“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” Imam Al-Ghazali.
Ungkapan pada kalimat tersebut bermakna cukup dalam. Dimana ketika kita menjadi penulis, maka kita bisa setara atau bahkan melampaui predikat anak raja yang –hanya- dilihat karena tahta ayahnya, begitu pun yang kedua, ketika anak ulama besar ini hanya ‘menggunakan’ kebesaran ayahnya –tidak karena ke keilmuannya sendiri.
Demikianlah, menjadi seorang penulis cukup ‘menjanjikan’, hingga pencapain tebaik bagi seorang penulis ialah abadi dari waktu ke waktu. Tulis Pramoedya Ananta Toer suatu waktu, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Kemudian menjadi sesuatu yang menarik ketika seseorang yang berpredikat sebagai mahasiswa pasca reformasi yang dituntut sesegera mungkin merampungkan studinya dengan waktu yang cukup terbatas, mampu menuliskan suatu buku di sela-sela kesibukan akademiknya –bahkan juga kesibukan lainnya seperti organisasi.
Melihat sesuatu yang cukup jarang dijumpai itu, tim UNJKita mengadakan RUBRIK (Ruang Terbuka UNJKita) via Whatsapp dengan tema “Ketika Mahasiswa Menjadi Penulis Buku”.
Narasumber termin pertama untuk diskusi online “Ketika Mahasiswa Menjadi Penulis Buku” pada Jum’at malam (17/3/18) yaitu, Tyo Prakoso, seorang alumni Pendidikan Sejarah FIS UNJ 2012 dengan bukunya “Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra” (2016).
Baca juga: Mengapa Mahasiswa (Tidak) Menulis?
Sobat UNJKita.com, yuk simak QnA bersama Tyo Prakoso!
***
“Bagaimana sih kak cara bagi-bagi waktu buat produktif menulis, karena selain akademik ada juga organisasi dan teman-teman lain yang suka minta waktu kita?”
“Waduh, berat ini. Sejujurnya, saya amatlah orang yang tidak sistematis dalam urusan membagi-bagi waktu. Saya kerap kali terlampau asik dg apa yang saya senang lakukan. Sehingga urusan dan kewajiban saya agak kedodoran. Itulah kenapa, mungkin, studi saya telat.
Jadi jawaban atas pertanyaan ini: perbanyak waktu terjaga di malam hari. Untuk baca dan hal-hal lainnya. Risikonya, kita tergabung ke Tareqat Al-Insomniyyaah.”
“Sejak kapan Kak Tyo mulai menulis intens? Bagaimana dengan kegiatan membaca buku, apa harus saat malam hari atau seinginnya kita aja?”
“Saya malah menulis intens semasa kuliah. Silakan berkunjung ke laman gerakanaksara.blogspot.com laman yang saya kelola bareng teman-teman yang lain. Kebetulan saya lebih senang menulis sastra, ketimbang sejarah. Saya merasa menulis sastra seperti berada di rest area dalam perjalanan jauh (yakni belajar sejarah). Dan tanpa saya sadari, koleksi buku saya, 70% buku sastra ketimbang sejarah. Ini tragedi sih. Hehehe.
Untuk membaca, sampai sekarang saya memaksa diri untuk membaca minimal 2 jam dalam satu momen (artinya tidak diselingi kegiatan apapun). Waktunya bisa kapan saja. Biasanya saya larut malam. Menjelang tidur.”
“Apakah Kak Tyo membaca satu buku dulu baru bisa menulis? Apa sesuai halaman yang kakak baca dihari itu?”
“Kalau saya sih fleksibel saja. Malah terlampau sering saya membaca tidak meniatkan untuk menulis sesuatu. Baca ya baca saja. Tidak berharap nanti bakal nulis hasil dari baca buku tersebut.
Malah lebih sering ketika dihadapkan pada satu momen, dan saya teringat dengan sebuah buku, maka saya buka ulang buku tersebut. Itu kenapa saya senang mencoret-coret buku, baik dengan stabilo, pensil, atau post it, agar mudah ketika membaca ulang.
Dan saya senang membaca berulang-ulang sebuah buku. Bukan apa-apa, karena saya merasa membaca (ulang) buku itu seperti seorang flaneur, pejalan kaki, yang keluyuran ke satu tempat yang (sama), dan menemukan hal yang tak terduga. Begitu dah.
