Pilihan ialah yang kemudian semua asa dipertaruhkan. Setiap pilihan mesti bertumbukan dengan konsekuensi yang dihadapkan. Apakah kemudian pilihan menghantarkan pada apa yang didambakan, atau kemudian ia tertahan, menggumpal dalam penyesalan? –meski perlu diikhlaskan-evaluasi-jadikan pembelajaran untuk perbaikan.
Terlepas dari pro-kontra apa yang kemudian akan menjadi bahasan: Pemilihan Raya, Pemira. Tidak ditampik bahwa dalam perjalanannya, Pesta Demokrasi yang satu ini menarik juga untuk menjadi suatu ulasan.
Lalu apakah kemudian pesta yang menyoal pilihan, akan sesuai harapan? Lalu apakah kemudian mereka yang terpilih merupakan representasi suara Mahasiswa secara keseluruhan? Sebelum menjawab pertanyaan yang muncul dalam alam pikir penulis, ada baiknya apa yang kemudian pernah dituliskan salah satu tokoh bangsa ini dimunculkan di tulisan yang jauh dari kata baik ini. Yang kemudian akan menjadi kerangka tulisan ini.
Apa yang kemudian penulis sarikan, besar harapan menjawab pertanyaan yang bermunculan. Moh Hatta dalam buku “Kedaulatan Rakyat, Otonomi dan Demokrasi” menuliskan jika rakyat diberi kuasa untuk menentukan peraturan tentang hidup kolektif dalam negara, maka rakyat kemudian bertanggung jawab dari apa yang menjadi pilihan.
Kemudian ditambahkan bahwa kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijadikan oleh rakyat di atas dasar permusyawaratan. Permusyawaratan itu tentu perlu beberapa catatan, diadakan langsung jika penduduk jumlahnya tidak besar. Beda lagi dengan penduduk yang besar jumlahnya, kemudian akan diambil jalan perwakilan.
Kedaulatan rakyat memberi kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat, juga rakyat kemudian akan terpatri dalam setiap dirinya masing-masing suatu pertanggung jawaban. Pemerintah negara yang bersifat pemerintahan rakyat akan lebih kuat pertahanannya terhadap revolusi, daripada pemerintahan yang berdasar kepada kekuasaan golongan yang terkecil.
Telah nyata, tambah Hatta dalam bukunya, bahwa kekuasaan atas orang banyak yang diatur oleh Raja atau suatu golongan kecil, pada dasarnya oleng duduknya. Sebab seringkali Raja yang diberi kekuasaan penuh atas rakyat banyak bertindak tidak berdasarkan semangat akan keselamatan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Pemerintahan yang berdasar kepada kedaulatan rakyat pada hakikatnya lebih tangguh, karena ia dibangun atas rasa tanggung jawab bersama. Mana kala rakyat seluruhnya merasa kewajibannya untuk mencapai keselamatan bersama, maka tertanamlah sendi negara yang kukuh. Sulit untuk akhirnya digoyahkan.
Pengecualian dari Hatta, apabila Raja yang memerintah itu adalah seorang yang ulung yang besar ghirahnya akan keselamatan dan kemakmuran rakyatnya serta mempunyai kecakapan luar biasa untuk memerintah negara itu bisa jadi besar dan teguh sendirinya. Akan tetapi pemimpin yang semacam itu sedikit sekali di dunia, dan tidak sedikit pula didapat pada setiap masa.
Apabila Raja yang kemudian menggantikan orang biasa, tidak seperti Raja yang disebutkan tadi. Pemerintah negeri itu lemah. Pembawaan pemimpin besar itu bukanlah barang pusaka yang dapat diwariskan, itulah sebabnya maka kekuasaan negara yang disandarkan kepada diri seorang Raja tidak bisa kekal. Oleh karena itu, dasar yang teguh untuk susunan negara bukanlah pemerintahan yang didasarkan kepada orangnya, yang bersifat fana, melainkan kepada pemerintahan yang berdasar kepada tanggung jawab yang luas dan kekal, maknanya, menurut penulis, tanggung jawab ini kemudian menyoal juga hubungan manusia dan Rabb yang vertikal, tidak hanya sesama manusia yang horizontal. Hablumminnallah dan Hablumminannas mesti dijalankan.
Muhammad ibn Abdullah, Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz yang kemudian muncul dari sosok pemimpin yang tinggi ghirah akan keselamatan dan kemakmuran rakyat, serta kecakapan luar biasa untuk memerintah negara.
Kesemuanya telah dicatat dalam sejarah bahwa keselamatan penduduk yang dibawahi Muhammad ibn Abdullah, yang dimana beliau memulainya dari Madinah, dijamin oleh Muhammad ibn Abdullah, Rasulullah SAW., meskipun umat non muslim diberi kewajiban membayar jizyah sebagai bentuk kepatuhan pada pemerintahan saat itu namun jizyah tersebut digunakan untuk orang banyak dan mereka dijamin atas hidup dan ibadahnya.
Kemudian dari tokoh akhir yang dituliskan, Umar bin Abdul Aziz dapat merubah kehidupan yang tidak begitu baik sebelumnya, menuju kehidupan yang dimana keadilan merata dan kesejahteraan dirasakan banyak massa rakyat. Bahkan tidak ditemukan lagi mustahiq yang diberi zakat. Lalu menurut Yusuf Al Qardhawi, dalam membenahi negara, Umar bin Abdul Aziz merubah apa yang kurang baik sebelumnya di masyarakat secara gradual dengan cara mencapai tujuan mulianya dengan langkah-langkah yang dipenuhi ghirah kebaikan untuk menjemput ridho Rabb semesta alam, Allah ta’ala.
