2.514 Triliun dan tebusan sebesar Rp 81.1 Triliun per 28 September 2016. Diikuti oleh sejarah tax amnesty di Italia pada tahun 2009 yang sangat berbanding jauh dengan deklarasi harta sebesar Rp 1.179 Triliun dan tebusan sebesar Rp 59,0 Triliun. Keberhasilan tersebut semakin nampak dengan melonjaknya angka-angka tersebut pada akhir periode I. Dikemukakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementrian Keuangan (Kemenkeu), pada tanggal 31 September 2016 deklarasi harta menembus angka Rp 4.500 Triliun dan tebusan sebesar Rp 97.2 Triliun.
Uang tebusan yang sangat besar dipercaya mampu mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara. Namun, pasalnya terbentuknya program Tax Amnesty ini bukanlah karena hal tersebut. Tujuan utama diadakannya program ini adalah repatriasi dana. Apa itu repatriasi dana? Repatriasi dana berdasarkan kamus bisnis dan bank adalah pengembalian modal yang disimpan di kantor bank luar negeri atau cabang bank di luar negeri ke bank negara asal. Mengapa hal ini dilakukan? Hal ini merupakan respon dari stimulus laporan firma riset keuangan asal Prancis, Capegemini 2015 silam yang merilis laporan mengenai kekayaan milik kelompok HNWI (High Net Worth Individual atau Individu Beraset Tinggi) asal Indonesia.
Dilaporkan bahwa terdapat 47.000 warga negara Indonesia yang temasuk dalam kelompok HNWI. Berdasarkan sumber (pengampunanpajak.com) dengan 47.000 WNI yang termasuk dalam HNWI diperkirakan total kekayaan senilai Rp 2.000 Trilyun. Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan, kekayaan tersebut dikenakan pasal 25/29 dengan tarif sebesar 30%. Maka secara kasar seharusnya kita mendapatkan pemasukan sebesar kurang lebih Rp 600 Trilyun dari kontribusi PPh Pasal 25/29. Tapi, kenyataannya kontribusi di lapangan hanya mencapai Rp 9 Trilyun yang jika dipresentasekan hanya sebesar 1.3% dari seharusanya.
Bisa terlihat bahwa orang Indonesia itu kaya-kaya. Tetapi, hartanya disimpan rapi di luar negeri supaya bebas dari kewajiban pajak. Dengan keadaan seperti inilah, Repatriasi Dana dianggap sebagai solusi yang tepat dan Tax Amnesty menjadi gerbang yang bisa membantu melaksanakan Repatriasi Dana. Sayangnya kebijakan pemerintah terkadang tidak diterima dengan baik oleh beberapa pihak. Dikutip dari bbc.com dalam sebuah aksi disampaikan oleh pendemo bahwa program ini tidak berpihak pada rakyat miskin yang selama ini selalu membayar pajak sementara para pengusaha tidak bayar.
Begitu pula dengan Negara tetangga, Singapura yang dikabarkan tidak menerima adanya repatriasi dana akibat program Tax Amnesty. Negeri singa ini konon dikabarkan sebagai tempat parkir dana langganan WNI yang ingin bebas pajak. Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam www.arah.com mengabarkan bahwa Singapura menyumbang 42 persen komposisi harta deklarasi luar negeri dan repatriasi amnesti pajak, di mana 18,5 persen diantaranya direpatriasi. Dari presentase tersebut bisa disimpulkan bahwa dana WNI di Singapura ada sebesar kurang lebih Rp 4,79 Trilyun. Bayangkan apa yang terjadi dengan likuiditas di Indonesia jika semua dana tersebut berhasil ditarik kembali ke Indonesia. Likuiditas akan naik, suku bunga akan turun, dan penyaluran kredit akan kian meningkat. Sebaliknya, Singapura akan merasakan dampak negatif saat Dana Pihak Ketiga diambil secara besar-besaran. Ini jelas akan membuat likuiditas perbankan di Singapura menurun drastis.
Namun, hasil periode I menunjukkan bahwa repatriasi dana tidak sesukses deklarasi harta dan tebusan. Tercatat repatriasi dana hanya sebesar Rp 137 Trilyun masih sangat jauh dari target pemerintah yaitu sebesar Rp 1.000 Trilyun. Hal ini dimungkinkan karena orang-orang kaya Indonesia masih bingung jika melakukan repatriasi dana akan menyimpannya atau menginvestasikannya sebagai apa dan kemana. Hal ini juga dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo yang mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab minimnya aset luar negeri yang dibawa wajib pajak melalui program pengampunan pajak atau tax amnesty adalah kurang menariknya instrumen investasi yang ditawarkan. WNI dengan harta berlimpah ini lebih memilih deklarasi harta saja dan membayar denda sebesar 4% ketimbang melakukan repatriasi dana meskipun tebusannya lebih rendah sebesar 2%. Menurut Yustinus, seharusnya BUMN mengambil kesempatan ini untuk menawarkan proyek-proyeknya. Sehingga semuanya bisa didanai dari dana repatriasi bukan dari berhutang.
Repatriasi dana juga akan membantu pemetaan dan administrasi perpajakan menjadi lebih rapi. Lewat repatriasi dana, pemerintah akan mempunyai data yang lebih lengkap terkait wajib pajak, benda kena pajak, jasa kena pajak dan penghasilan kena pajak. Otomatis dengan bertambahnya data-data tersebut, pemerintah akan terbantu dalam melakukan monitoring akan aktivitas kewajiban pajak di periode akan datang. Pendapatan fiskal pun akan meningkat seiring bertambahnya objek-objek pajak.
Masih ada sisa dua periode lagi untuk program ini. Untuk periode II dari 1 Oktober – 31 Desember 2016 dan periode III dari 1 Januari – 31 Maret 2017. Dengan waktu yang masih banyak, semoga lahan investasi di Indonesia akan semakin lebih terbuka dan menggiurkan para HNWI untuk melakukan repatriasi dana dengan menginvestasikannya di Indonesia. Sehingga repatriasi dana bisa lebih meningkat dan target pemerintah bisa tercapai. Pemetaan pajak pun akan semakin mudah dan jelas. Sehingga pendanaan Negara ini bisa lebih stabil ke depannya dan membawa rasa lega bagi rakyat Indonesia. Seperti slogan dari Tax Amnesty yakni Ungkap, Tebus, Lega!