Jadi, saran saya, ketika usai membaca sebuah buku, bikinlah review atau resume atau ringkasan atau sekalian dicoret-coret bukunya, untuk mengingat dan memudahkan ketika membaca ulang dan menulis.”
“Pernah gak sih Kak Tyo mengalami rasa malas atau mengantuk ketika sedang menulis? Nah, kalo pernah, kasih tau dong kak tips-tips menghadapi rasa malas atau cepat mengantuk saat sedang nulis?”
“Kalau saya pribadi punya prinsip (ngawur), “Malas adalah hak,”. Meski hak itu diperoleh setelah menuntaskan kewajiban kan. Dan membaca adalah kewajiban, bagi saya sih. Meski hobi saya tetap, tidur siang.
Itu untuk membaca. Karena bagi saya, prinsipnya menulis adalah efek samping (giat) membaca.
Menulis adalah efek samping (giat) membaca.
Nah, kalo sedang nulis lalu rasa malas datang, maka biasanya saya tinggal tulisan. Dan memilih ngelakuin hal-hal lain. Baca atau main PES atau pacaran. Pokoknya yang bisa bikin mood kembali.
Jangan membayangkan proses menulis itu sekali jadi. Menulis itu jalan yang panjang.”
“Kiat-kiat apa yang harus dilakukan oleh penulis pemula ketika rasa cemas dan keputusa-asaan datang menghampiri?”
“Tentu kita tahu kan penulis Indonesia paling moncer belakangan ini, yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 20an bahasa di dunia, yap betul; Eka Kurniawan.
Novel pertamanya itu Cantik Itu Luka. Pertama kali novel itu enggak ada yang mau nerbitin. Akhirnya diterbitin secara mandiri. Lalu, ada penerbit mayor mau menerbitkan ulang. Dan saat itu novelnya dicaci-maki karena dianggap buruk oleh seorang Kritikus Sastra Ternama.
Apa yang kita bisa ambil dari cerita di atas? Saya pikir dua hal, yaitu, pertama, saya rasa semua penulis pasti mengalami titik cemas dan putus asa terhadap karyanya dan bahkan kritik. Jadi jangan terlampau khawatir dan cemas. Jadikan itu proses belajar. Lalu, kedua, bila ada kritik, ya terima saja. Karena kritik itu adalah proses bergeraknya sesuatu. Tanpa kritik sesuatu statis. Saya pikir demikian lah dg menulis.”
“Selain malas, apa kendala lain yang Kak Tyo temui di dunia tulis menulis, khususnya kendala untuk menerbitkan/ membukukan tulisan tersebut? Bagaimana cara kakak mengatasinya? Satu lagi, apa salah satu tulisan kakak yang tidak berkaitan dengan sejarah?
“Tampaknya saya harus mengklirkan dulu perihal ‘sejarah’ yang saya maksud deh. Bagi saya, ada dua sejarah. Yakni Sejarah (dengan S besar) dan sejarah (dengan s kecil). Bedanya, Sejarah adalah yang tertulis dan dipelajari di sekolah atau kampus atau buku. Sedangkan, sejarah adalah apapun di masa silam yang pernah kita lalui. Semua orang mempunyai sejarah (baca: masa lalu), dan belum tentu semua memiliki Sejarah. Karena Sejarah kerap ditulis oleh pemenang untuk kekuasaan.
Lalu, apa hubungannya sejarah dan Sejarah?
Saya percaya, kita hidup karena kita memiliki sejarah. Dan hidup yang baik adalah perjuangan dari sejarah menjadi Sejarah.
Nah, yang saya tulis adalah sejarah. Dalam artian, kisah-kisah masa lalu tiap-tiap tokoh yang saya buat di tiap cerita saya. Tokoh-tokoh itu, tanpa disadari, mereka sedang berjuang dari sejarah menjadi Sejarah.
Kendala, adalah kesabaran. Sebagai penulis ijig-ijig, saya tidak cukup sabar untuk mematangkan ide-ide tulisan saya. Jadi, ketika sudah beredar di pembaca, masih juga banyak perkara yang belum selesai. Saya pikir ini masalah akut yang bisa diselesaikan dengan proses belajar terus menerus.
Selain menulis cerpen, saya juga menulis esai. Kebanyakan malah saya enggak menulis Sejarah. Meulis sehari-hari yang paling saya suka adalah cerpen Goen dan Pram dan Esai Montase Sepakbola.”
Baca juga: Sulap Tyo Prakoso Menulis Sejarah Menjadi Buku Fiksi