Kemudian apakah pemimpin-pemimpin organisasi mahasiswa kampus, dalam hal ini BEM UNJ –yang akan beregenerasi- dalam sekian kali kepengurusan sudah berikhtiar sebagaimana yang Hatta katakan? Melibatkan perwakilan-perwakilan pimpinan organisasi mahasiswa di UNJ tanpa terkecuali yang punya i’tikad baik untuk proaktif dalam diskusi-diskusi yang hasilnya bersentuhan langsung dengan hajat masyarakat UNJ keseluruhan.
Data dalam 3 tahun terakhir menunjukkan bahwa pada penyelenggaraan pemilihan ketua BEM UNJ tidak pernah menyentuh angka 50%. Pemira lalu, untuk kepengurusan BEM UNJ 2017, didapat hanya ada 10.891 suara yang digunakan dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berjumlah 23.456, hanya 46, 43% dalam persentase. Pada tahun 2014 diperoleh suara 10.933 dan tahun berikutnya (2015) total suara sebesar 10.068, berkurang 865 suara dari tahun sebelumnya.
Kenapa kemudian mahasiswa tidak antusias dengan pemilihan ketua dan wakil ketua BEM UNJ –katakanlah dalam 3 tahun terakhir, dibuktikan dengan jumlah suara yang digunakan tidak menyentuh 50%? Apakah sebab mahasiswa di luar BEM UNJ sering kali tidak dilibatkan –dilibatkan diskusi atau soal-soal apapun mengenai hajat mahasiswa kebanyakan? Atau pengaruh yang kemudian seharusnya dirasakan mahasiswa tidak dirasakan?
Tentu ini bukan sebab perkara itu saja, jika memang jawaban pertanyaan di atas ialah, “Iya”. KPU pusat selaku penyelenggara pemilu kampus mestinya bisa menjawab persoalan 3 tahun terakhir dengan angka di atas 50% pada tahun ini.
Dalam kajian perilaku pemilih hanya dapat ditemukan dua konsep utama saja, (dalam Hasannudin M. Saleh; 2007), perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih, termaktub dalam Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011 oleh Bismar Arianto.
Masih dalam jurnal di atas,
Kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992).
Kemudian di sana didapat bahwa perilaku golput ini merujuk pada mereka yang dengan sengaja tidak memilih sebab tujuan dan maksud tertentu, berbeda dengan mereka yang kemudian terkendala hal teknis, seperti luput masuk dalam DPT, TPU sulit dijangkau atau keluarga meninggal, mereka ini seyogyanya dapat dikeluarkan dari kelompok golput.
Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah), masih dinukil dari Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011 oleh Bismar Arianto.
Lalu setelah kita tahu mengenai golput lebih jauh dari sebelumnya, diharapkan KPU Pusat UNJ dapat menginsyafi apa yang kurang dan kita sama-sama belajar untuk bisa melibatkan banyak mahasiswa UNJ lebih banyak dari sebelumnya –melampaui 50% dari jumlah DPT. Sebab dengan terlibatnya banyak orang, sebagaimana Hatta katakan, jangan heran jika kepengurusan BEM UNJ yang mendapat jumlah persentase lebih dari setengah jumlah DPT kemudian akan banyak orang yang bergerak bersama karena mereka merasa bertanggung jawab, dan kemudian mestinya mereka pun turut dilibatkan dalam diskusi atau apapun yang menyoal kepentingan masyarakat banyak UNJ, paling tidak perwakilan-perwakilan mahasiswa –mengingat jumlah massa mahasiswa UNJ yang cukup besar. Lalu kapan kita berbenah, Mahasiswa-mahasiswa UNJ, untuk menggunakan hak suara dengan baik?
Lalu kapan lagi kalau bukan sekarang KPU UNJ berbenah untuk mencapai angka lebih dari 50%?
Lalu, bisikkan pada telinga-telinga calon ketua dan calon wakil ketua BEM UNJ,
“Adakah kalian meimiliki i’tikad baik, hai calon-calon ketua dan calon wakil ketua BEM UNJ untuk belajar dari semua ini?”
Leiden is lijden, memimpin adalah menderita.
Wallahu ‘alam bishshowab
Kepustakaan,
Arianto, Bismar, “Analisa Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu”, http://fisip.umrah.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_57_66.pdf diakses pada 18 November 2017 pukul 10.23 WIB
Hatta, Mohammad, (2014) “Kedaulatan Rakyat, Otonomi dan Demokrasi”. Bantul: Kreasi Wacana
UNJKita, “Rilis KPU UNJ Hasil Perhitungan Suara Pemilu Ketua & Wakil BEM UNJ 2017-2018”, http://unjkita.com/rilis-kpu-unj-hasil-perhitungan-suara-pemilu-ketua-wakil-bem-unj-2017-2018/ diakses pada 16 November 2017 pukul 08.50 WIB
UNJKita, “Rilis Survei UNJKita ; ”Menakar Elektabilitas Calon Ketua-Wakil BEM UNJ 2017 & Evaluasi Kinerja BEM UNJ 2016””, http://unjkita.com/rilis-survei-unjkita-menakar-elektabilitas-calon-ketua-wakil-bem-unj-2017-evaluasi-kinerja-bem-unj-2016/ diakses pada 16 November 2017 pukul 08.70 WIB
Qardhawi, Yusuf, (2005). Meluruskan Sejarah Umat Islam (Cecep Taufiqurrahman, Penerjemah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada