PADA MUSIM SEMI yang hujan tahun 1957, Penulis Kolombia itu sedang berjalan di Boulevard St. Michel di Paris. Ia melihat Sang Maestro sedang berjalan bersama istrinya di sisi seberang menuju Taman Luxemberg. Sang Maestro mengenakan celana koboy yang tampak kuat, kemeja wol, dan topi pemain bola. Juga kacamata berbingkai logam yang menyentel di hidungnya. Kacamata itu berukuran amat kecil sehingga membuat muka Sang Maestro seperti seorang yang belum waktunya menjadi kakek.
Sang Maestro adalah penulis idola Penulis Kolombia. Itu kali pertama Penulis Kolombia melihat Sang Maestro yang saat itu berusia 57 tahun. Sang Maestro tampak sehat dan bugar. Ia terlihat kerasan tinggal di kota itu dengan anak-anak muda yang terus mengalir ke kafe-kafe di Sorbonne.
“Maestroooo!” tanpa Penulis Kolombia itu sadari ia berteriak ke arah Sang Maestro dengan mencungkupkan kedua tangan di dekat mulut, seperti Tarzan.
Penulis Kolombia itu tidak menyangka apa yang baru saja dilakukannya. Ia memang berada dalam situasi yang sulit. Maksudnya ia tidak mengerti apa yang sedang dialami oleh tubuhnya ketika dihadapkan oleh sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Ia tidak menyangka akan bertemu Sang Maestro, idolanya, pada situasi demikian. Penulis Kolombia masih terhitung muda. Ia berumur 28 tahun.
“Adioooss, amigo!” sahut Sang Maestro dengan bahasa Castilia. Sepertinya ia tahu hanya ada satu maestro saat itu.
Sang Maestro adalah Ernest Hemingway, penulis asal Amerika Serikat. Penulis Kolombia itu ialah Gabriel Garcias Marquez. Dua begawan sastra dunia yang namanya acap diperbingcangkan.
Bagi saya, momen pertama Gabo (panggilan akrab Gabriel Garcias Marques) dengan Hemingway di atas amat dikenangnya dan menjadikan salah satu palagan sejarah kepenulisannya. Bahwa kerja keras untuk terus mencoba dan menulis adalah satu hal yang musti dilakukan oleh seorang penulis. Perjalanan kisah sebagai manusia an sich yang dilingkupi konteksnya juga turut mempengaruhi proses perjalanan literer tersebut. Sebab keberhasilan seorang penulis, hemat saya, adalah kesuksesan mempertaut pengalaman subyek dengan subyek-subyek lainnya.
Menulis merupakan suara pribadi (penulis) yang bertaut dan kadang berbenturan dengan suara di luar dirinya.
Di titik inilah, kegiatan menulis bergerak dari ruang privat ke ruang publik. Menulis merupakan suara pribadi (penulis) yang bertaut dan kadang berbenturan dengan suara di luar dirinya. Menulis akan selalu berada di tegangan antara kedua ruang tersebut dalam proses literer.
***
URAIAN di atas akan mengantar kita pada persoalan, misalnya, mengapa judul tulisan ini demikian. Mungkin judul tulisan ini segera mengusik common sense pembaca alih-alih tidak mengacuhkannya.
Artinya saya berhasil. Sebab judul itu dipertujukan kepada kita yang mengemban tanda sebagai mahasiswa. Dan konon, selain Agen Perubahan, tanda mahasiswa identik dengan kegiatan literasi, membaca dan menulis. Dari sanalah, saya rasa, pemahaman Civitas Akademika berangkat.
Saya tidak ingin menggarami air laut, untuk terus memproduksi mitos bahwa minat baca anak muda (bukan hanya mahasiswa) negeri ini jebluk. Saya ingin kita mempersoalkan fungsi dan peran universitas (sebagai tempat dimana tanda mahasiswa itu berada, kan) terhadap kenyataan bahwa ada mahasiswa yang menulis dan tidak.
Jika bukan karena universitas, misalnya, mengapa mahasiswa menulis? Alih-alih menulis dan demonstrasi, mengapa mahasiswa tidak melakukan hal faedah lainnya, misal, memancing di tengah danau?
Karena saya tidak ingin jawabannya adalah persoalan diri, atau bahkan, persoalan mengubah sesuatu hal, maka saya rasa kita harus bertanya mengapa universitas gagal menjalankan fungsi dan perannya? Sebab jika ruang dimana kegiatan literasi menjadi satu hal yang mafhum masih menjadi kendala, maka itu sebuah petaka.
Saya rasa, pertanyaan mengapa mahasiswa menulis menjadi menemukan relevansinya. Di titik ini kisah Gabo dan Hemingway di atas menjadi ilustrasi yang mengasikkan. Bahwa pertemuan itu terjadi di jalan adalah satu momen semiotik, dan sialnya arbitre. Maksudnya, kegiatan literasi berada dalam ruang yang goyah; antara alasan kenapa melakukannya dengan sebab tidak melakukannya.
***
MARI kita tinggalkan persoalan kenapa mahasiswa menulis atau tidak. Bila pertanyaan mengapa saya tidak menulis, maka jawabannya, biasanya, karena saya sedang membaca. Dan membaca, adalah proses saya untuk menangkap hal-hal yang kiranya menjadi pertanyaan-pertanyaan. Juga membaca adalah kiat paling ampuh untuk memahami sesuatu yang menjadi keresahan.
Membaca adalah proses saya untuk menangkap hal-hal yang kiranya menjadi pertanyaan-pertanyaan. Juga membaca adalah kiat paling ampuh untuk memahami sesuatu yang menjadi keresahan.
