Hari yang kutunggu akhirnya datang. Aku, Diwanna Luca Zornal telah siap berpetualang lagi menuju salah satu negara impianku di benua Eropa, Belanda. Negeri yang dahulu sempat menjajah Indonesia selama tiga setengah abad, menjadi titik awal perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu itu.
Perasaan bahagia jelas terpancar pada wajahku saat ini karena paper ku berhasil lolos seleksi International Conference di Rotterdam. Disisi lain, perasaan bersalah dan kecewa mengganjal kepergianku menuju bandara internsional Soekarno Hatta. Aku merindukan dia. Kebiasaan dirinya yang selalu mengantarku ke bandara tiap kali aku melakukan konferensi ke luar kota bahkan luar negeri. Dia yang selalu mendukungku, menjadi armor dalam tiap peperanganku. Dia yang telah mengenal diriku layaknya aku mengenal dirinya dengan baik. Pertemanan sembilan tahun kami kini tengah dihantam badai besar. Arghh, sudahlah nasi telah menjadi bubur. Lebih baik kini aku berkonsentrasi memikirkan slide-slide presentasiku nanti.
Sudah waktunya untuk boarding. Bolehkah aku segera menuju tempat dudukku sehingga aku bisa beranjak tidur dan melupakan masalahku untuk sementara waktu?
Aku suka travelling tapi aku benci terbang. Bukan karena tidak kuat dan mabuk kendaraan, namun aku kesal karena harus mempertaruhkan nyawa terhadap seorang asing yang dipanggil pilot. Dalam buku yang pernah aku baca, ada namanya istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat, Tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing. Aku selalu berusaha optimis bahwa akan selamat dari setiap penerbangan yang aku lalui. Tetapi kini entah mengapa aku memiliki firasat buruk. Aku baru tersadar bahwa ada lima pesan dari dia yang belum sempat aku buka. Lekas ku cek pesan tersebut.
Tes..
Setitik air mata membasahi pipiku. Entah bagaimana pesan-pesan itu membuatku tertarik ke masa lalu kami yang baik-baik saja.
Nala Anarki.
Sebuah nama yang senantiasa aku haturkan dalam setiap doa malamku agar dia baik-baik saja.
“Hey, namamu unik yah, Na. Diwanna Luca Zornal. Artinya apa tuh?” tanyamu kala perjumpaan pertama kita saat Masa Orientasi Siswa SMP.
“Diwanna memiliki arti tulisan, asal mula akuntansi tercipta. Lalu, Luca diambil dari nama seorang tokoh Lucas Paciolli, beliau adalah Bapak Akuntansi. Dan Zornal yang memiliki arti jurnal. Ibuku adalah seorang akuntan dan ayahku seorang auditor, mungkin karena pekerjaan mereka, hingga akhirnya terobsesi memberiku nama berbau akuntansi seperti itu,” jawabku menjelaskan, “Namamu juga unik banget. Anarki. Kayaknya orang tuamu suka demo gitu yah? Hehee..”
“Kata mereka sih Nala itu artinya jantung hati. Biar anak laki-laki kesayangan mereka ini banyak dipuja kaum hawa. Dan Anarki diberikan oleh ayahku yang dulu seorang aktivis kampus dan sangat bersemangat menyuruhku untuk ikut demonstrasi kalau aku sudah kuliah nanti,” gelak tawa dan senyum hangat kau sisipkan di sela perbincangan itu.
Entah lem super macam apa yang menjadi perekat dalam hubungan pertemananku dengan Anarki hingga aku mampu tahan berteman dengannya sejak bangku SMP hingga kami memutuskan memilih kampus yang sama, yang tersohor dengan kampus pergerakan ini. Jangan salahkan aku yang enggan seperti Anarki dengan segudang aktivitasnya. Toh, aku memilih kampus ini karena memang sekedar ikut-ikutan dia dan alhasil terdampar pada jurusan yang paling dia impikan dan gagal dia raih, jurusan Sejarah.
Seharusnya aku bisa bangga diri karena bisa mengalahkan dia yang kepental dari jurusan yang dia mau dan malah terjerembab jatuh di jurusan Ekonomi dan Administrasi. Arghh, mengingat hal itu semakin membuatku geram saja. Pasalnya, memasuki jurusan Sejarah mengharuskanku belajar mengenai masa lalu, mengupas setiap cerita perjuangan kemerdekaan hingga momentum besarnya lainnya baik skala nasional maupun internasional. Hal ini sangat bertentangan dengan nuraniku.
Sesaat setelah menangis dalam hening, aku bergegas menuju ke kamar mandi. Sungguh malu jika harus menjadi bahan perhatian penumpang lain karena mata merah akibat tangisan. Tak lama aku pun tertidur pulas dan terbangun kala pramugari memintaku untuk bangun dan menegakkan sandaran kursiku. Entah kesekian kalinya, aku kembali teringat masa-masa kita dulu, Anarki.
Hampir lima jam kami dibuat kering. Matahari siang tidak pernah bersahabat di sepanjang jalan pusat kota ini. Gedung-gedung pencakar langit tengah berdiri dengan angkuhnya membuat kami tampak kecil, tak terlihat di hadapan para tikus berdasi. Ia bersinar sangat terik dan membuatku berkali-kali menyapukan butir keringat di pelipisku.
