Mahasiswa Kupu-kupu. Pernah mendengar sebutan itu? Yaa, gelar mahasiswa kupu-kupu acap kali terdengar di kalangan mahasiswa. Generasi yang diharapkan mampu menciptakan transformasi kemajuan negeri. Label ini kian melekat bagi mereka yang ‘terlihat’ betah dengan rumah atau kost. Setiap usai kuliah,….ngobrol sedikit dekan kawan dan tak lama menancapkan gas kendaraan.
Lantas..apa yang sebenarnya yang kupu-kupu ini lakukan selesai kuliah? Betapa buruknya aktivitas mereka di luar kampus? Apakah tak ada hal yang bermanfaat mereka lalukan di kampus, ikut bem atau semacamnya? Sepertinya labeling ini telah menutup cara berpikir mahasiswa yang gemar memperkosa rekannya dengan sebutan itu.
Pernahkah kita membuntuti dari parkiran kampus hingga tempat tujuan si kupu-kupu ini berada? Jika tidak pernah, yuk kita mengintip aktivitas mereka yang ga betah di kampus.
1. Mencari biaya kuliah sendiri
Jika ada sebagian mahasiswa yang bisa duduk tenang menjelang pembayaran Uang Kuliah Tunggal, beruntung karena kemapanan orangtuanya, atau bisa memperoleh beasiswa. Lain halnya dengan rekan kita yang memilih mencari penghidupan secara mandiri. Mungkin karena merantau jauh dari orangtua, serta tidak memiliki sanak saudara. Tak percaya? Coba sesekali kita antarkan si kupu-kupu ini ke tempatnya menghisap nektar.
2. Punya tanggung jawab besar di masyarakat
Mahasiswa kupu-kupu, ya kita hanya mengenalnya di lingkungan kampus. Sudah berapa lama kita mengenalnya? Apakah kita tahu status sebenarnya dia di masyarakat? Salah satu ciri pelajar tingkat tinggi ini adalah kultur akademik dan penelitian ilmiah. Tak sedikit mahasiswa yang jenuh dengan asupan teoritis di bangku kuliah, mereka menerapkannya langsung terjun ke pengabdian masyarakat. Baik berupa karangtaruna maupun aktivitas kemasyarakatan lainnya. Tak percaya? Coba sesekali kita ikuti si kupu-kupu ini ke taman bunga.
3. Organisasi Intra no, organisasi Ekstra yes
Mengapa mereka tidak ikut kegiatan kampus, bem, atau organisasi internal semacamnya? Ini kan salah satu bentuk wadah belajar mahasiswa sebagai agent of change. Dasar mahasiswa apatis, beda sama kita yang aktivis. Begitu yang pernah kalian pikirkan? Entahlah.. mungkin rational choice si kupu-kupu ini menganggap organisasi internal sudah umum pola gerakan dan peta politiknya. Ia ingin mengepakan sayapnya lebih lebar dan terbang jauh lebih tinggi lagi dibanding yang lainnya. Organisasi ektrakampus, ya itu pilihannya. HMI, PMII, KAMMI, GMKI, dan lain sebagainya. Jika kita hanya bergulat dengan wajah yang sama dalam satu Universitas, mereka lebih jauh bermain dengan organisasi mahasiswa yang punya jaringan se Indonesia. Tak percaya? Mungkin kita terlalu bangga dan nyaman dengan organisasi intra
4. Membantu orangtua di rumah
Patut bersyukur bagi kita yang masih memiliki kedua orangtua secara utuh, sehat sentosa, dan segar bugar. Tapi satu hal, kondisi ini jangan menjadi sudut pandang sentral kita. Si kupu-kupu yang kita lihat dengan mata, tentang ketidakbetahannya berada di kampus, mungkin yang kita lihat hanyalah bayangan. Dapatkah kita melihat di balik langkah kakinya yang begitu cepat berjalan ke rumah? Ada dua pilihan, atau bahkan lebih di dalam pikirannya. 1. Membantu orang tua yang sedang membutuhkan. 2. Memainkan peran ‘aktivis mahasiswa’ di panggung pertunjukan.
Yang kita lihat dengan mata apakah kenyataan, atau bahkan hanya bayangan seperti mitos gua Plato? Ibnu Khaldun berpesan dalam Muqaddimahnya, “kedunguan adalah hasil sifat tidak perasa.”
Lebih baik kah kita ketimbang si kupu-kupu?
Oleh: Fatoni Ihsan