Jika kita sepakat, bahwa membaca bukanlah tindakan heroik (apalagi bagi mahasiswa), maka membaca haruslah dipahami bukan sekedar berhadapan dengan sebongkah benda bernama buku. Karena kata literasi, sebuah kegiatan yang sepadan dengan pemahaman kita tentang membaca dan menulis, dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Inggris, literacy, yang secara etimologi berasal dari bahasa Latin, literatus, yang berarti orang yang belajar. Dalam bahasa Latin juga terdapat istilah littera (huruf) yaitu sistem tulisan dengan konvensi yang menyertainya.
Karena unsur utama dari kata literasi adalah belajar, atau lebih tepatnya orang yang belajar, maka mengamati seorang petani di sawah dan memahami proses kerja tani dari persoalan menyiapkan tanah, menebar bibir hingga panen, dus persoalan sosial-ekonomi yang melingkupinya, dapatlah kita sebut sebagai membaca. Di titik inilah, bagi saya membaca bukanlah persoalan remeh. Membaca adalah kegiatan tak-berkesudaran antara kondisi sadar akan situasi ketidaktahuan. Singkatnya membaca adalah proses untuk tetap gelisah, karena pertanyaan-pertanyaan yang mengiung di kepala.
Lalu mengapa kemudian saya menulis? Jawabannya adalah untuk tetap berada dalam tegangan kegelisahan tersebut. Artinya menulis adalah respon per se terhadap proses membaca yang saya lakukan. Di titik ini saya harus katakan bahwa, bagi saya menulis adalah anasir-lain dari membaca. Saya tidak akan mungkin menulis bila tidak membaca.
***
Bila penjelasan di atas dirasa rumit, maka baiklah saya memang harus menceritakan bagaimana akhirnya saya membaca dan kemudian menulis.
Jika kau percaya kepada ingatan saya, maka pertama kali saya membaca adalah dongeng sebelum tidur yang dikisahkan oleh nenek saya. Juga gunjingan sanak-keluarga saya tentang asal-usul keluarga yang, beberapa, beririsan dengan cerita sejarah. Setidaknya kemudian yang saya ketahui.
Karena bermula dari cerita-cerita yang dituturkan dan saling beririsan dan kadang bertabrakkan perihal kebenarannya itu, saya mulai menemukan buku sebagai sebuah cerita-lain, yang mulanya tidak berkaitan dengan kisah-kisah yang dituturkan tersebut. Di titik inilah perjalanan literer saya bermula. Hingga kemudian membawa saya studi sejarah di Rawamangun.
Buku pertama yang saya baca dengan serius adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer. Sebuah memoar miris tentang perjalanannya sebagai manusia buangan di bawah Rezim Orde Baru. Bukan sebuah kebetulan bila hal tersebut beririsan dengan kisah keluarga saya. Di titik ini kau tahu yang saya maksud bertautan.
Melalui Pram saya mengetahui kisah sejarah yang tidak dikisahkan oleh buku-buku pelajaran di sekolah. Namun, dalam derajat tertentu, saling mendukung kisah-kisah yang dituturkan sanak-keluarga. Bagaimana kisah sejarah yang dituturkan Pram beririsan dengan kisah keluarga, biarlah nanti saya tulia di kesempatan lainnya. Di sini hanya perlu disebutkan bahwa sastra sangat mungkin digunakan untuk menceritakan masa lalu.
Dengan pemikiran demikianlah saya kemudian menulis cerita-cerita pendek yang saya bangun pondasinya dari puing-puing sejarah. Tentu sejarah yang acapkali diartikan sejarah (bukan dengan S besar)-yang acap menjadi satu narasi oleh kekuasaan. Melainkan kisah individu-individu yang saya narasikan dalam karya sastra. Seringkali kisah individu-individu tersebut bertabrakan dengan kisah Sejarah kekuasaan.
Harus saya katakan bahwa sastra, bagi saya, adalah area istirahat dalam perjalanan saya studi sejarah. Dan olehnya saya merasa yakin bahwa sastra, pada esensinya, adalah membebaskan. Sastra hanyalah satu kemungkinan dari sekian kemungkinan yang terjadi saat itu.
Meski saya tahu benar bahwa tidak ada karya sastra yang dapat mengubah dunia. Melainkan seseorang yang membaca karya sastra yang mengubah dunia. Namun itu bukanlah garis yang linier. Dua orang membaca satu karya sastra selalu menghasilkan reaksi yang berbeda.
Kondisi demikianlah yang saya idap ketika menulis sejumlah cerita pendek yang kemudian dibukukan pada tahun 2016 berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra. Akhirnya, mengapa saya menulis (sastra) adalah satu kemungkinan yang bisa saya lakukan untuk terus berada di tegangan kegelisahan atas perjalanan literer yang sudah dan akan saya lalui.
Berliterasi adalah sikap wajar yang dijalankan oleh manusia.
Berliterasi adalah sikap wajar yang dijalankan oleh manusia. Bagi saya, mengendarai motor dalam arena tong setan tidaklah lebih buruk ketimbang menulis. Atau bahkan merancap seekor kuda sekalipun. Begitu.
***
Sebuah catatan pengantar diskusi Rubrik (Ruang Terbuka UNJKita) edisi Mahasiswa UNJ Penulis Buku pada tanggal 17 Maret 2018 yang dibuat oleh narasumber Tyo Prakoso (Alumni Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNJ Angkatan 2012).