Kau bisikan janji. Kau sulap tuli menjadi bisu.
Kau buat kata menjadi permata. Dan tak seorangpun tahu kau dalangnya.
Megahnya Istana dibangun di tanah milik Pertiwi. Dia ibu-ibu. Dan kau usik dia hingga kau tancapkan slogan dibenaknya “Tanah Ini Milik Negara”.
Kau singkirkan mana saja yang membuat keinginan mu terhambat. Hampir semuanya tak ada yang peduli. Karena mereka menumpang di Tanah mu, tuan.
Kau ingin apakan Tanah kita? Oh tidak lagi. Maaf. Ini Tanah mu. Silakan, Tuan.
Derap gempita hari jadi bangsa bersorak benderang di Istanamu.
Tanda berakhirnya kebebasan yang merdeka.
Dan bangkitnya keteraturan yang tersistem.
Punah para Pejuang. Lahir para Penindas.
Di Tanahmu. Yang subur dan makmur. Tepat sekali, bukan!?
Kau dalang dari dalangnya dalang.
Kau didik kita.
Disekolahkannya kita cuma hanya untuk diam, patuh, taat dan hormat.
Tegap grak! Begitu seterusnya.
Kau Tuan, Tuan kami. Abdi mu. Yang membencimu.
Membicarakan kejelekanmu tapi di dalam bilik suara memilihmu. Muka dua? Tuan apalagi. Muka dua kali dua.
Kau utara. Kami selatan. Kau selalu menjadi patokan tiap kali nelayan mencari ikan.
Ketika menoleh kebelakang, kami hanya keluarga yang ditinggalkan. Sedih? Tidak.
Karena nelayan akan tahu kemana dia akan pulang dan bersandar.
Jika Tanah bukan syarat untuk diakuinya sebuah Negara. Sudah dari dulu kami hidup nyaman tanpa beban.
Namun hal ini berbalik ketika slogan kau tancapkan.
Ini seperti mimpi buruk yang terus berlarut larut dari masa lalu sampai sekarang jadi babu.
Begitulah kau. Identik. Ciri khas. Dan mudah di”gunakan”.
Tak ubahnya seperti Ondel-Ondel. Bagus jadi Ondel-Ondel yang melestarikan budaya. Daripada boneka?
Oleh: Alvyn Naufal Mahmaris