Sorak sorai teriakan “Hidup Mahasiswa!” menggema dalam lautan manusia kini. Lagu-lagu penuh harap kian aku kumandangkan bersama ribuan massa aksi yang berasal dari sabang sampai marauke. Jelas sekali terdengar di telingaku, semangat orator yang menggebu-gebu menyampaikan orasinya di atas mobil sound. Iya, inilah aktivitas yang kerap kali menemani hari-hari temanku, Nala Anarki di dunia perkuliahan. Lantas, bagaimana denganku? Ini adalah momentum pertama yang aku ikuti. Langkah pembuktianku pada Anarki bahwa aku bukan hanya mahasiswa Kupu-kupu (Kuliah Pulang Kuliah Pulang) yang eksistensinya tak jauh dari rute kampus dan rumah, hanya itu. Dan pengalaman ini yang semakin membuatku merutuki kelakuan Anarki. Tak habis pikir, apa enaknya menjadi seorang aktivis kampus, huh? Aku bersumpah tak akan sudi untuk kembali lagi merasakan panasnya aspal ibukota seperti ini.
“Gila! Gerah banget nih, Nal. Siang bolong begini di depan istana negara, panas-panasan, desak-desakan pula. Buat apa sih? Toh yang kita tuntut, engga juga menampakkan dirinya kan,” cecarku padanya menyuarakan kekesalan diriku.
“Ini baru namanya mahasiswa, Na. Mengaplikasikan pribadi kita menjadi seorang agent of change. Ini udah tugas kita loh untuk tidak apatis dan tetap mengkontrol pemerintah yang kian hari kian bobrok ini,” ucapmu kala itu dengan semangat empat puluh lima.
“Ikut konferensi, bikin paper, diskusi, dan lainnya kan juga aktivitas mahasiswa, Ki. Bukan hanya aksi kok satu-satunya cara untuk berbakti pada ibu pertiwi.”
“Iya, itu betul. Aku jelas sependapat padamu. Tapi coba kau bayangkan, jika semuanya hanya menjadi orang di balik layar, lantas siapa yang akan menjadi pionir di bidak catur dan maju melangkah menumbangkan lawan?” tuntutmu waktu itu tak mau kalah berargumen denganku.
Aku menyerah. Selalu saja, tiap kali berselisih paham denganmu, kamulah yang akan selalu menang mempertahankan pendapatmu dan bibirku hanya mampu membisu, membenarkan kata-katamu di dalam hati. Dan sama seperti saat ini, Ki. Saat pramugari meminta perhatian para penumpang, memberi pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat, namamu tak pernah enyah dari pikiranku. Aku rindu kamu, Ki. Aku ingin kesalahpahaman kita segera berakhir.
“Bagaimanapun aku menyerang semua argumenmu, pasti bakal aku lagi yang kalah nih,” ucapku seraya mengekspresikan wajah kesal.
“Ayo dong, tunjukin ke aku mana argument balasanmu. Ilmu apa aja yang udah kamu dapat di bangku kuliah selama ini, huh?” ejekmu.
“Aku capek berdebat denganmu. Intinya aku engga akan mau lagi demo-demoan lagi. Terserah kalau kamu mau berkata aku apatis atau apalah. Itu jalanmu bukan jalanku,” kutinggikan intonasi suaraku hingga anak-anak lain di kantin waktu itu menoleh pada kita.
“Jadi, sekarang kamu mau sendiri-sendiri gini? Engga mau bantu aku lagi buat nyiapin segalah tetek bengek properti aksi lagi. Kamu juga engga mau koreksi lagi naskah orasi yang udah aku buat?” tanyamu dengan wajah sendu.
“Iya, aku engga mau. Apa gunanya juga buat aku? Kamu terlalu keras kepala. Aku pergi,” aku pergi meninggalkanmu sendirian.
“Okay, fine. Kalau itu mau kamu, aku engga akan minta bantuanmu lagi. Urusin aja tuh kertas-kertas penelitianmu yang lebih berharga daripada aku, te-man-mu,” kau balik meneriaki kepergianmu.
Arghhh, ini adalah pertengkaran terlama kita. Sudah sebulan lamanya kita enggan tuk berbagi cerita ataupun sekedar menyapa. Eksistensimu yang kini lenyap, begitu aku rindukan, Ki. Dan pesanmu saat ini memberikan jawaban yang selama ini aku nanti.
I miss you. Maafkan aku, Na. Aku egois. 1 minggu lagi setelah kamu balik ke Indonesia, kamu traktir aku ya? Safe flight, please. –Anarki.
Firasat burukku sungguh menjadi nyata. Hal yang aku takutkan terjadi. Pesawat tiba-tiba berguncang dengan hebatnya. Masker oksigen telah dijatuhkan. Dengan masker di hidungku, air mata meluluh jatuh membanjiri pipiku. Tidak semua yang manusia harapkan akan menjadi kenyataan bukan? Tidak semua rencana akan terealisasi bukan? Kini, aku tengah berdoa. Aku menunggu waktu itu. Aku ingin cepat balik ke ibu pertiwi, Ki. Tapi aku takut, apakah akan nada waktu? Apakah kita akan dapat bertemu lagi, satu minggu lagi?
Oleh: Siska Rahmiati
Tulisan ini dipersembahkan untuk Pesta Literasi 2017 yang diselenggarakan oleh UNJKita.