Tepat awal September ini, civitas akademika UNJ memulai aktifitas perkuliahan seperti biasa. Praktis, tiap gedung perkuliahan kini semakin terwarnai oleh wajah energik generasi yang dirindukan keberadaannya, generasi yang syarat akan gelora perjuangan, generasi yang ketika pertama kali membuka mata menyaksikan betapa bobroknya bangsa Indonesia pada masa itu. Ya, generasi ’98.
Pekan lalu, masih teringat dalam benak kita perhelatan akbar Masa Pengenalan Akademik Universitas Negeri Jakarta berakhir. Perhelatan yang penuh dengan drama, layaknya tayangan dalam layar kaca yang beralih dari episode ke episode. Drama ini terasa lebih lengkap dengan berbagai macam aktor yang teramat apik memainkan perannya. Sayang, beberapa skenario berlangsung antiklimaks, sehingga menimbulkan kekecewaan bagi mahasiswa baru.
Perhelatan tahun ini jelas berbeda dibanding beberapa tahun silam. Tahun ini terasa lebih spesial karena Surat Keputusan kerap bergulir silih berganti, aktor baru pun bermunculan, sementara aktor sebelumnya hanya melakukan tugas dibalik layar bak pemeran figuran, mungkin dengan ekspektasi aktor baru tersebut mempunyai kapabilitas yang lebih baik dibanding aktor sebelumnya yang telah biasa berlaga bahkan mungkin telah terlatih berlaga. Sayangnya, kebanyakan ekspektasi tak berbanding lurus dengan realita. Aktor baru yang digadang-gadang mampu bermain dengan apik mungkin hanya menjadi buayan Sang Sutradara.
Bagaimana tidak?
Persiapan aktor baru tersebut teramat kilat. Hanya hitungan hari. Sementara Aktor lama yang sudah terlatih saja untuk berlaga dalam perhelatan ini menghabiskan waktu persiapan paling sedikit 3 bulan, hmmm tak heran jika aktor baru tersebut seolah terseok-seok dalam berlaga.
Episode baru MPA UNJ 2016 bermula pada SK DIRJEN DIKTI KEMENDIKBUD Nomor 25/DIKTI/Kep/2014 tentang panduan umum pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru. Pada episode baru ini terdapat turunan yg lebih konkrit terhadap pelaksanaan MPA. Dari mulai skenario, hingga aktor yang berlaga. Kemudian diperlengkap dengan SK DIRJEN PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN KEMENRISTEKDIKTIÂ Nomor 096/B1/SK/2016 tentang panduan umum pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru yang ditetapkan pada 29 Juli 2016. Lalu tak membutuhkan waktu lama, SK tersebut direvisi menjadi SK Nomor 116/B1/SK/2016 pada 12 Agustus 2016.
Dan tahukah ?
Dari kesekian SK yang di layangkan, tidak satupun redaksi yang menyatakan bahwa Mahasiswa tidak dilibatkan dalam kepanitian. Namun demikian besarnya porsi keterlibatan aktor yang telah terbiasa berlaga tersebut tetap Sang Sutradara yang menentukan. Sehingga tak heran jika mahasiswa kini hanya berperan sebagai pemeran figuran. Aktor bisa apa jika Sang Sutradara sudah bertitah ?
Pengurangan peran aktor tersebut tak lain karena kekhawatiran yang terlalu tinggi dari Sang Sutradara, mungkin ia merasa aktor lama tersebut ber-mindset primitif, tidak mengikuti perkembangan global, bahkan mungkin tidak kekinian.
Namun apakah demikian ?
Mari flashback setahun sebelumnya saat Aktor lama tersebut berhasil memeriahkan MPA, tentu tidak dengan peran primitif seperti apa yang dikhawatirkan Sang Sutradara. Jika akhir-akhir ini sedang tren adegan flash mob dengan membuat suatu bentuk mozaik tertentu, Aktor tersebutpun sudah berhasil melakukannya dengan cukup baik. Namun, Aktor bisa apa jika Sang Sutrada sudah bertitah ?
Jika akhir-akhir ini sedang tren menghadirkan bintang tamu yang tersohor akan prestasinya dalam segala bidang, Aktor tersebutpun telah melakukannya. Namun, Aktor bisa apa jika Sang Sutradara sudah bertitah?
Sementara tahun ini, ketika terjadi tindak kriminal pada mahasiswa baru yang menyebabkan barang berharga mereka raib, Aktor lama dikambing hitamkan. Seolah Sang Sutrada mencuci tangan. Hmmm, Aktor bisa apa jika Sang Sutradara sudah bertitah?
Nyatanya, kekhawatiran tersebut merupakan kekhawatiran yang tidak perlu. Mahasiswa baru akhirnya secara tak langsung menjadi korban. Mahasiswa yang harusnya mendapat sambutan terbaik, edukasi terbaik dalam memasuki dunia kampus, pengarahan terbaik agar nantinya mahasiswa dapat berprestasi pada bidang yang diinginkan sesuai dengan minat dan bakatnya, namun dengan sistem seperti ini seolah mahasiswa baru hanya diarahkan berprestasi pada bidang tertentu saja. Bukankah definisi berprestasi tidak se-sempit itu?
Namun, ah . . .
Lagi-lagi Aktor bisa apa jika Sang Sutradara sudah bertitah?
M. Afif. Makarim
-Pengamat Drama Kampus-