Jumat (27/10) Komunitas Mazhab Rawamangun (KMR) mengadakan diskusi buku dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda di NEC English Cafe Utan Kayu Jakarta Timur. Diskusi yang dimulai dengan membedah buku karya Ubedilah Badrun (analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta) yang berjudul “Menjadi Aktivis Kampus Zaman Now : Intelektualitas gerakan, godaan kekuasaan dan masa depan Aktivis” oleh frontman aktivis 98 Masinton Pasaribu, Sarbini, Hanry Basel dan penulisnya sendiri, Ubedilah Badrun.

Dalam diskusi yang berdurasi 4 jam tersebut mencoba mengungkap problematika aktivis generasi milenial serta dengan segala kompleksitas problem yang dihadapinya. Lewat penuturannya, pria yang biasa disapa Pak Ubed oleh mahasiswanya berpendapat bahwa generasi milenial hidup di era disrupsi. Dengan kondisi tersebut membuat mereka berada pada situasi minimnya kedalaman ontologis.

Disaat yang sama, generasi milenial mengalami gempuran informasi yang tidak sepenuhnya valid.

“Sangat jarang saya menemukan generasi milenial mampu mengurai problem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan secara utuh, itu artinya mereka terjerat pada minimnya kedalaman ontologis”

ujar Ubedilah Badrun disela-sela diskusi.

Sementara Masinton Pasaribu mengemukakan bahwa nilai-nilai aktivis seperti sikap anti korupsi dan anti penindasan seharusnya dimiliki oleh aktivis zaman kapanpun termasuk zaman milenial, baik berada diluar kekuasaan maupun didalam kekuasaan.

Di sisi lain. Sarbini, aktivis 98 yang sempat merasakan kerasnya represi kekuasaan orde baru mengapresiasi terbutnya buku ini. Menurutnya dalam buku ini memuat nilai yang dapat menjadi panduan bagi aktivis mahasiswa zaman now meskipun menurutnya ada bab yang memuat bahasan-bahasan yang dianggap terlalu tinggi untuk anak milenial.

Setelah mengurai berbagai problem yang dihadapi generasi milenial, Diskusi yang dipandu Hanry Basel (koordinator pendudukan gedung DPR/MPR pada 1998) itu mengemukakan poin kunci bahwa aktivis kampus zaman now memerlukan panduan ditengah hiruk pikuk hidup di era disrupsi saat ini.

Ubedilah Badrun pada sesi tanya jawab mengemukakan bahwa buku karyanya dapat menjadi panduan aktivis kampus era milenial karena merupakan jawaban dari kegelisahan generasi milenial.

Diantara panduan yang ditawarkan Ubedilah untuk generasi aktivis milenial adalah;

Pertama, pentingnya penguatan tradisi intelektual dengan memperkuat budaya baca, diskusi, meneliti, menulis, dan peduli sesama karena dengan budaya tersebut akan terbentuk nalar kritis yang konstruktif dalam bentuk Critical thinking yang kuat. “Budayakan critical thingking, karena critical thinking adalah modal penting generasi milenial untuk memiliki kemampuan adaptasi dan inovasi untuk menjawab tantangan zamanya” ujar Ubedilah Badrun.

Kedua, aktivis mahasiswa milenial perlu bersinergi berjejaring berkolaborasi dengan berbagai elemen mahasiawa dan masyarakat.

Ketiga, aktivis mahasiswa milenial perlu memiliki kesadaran kuat untuk menghargai keragaman.

Ketiga, aktivis mahasiswa milenial dalam melakukan gerakan harus dibingkai dalam kerangka mengutamakan national interest (kepentingan nasional).

Keempat, aktivis mahasiswa milenial memerlukan data yang valid yang terintegrasi dalam sistem big data yang dibuat.

Kelima, aktivis mahasiswa milenial perlu memiliki tradisi spiritual yang baik.

Keenam, aktivis mahasiswa milenial perlu memiliki tradisi kepekaan sosial yang baik. Sebab tradisi kepekaan sosial itu melatih mereka untuk responsif terhadap berbagai persoalan sosial disekitarnya.

“Buku ini, meski belum utuh menarasikan kebutuhan generasi milenial, tetapi kehadiranya bisa menjadi panduan bagi aktivis kampus generasi milenial” tutupnya dalam diskusi malam itu.

Baca juga: Tri Dharma Perguruan Tinggi, Hal yang harus mahasiswa baru ketahui.

Categorized in: