Setiap ucapan kita kala itu, setiap huruf yang membangun kata dan kemudian kaliamt-kalimat yang terlisankan, menjelma sesuatu yang meminta ruang kosong pundak kita untuk akhirnya menjadi tempatnya. Sesuatu yang seringkali memaksa kita mengeluarkan usaha lebih. Sesuatu yang membuat sesiapa yang mengembannya kadang tertatih. Sesuatu itu, kita kenal sebagai amanah.

Barokallah wa innalillah wahai diri yang dipercayakan mengemban amanah. Setiap tanya yang kau jawab dengan baik, wahai diri yang amanah ada di pundaknya, ialah bukan sesuatu yang selepas itu berlalu. Ruang waktu dimana kamu dengan mantapnya menjawab segala tanya bukan panggung dimana kamu berlatih berdiplomasi semata, berusaha untuk meyakinkan orang yang meminta komitemenmu melalui sekelumit pertanyaanya. Jawaban yang terlontar, tentu itu salah satu kelebihanmu untuk berdiplomasi dengan isi hati yang tentu senada dengannya, bukan, wahai diri?

Dari keluarga kecil ini, wahai diri, memang terlihat sulit untuk berbicara banyak. Apalagi berbicara mengenai pembentukan massa rakyat yang madani. Masyarakat madani yang tergambar dari usaha menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan Iman, ilmu dan teknologi berperadaban. Namun, bukankah memang demikian, membangun suatu identitas dari komunitas besar dimulai dari usaha setiap diri untuk memulainya dan kemudian menularkannya? Karena identitas komunitas besar adalah akumulasi dari identitas perorangan.

Maka, sangat penting untuk akhirnya setiap kita memiliki kesadaran untuk terus menjalankan setiap amanah demi kebermanfaatan sekaligus menanamkan spirit untuk terus berbenah diri dan kemudian menstransmisikan kebaikan tersebut kepada orang-orang sekitar kita. Mengumpamakan setiap kita sebuah notula yang berisi pesan-pesan kebangkitan, agar dapat dibaca banyak orang dan kemudian diwujudkan dalam setiap langkah.

Kebangkitan moral yang mesti diperjuangkan karena moral kian hari kian terdeklinasi oleh gaya hidup baru yang meninggalkan nilai-nilai moral. Lebih-lebih kebangkitan akhlaq. Dengan menilik tulisan Dr. Hamid Zakarsy kita akan tahu beda moral dan akhlaq. “Orang ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. Bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak ber-akhlaq jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi ia adalah pengusahan narkoba dan atau porstitusi, atau rentenir ia tidak ber-akhlaq,” tulis Dr. Hamid Zakarsy.

Begitupun dengan aspek-aspek lainnya yang semoga dengan semangat berbenah diri dan menularkannya itu setiap kita dapat menjadi risalah yang berisi stimulan kebangkitan bagi satu sama lain. Akhirnya, semoga dengan mengingat janji-janji atau perkataan kita yang telah terucap dan kemudian semangat membentuk identitas komunitas besar yang ber-akhlaq menjadikannya kita berjuang sampai akhir. Sampai akhir. Sekalipun kita tidak lagi dalam satu organisasi. Karena semangat itu tentu harus tetap menyala dimana dan bersama siapapun kita. Perjuangan itu akan menjadi amal yang umurnya pun melebihi batas usia kita.

Semangat menjadi seorang arsitek yang menata sebuah peradaban, rekan-rekan!

 

Oleh : Asrul Pauzi Hasibuan

Categorized in: