Menatapmu wahai yang bermata jeli
Menjadi air yang menghujani keringnya jiwa ini
Memandangmu wahai yang senyumnya bak mutiara terangkai
Menjadi udara segar bagi hati yang penuh akan polusi

Bukannya aku sombong wahai ukhti
tapi ada kekuatan lain yang memalingkan
wajahku saat ingin memandangmu dalam

Bukannya aku tak sanggup bergurau merayu padamu
tapi lidah ini tertahan oleh rasa “cinta”
yang mendominasi dalam qolbu

Begitulah bait-bait syair yang ditulis oleh seorang pemuda ketika saat diserang oleh “penyakit” kerinduan. Mungkin itu adalah salah satu dari puluhan puisi yang ditulisnya saat dirundung asmara kepada seorang yang dipujanya. Tiap kali ia berusaha menepis bayangan sosok pujaannya yang menghantui pikiranya itu, tetap saja muncul seperti sediakala bahkan lebih agresif menggodanya.

Itulah yang (mungkin) dirasakan oleh seseorang (khususnya pemuda) saat dirinya mengagumi sosok yang menawan hatinya. Hampir-hampir mereka yang terserang “penyakit” ini merasa dirinya seperti orang gila atau bahkan orang yang terkena sihir. Di salah satu syair Qais bin Mulawwih yang dikenal dengan Majnun Laila:

Mereka mengatakan:
“Kamu begitu tergila-gila
dengan wanita yang kamu cintai

Kujawab mereka:
Rindu memang lebih berat daripada penyakit gila.
Orang yang dilanda kerinduan tak dapat disadarkan
sepanjang tahun, tetapi orang tidak sadar
karena penyakit gila hanya memakan waktu sesaat.”

Kerinduan bisa dikategorikan “penyakit” manakala seseorang menjadi buta ketika melihat kekurangan seseorang yang dicintainya. Kerinduan yang tidak terkendali mempunyai konsekuensi yang lumayan menyakitkan. Kita harus bersiap dilanda kecemasan dan kegelisahan. Akal sehat pun tertutupi oleh angan-angan yang bukan-bukan. Maka tepatlah Plato mengatakan bahwa rindu merupakan aktivitas jiwa yang kosong. Sebagaimana penyair Majnun Laila di atas mengatakan :

Cinta kepadanya melanda diriku
sebelum aku mengenal cinta
Maka cinta pun menjumpai kalbu yang kosong
sehingga menguasainya

Maka seorang muslim yang sudah ngaji pasti langsung teringat di salah satu ayat di surat Al-Jumu’ah yang berbunyi “…Fadzkurullaha katsiron la’allakum tuflihuun”. Maka ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Karena sejatinya kalbu yang kosong adalah yang sepi dari dzikrullah.

Belajarlah Dari Kesucian Yusuf

Bukanlah seorang pemuda kalau tidak memiliki dorongan (syahwat). Bukanlah seorang pemuda kalau ia tidak memiliki hasrat kepada lawan jenis. Maka itulah yang terjadi pada diri seorang Yusuf ketika dijebak oleh permaisuri raja untuk berbuat serong. Bukankah sudah dijelaskan di kisah yang terbaik (Ahsanal Qoshoshi) dalam al-Quran bahwa ketika itu Nabi Yusuf telah berduaan di rumah sang permaisuri dan tidak ada seorang pun yang melihatnya. Tidak ada penghalang saat itu untuk “berbuat” dengan sang permaisuri.

Bahkan sangat banyak faktor yang akhirnya “memaklumkan” seseorang untuk melakukan serong yang terjadi pada diri Yusuf. Permaisuri raja yang pastinya memiliki paras yang cantik, mungkin saja kecantikannya bertambah ketika itu saat melancarkan “aksinya”. Perlu diingiat pula, saat itu yang sangat berhasrat untuk “berbuat” adalah sang permaisuri. Semua pintu rumah pun dikuncinya supaya tidak ada orang yang memergoki. Maka telah hilang beberapa penghalang untuk Yusuf menerima tawaran dari sang permaisuri.

Belum lagi kalau kita kaji dari perspektif Yusuf. Dia adalah seorang pemuda, yang pastinya memiliki hasrat juga kepada lawan jenis. Dia adalah seorang budak (ketika itu), yang tidak perlu pusing memelihara nama baik dirinya, berbeda dengan orang merdeka. Dia berada jauh dari kampung halamannya, yang tidak perlu malu jika diketahui oleh keluarga dan kerabatnya. Lalu bagaimanakah kalau sekiranya ujian ini diberikan kepada pemuda selain Yusuf pada saat itu, mungkin ceritanya akan berbeda sekali.

Walaupun dikatakan pada kisah ini sesungguhnya Yusuf pun berhasrat melakukannya dengan wanita itu, maka ada dua pendapat mengenai ini. Pertama, Yusuf tidak mempunyai hasrat setelah melihat bukti kekuasaan Tuhannya. Seandainya tidak ada itu, maka Yusuf pun berhasrat melakukan itu. Kedua, hasrat Yusuf bersifat sepintas, lalu dia melupakannya karena Allah. Oleh karena itu, Allah memberinya pahala yang besar. Berbeda dengan sang permaisuri yang begitu menggebu-gebu dan berusaha untuk melampiaskannya namun tidak kesampaian.

Maka kita yang secara level keimanan sangat jauh di bawah Yusuf setidaknya bisa lebih mawas diri terhadap fitnah semacam ini. Jangan sampai terkena “jebakan” seperti yang dialami Nabi Yusuf. Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Yusuf tentang betapa besarnya fitnah Ikhtilath (berduaan) dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Apalagi dengan begitu banyak kesempatan yang ada untuk seorang aktivis dakwah, seperti ngobrol dengan suasana yang cair di Sosmed atau lebih parahnya di dunia nyata.

Karena tidak menutup kemungkinan kisah sang permaisuri yang menggoda Yusuf, melampiaskannya setelah memendam rindu yang begitu lama. Hingga menemukan celah kosong untuk berbuat serong di rumahnya. Ketampanan Yusuf yang dikatakan dapat membuat para wanita haidh, terang saja membuat sang permaisuri gelisah karena dorongan jiwanya begitu besar.

Ikhtitam

Setiap penyakit ada obatnya, dan obat paling mujarab bagi dua orang yang sedang dimabuk cinta adalah menikah. Jika dirasa belum mampu, maka puasa, menjaga pandangan dan adab pergaulan menjadi alat untuk menghindari fitnah itu. Semoga Allah selalu menetapkan hati-hati kita di dalam ketaatan kepada-Nya.

Maraji’: Taman Jatuh Cinta & Rekreasi Orang-orang Dimabuk Rindu, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Irsyad Baitus Salam

 

Oleh : Muhammad Rahmat Ramadhani

Categorized in: