Bagi saya, menulis tak ubahnya teriakan yang anda keluarkan ketika jari jempol anda terantuk ujung meja. Ketika itu tentu anda tidak berpikir kata apa atau juga tinggi rendah suara yang akan keluar dari mulut anda bukan? Menulis pun demikian, karena menulis merupakan bentuk kejujuran dari dalam diri anda.

Sama-sama sebuah bentuk ekspresi. Menulis juga seperti nafas yang tiap detiknya naik dan turun, hal yang normal dan bisa dilakukan semua orang. Juga seperti kata-kata yang meluncur deras dari lisan anda menulis itu.

Seperti ketika anda melihat postingan status media sosial anda beberapa tahun silam yang anda anggap alay hari ini. Tentu hal itu (postingan alay) menjadi cerminan diri anda di masa silam. Bisa satu waktu coba anda tuliskan sesuatu ‘tuk kemudian anda baca beberapa waktu kemudian, dari guratan-guratan tersebut anda akan mengenali siapa diri anda sebenarnya.

Kegiatan menulis bagi saya tak ubahnya seperti mengendarai motor di arena Tong Setan. Keduanya terlihat begitu menakjubkan, padahal apa yang keduanya lakukan ialah hal yang wajar. Hanya persepsi saja yang membuat kedua aktivitas ini menjadi begitu di luar nalar. Pengendara Tong Setan memanfaatkan momentum pada gaya sentripental yang menjadikan mereka tetap berada dalam lintasannya tanpa terjatuh dari dinding tabung arena.

Menulispun demikian. Seorang penulis politik dapat memberi analisis terkait kondisi politik nasional terkini karena sebelumnya tentu ia sudah banyak membaca, menganalisis, serta berdiskusi dengan beberapa elemen politik terkait. Dan semua rasa-rasanya juga dapat dilakukan orang berbagai macam kalangan.

Yang jadi tidak wajar adalah ketika kita membatasi diri sendiri dengan menganggap menulis adalah sebuah kegiatan yang begitu memeras isi kepala dan menjadikan diri sendiri menjadi objek bullying jika apa yang dituliskan tidak sesuai dengan kesepakatan masyarakat.

Jika menulis menjadi hal yang wajar, lalu mengapa seorang sastrawan di pertengahan abad 20 mengatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. atau seorang Imam Besar bertutur,

“Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah.”

Apa yang membuat kegiatan menulis ini begitu spesial?

Seorang kawan penah berujar bahwa, “Puncak dari pemahaman itu adalah gerak.” kepada saya di masa yang telah lewat.

Ketika anda lapar, tentu jika anda paham apa itu lapar. Dengan sendirinya otak akan memerintahkan badan anda untuk mencari barang sesuap-dua suap makanan. Bukan hanya sekadar duduk manis berharap jatuh makanan dari langit. Dan setelah bertemu pun, tentu tidak serta merta anda diamkan makanan itu berharap kaki-kaki ajaib mereka membawa diri menuju rongga mulut anda bukan? Tapi ada sebuah gerak ayunan dari salah satu tangan anda mengantar suap demi suap makanan yang sudah tersaji.

Begitu pun dengan sebuah ide, puncak dari pemahaman atas sebuah ide ialah menulis. Karena perlu kita insyafi bahwa ingatan bisa berubah. Juga pemahaman itu sendiri, boleh jadi di masa yang akan datang akan lebih kompleks atau bahkan sebaliknya.

Karena bisa jadi, adanya degradasi pemahaman seiring berjalannya waktu. Dan oleh sebab itu, kita menulis sebuah catatan. Dan itu hal yang wajar. Kita membuat sebuah dokumentasi dari sebuah ide baik dari diri sendiri atau orang lain.

Karena ketika ide itu dimanifestasikan dalam bentuk untaian kata-kata dalam lembaran kertas (baik itu fisik jua elektronik). Sekalipun besok kematian ‘kan bertamu, ide itu tetap aka nada dan namamu abadi di ingatan insan-insan yang membaca. Sebuah dokumentasi akan sebuah ide, kejadian, dan sebagainya dan sebagainya.

Seorang alkemis abad pertengahan berkata bahwa manusia terdiri dari 3 unsur, jasad, roh, serta semangat. Tiga hal itu yang membuat manusia dikatakan hidup. Ketika seseorang meninggal, jasadnya kelak akan terkubur di dalam tanah atau bahkan dilarung ke laut sedangkan rohnya ‘kan bersiap menuju alam selanjutnya. Sedangkan semangatnya, selama orang-orang masih melanjutkan hal itu. Ia akan tetap hidup karena semangatnya tumbuh di hati orang-orang yang meneruskan cita-citanya. Dan hal ini yang biasanya dilakukan lewat kegiatan menulis itu.

Kembali ke poin awal. Menulis kata kerja, tulisan ialah kata benda. Poin awal sudah selesai kita babat beberapa saat yang lalu. Kemudian masuk yang kedua, tulisan sebagai benda.

Tulisan sebuah bentuk ekspresi, juga sama dengan ucapan. Lalu, apa yang membuat keduanya berbeda. Tulisan berbentuk fisik, tentu kita memafhumi segala hal yang bersifat fisik memiliki resistensi yang lebih baik ketimbang hal yang bersifat sebaliknya.

Bahkan itu yang dilakukan khalifah Utsman ketika ia membukukan Al-Qur’an. Ia melihat banyaknya penghapal-penghapal Qur’an yang tutup usia. Sehingga ia butuh sebuah sarana untuk tetap mempertahankan kandungab itu sendiri. Caranya? Dengan menuliskannya.

Jadi dapat kita ambil sebuah hipotesa bahwa menulis ialah sebuah bentuk pendokumentasian atas sebuah pemahaman dalam bentuk kata-kata fisik.

Seperti bagaimana Adolf Hitler menarasikan pembangunan negaranya di masa yang akan datang dalam Mein Kampf. Atau pembelaan Bung Fajar akan sebuah nation dalam pledoinya yang dikemudian hari dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat. Juga Pram yang mencurahkan isi hatinya melepas kepergian ayahanda dalam Bukan Pasar Malam. Juga Stephenie Meyer yang menceritakan kembali mimpinya akan jalinan kasih antar ras manusia dan vampire dalam Twilight.

Kesamaan dari semua itu adalah upaya ekspresi serta pendokumentasian atas sebuah ide itu sendiri.

Categorized in: