Sebuah narasi panjang yang disampaikan para pendahulu untuk menjadi pengingat para penggiat yang melabeli namanya ‘Aktivis’ maupun ‘Pasivis’.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia. Kawasan Surabaya mencekam, layaknya perang umat Islam melawan kaum Quraisy pada masa lampau. Dimana pada masa itu kita mengenal komandan perang, seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, Saad bin Abi Waqash, Amr bin Ash. Dan mereka semua satu komando terhadap perjuangan Sang Jendral Besar, Nabi Muhammad SAW. Maupun ‘Jendral besar’ yang menyertai para murid dan santrinya untuk terjun langsung membela negeri ini. Seperti Rais Akbar Nahdatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari. Beliau sampaikan pesan yang bernama “Resolusi Jihad”. Resolusi yang dimana saat itu, Presiden pertama kita, Ir. Soekarno meminta pendapat serta restu terhadap kondisi Indonesia yang merdeka tetapi masih belum ada integritas terhadap suatu bangsa.

Santrinya rela mati demi keutuhan NKRI. Ya Lal Wathon Syubbanul Wathon. Seruan rela mati demi bangsa ini telah tertular di kawasan Jawa Timur hingga Surabaya. Orasi Bung Tomo hingga petuah-petuah para kiyai untuk membakar semangat juang rakyat surabaya pada saat itu. Puncaknya terjadi ketika Brigadir Jendral Mallaby tewas ditembak, Mayor Jendral Eric Carden Robert Mansergh dengan lantangnya mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Adapun pertempuran yang mengakhiri 6000-16.000 korban Indonesia yang tewas dan 600-2000 dari pihak lawan yang dikutip dari Wikipedia.org. Hebatnya pertempuran ini, hingga ada dokumenter Film pertempuran yang terlahir penyebutan Hari Pahlawan pada hari itu. “Battle Of Surabaya“, nama yang pantas untuk menilik sejarah yang luarbiasa didalamnya.

Hari-hari bersejarah lainnya bukanlah sebuah formalitas belaka. Melainkan menjadi lecutan senjata perang yang tiada duanya. Kau katakan terus di jalan juang ini dengan seruan “Hidup Mahasiswa…” dan pekikan yang menyatukan rakyat Indonesia dari ujung barat hingga timur, “Hidup Rakyat Indonesia…” katanya.

Jika memang orang berilmu pada saat itu. Kyai, Santri, Guru, Dokter, Wartawan rela mati demi keutuhan NKRI. Kenapa kau mengeluh disaat seruan aksi itu datang? Padahal benar adanya, Valid datanya? Jika diam itu emas, kontekstual untuk hari ini melihat Indonesia yang carut marut keadaannya sungguh-lah keliru. E-KTP yang dilansir merugikan negara sekisar 2,3 Triliun, Reklamasi yang prosesnya hingga kini bersebrangan dengan konsep kerakyatan. Melanggar sejumlah perundang-undangan yang ada. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Serta pelanggaran lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Apa lagi? Kau katakan Indonesia sedang baik-baik saja. Dimana baiknya? Kau katakan Indonesia tidak akan dijajah lagi. Bagaimana bisa mengatakan seperti itu, jika orang asing telah banyak menguasai sektor dagang di negeri ini. Dan kau masih katakan Indonesia masih dengan kata yang sama, yaitu “Baik-Baik saja”? Jika memang benar katamu sebuah perjuangan itu dilihat dari hasilnya. Medali, Piala dan semacamnya maka akan ku katakan Sebuah pengabdian tidak pernah menuntut itu.

Anehnya negeri ini. Jika kita dahulu jelas melawan kedzholiman yang ada dikarenakan musuh nyata adanya. Ingin merebut tanah leluhur kita, Indonesia. Maka akan ku pastikan tak ada yang lebih layak selain pengorbanan sampai mati dan teriakkan gemuruh “Jihad Fii Sabilillah”.

Tetapi, benar kata bung besar. Soekarno, bahwasannya:

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Maupun Rasulullah tidak khawatir jika umat Islam akan dihancurkan oleh kaum lain. Tetapi beliau sangat khawatir jika umat Islam akan terpecah-belah saling membunuh satu sama lain. Dan pada masa ini, telah ada realitanya.

Semangat persatuan itu sudah luntur hilang tergerus zaman yang menitikberatkan kepada teknologi modern, mudah dan menggampangkan. Semangat persatuan itu telah luntur adanya, jika para mahasiswa yang suka berdialektika, menciptakan karya telah habis ideologinya terhadap kondisi Indonesia pada saat ini. Semangat juang itu bukan “Resolusi Jihad” lagi namanya. Tetapi seruan “Mabar ML” dan semacamnya.

Bukan Kiyai, Guru, atau orang berilmu lainnya yang didengar sekarang. Bukan Orasi lagi yang membuatnya terperangah dan terdiam bisu tanda takjub, tanda ada pesan hebat yang disampaikan. Bukan perang melawan penjajah lagi yang menjadi semangat bagi pemuda. Tetapi bualan omong kosong dan tak ada langkah konkrit untuk membangun bangsanya.

Tidak masalah kawan, kita banggakan negeri ini dengan semangat para pendahulu kita dalam cara yang berbeda-beda, tetapi ingatlah bahwasannya sebuah kemerdekaan yang telah digaungkan pendahulu kita. Ikhlas, Lillahi Ta’ala untuk penerusnya nanti. Penerus yang akan melanjutkan estafet perjuangan dakwah para Ulama dan Pejuang dahulu untuk memperjuangkan kebenaran dan menghentikan kedzholiman atas negeri yang dijahit dari bahan ber-simbol merah atasnya, putih bawahnya, dan biasa disebut Indonesia namanya.

 

Oleh: Remy Hastian (Mahasiswa Ilmu Agama Islam FIS UNJ 2016)

Categorized in: