UNJKita.com – Menjelang hari pencoblosan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada tanggal 15 Februari 2017, lembaga survei saat ini berlomba-lomba mengeluarkan hasil surveinya kepada masyarakat. Tak jarang hasil release antar lembaga survei tersebut berbeda-beda. Lalu, bagaimana kita mencermati perbedaan hasil release lembaga survei yang saat ini menjamur di tengah-tengah masyarakat?
Awal mula trend lembaga survei.
Lembaga survei menjadi bagian penting yang tidak bisa dilepaskan dalam pesta demokrasi di Indonesia. Masih teringat dalam ingatan kita semua di pemilihan presiden 2014, lembaga survei seperti terbelah dua dalam hasil surveinya terutama pada saat me-release hasil perhitungan cepat (quick count). Namun, tanpa disadari lembaga survei ternyata sudah ada sejak pasca reformasi pada tahun 1999.
“Tahun 1999 setelah reformasi itu sebenarnya sudah ada survey-survey. Tetapi untuk publikasinya yang mulai masif ketika pilpres tahun 2004. Sudah mulai ada poling survey dan seterusnya. Fenomena tersebut terjadi sampai saat ini,” ujar Ali Rif’an, Manajer Riset Poltracking Indonesia, saat ditemui di Jakarta, Sabtu 4 Februari 2017.
Saat ini sudah banyak lembaga survei yang terdaftar pada asosiasi lembaga survei. Di Indonesia ada 2 asosiasi lembaga survei yaitu Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI).
“Lembaga yang kredibel dan punya badan hukum dan rekam jejak yang bagus ada sekitar 30an. Itu yang terdaftar di PERSEPI. Belum nanti di AROPI dan beberapa lembaga yang belum tercover,” ungkap Ali.
Ali menambahkan, fenomena menjamurnya lembaga survei disebabkan karena sistem politik semakin terbuka. Sistem pemilihan langsung ini yang membutuhkan lembaga-lembaga survei tersebut.
Peran Sebagai Konsultan Politik
Di Indonesia ada beberapa lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik. Namun ada pula beberapa lembaga yang memang hanya hanya melaksanakan survei saja. Lalu lembaga mana yang hasilnya dapat dipercaya?
“Tidak bisa disimpulkan lembaga suvei yang tidak menjadi konsultan politik itu lebih bagus. Juga tidak bisa disimpulkan bahwa lembaga survei yang menjadi konsultan politik itu lebih buruk. Ini tergantung rekam jejak,” tegas Ali.
Ali menambahkan, lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik ketika mengeluarkan hasil survei itu sebagai laboratorium untuk menjadi bahan pertimbangan dan strategi politik sang klien. Namun ada juga lembaga yang memanfaatkan hasil survei tersebut untuk melakukkan penggiringan publik. Sehingga Ia lebih setuju jika lembaga tersebut lebih baik tidak mengeluarkan hasil release nya kepada publik.
“Saya sebenernya lebih setuju ketika lembaga mencakup konsultan politik, hasil survei nya itu sebaiknya tidak usah di publish tapi untuk menyusun strategi sang klien,” tambah Ali.
Perbedaan hasil release lembaga survei
Kita tentu akhir-akhir ini melihat banyaknya lembaga survei yang mengeluarkan release terkhususnya pilkada DKI Jakarta. Dari sana pula lah ditemukan beragam hasil survei yang berbeda-beda. Lalu bagaimana kita mengetahui lembaga survei yang independen dalam mengeluarkan hasil surveinya?
“Hasil survey antar lembaga survei dipengaruhi karena 4 hal. Pertama, rentang waktu. Kalau waktu berbeda otomatis hasilnya bisa berbeda. Kedua adalah responden. Jumlah responden juga berpengaruh terhadap hasil. Jumlah responden 400 dibandingkan dengan jumlah responden 1200 itu berbeda karena margin off errornya itu berbeda. Yang ketiga adalah metodologi. Metode berbeda otomatis hasil berbeda. Yang keempat adalah rekam jejak. Apakah lembaga ini punya rekam jejak yang baik selama ini atau tidak,” jelas Ali.
Ali menambahkan, jika ada data yang janggal nantinya akan ada sidang etik yang dilakukkan oleh asosiasi lembaga survei. Sebelum melakukan sidang etik, asosiasi tersebut melakukan audit kepada lembaga survei yang dicurigai memliki kejanggalan data.
“Misalkan ada data janggal itu bisa di sidang. Diliat kuesionernya, metodenya apa. Kalau ketemu kejanggalan ada sidang etik,” tutup Ali.