Saat ini, umat manusia dihadapkan pada dunia yang serba digital. Pada era ini, segala informasi tersimpan secara digital yang dapat diakses dengan bantuan jaringan internet. Di Indonesia sendiri, sebuah penelitian (APJII, 2016)menemukan bahwa jumlah pengguna internet telah mencapai angka 132.7 juta orang dari 256.2 juta penduduk di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia sudah menginjak persentase yang melebih setengah dari jumlah penduduk Indonesia seluruhnya yakni 51.8%.
Digitalisasi dalam bentuk informasi literasi seperti yang terjadi saat ini sebenarnya mendorong percepatan informasi yang dapat diakses oleh pencari informasi. Namun di sisi lain, terdapat hal-hal negatif yang juga tidak dapat dihindari. Terutama ketika jumlah penyedia informasi dan informasi yang kemudian terekam dalam jaringan internet sudah melebihi kapasitas yang normal. Sebuah penelitian yang dicatat oleh James (2014) dan Internet Live Stats menyebutkan bahwa banyaknya informasi yang beredar di internet sudah mencapai angka yang sangat fantastis sehingga masuk dalam kategori kelebihan informasi (Information Overload).
Penyimpangan fungsi Internet juga menjadi hal yang memberikan poin negatif di era digitalisasi ini. Tingat adiksi atau kecanduan pada penggunaan Internet terutama media sosial, serta kasus-kasus turunan lainnya seperti adanya pelanggaran privasi sampai ke berita-berita hoax. Tak hanya itu, proses penyebaran informasi yang begitu cepat dan luas menyebabkan realita terkesan bias sehingga lagi-lagi para pencari informasi akan kesulitan untuk mendapat informasi yang mutakhir.
Namun bila kita meninjau lebih jauh, berbagai kasus penyimpangan di dunia digital khususnya yang terjadi di Indonesia ini didasari oleh minimnya literasi digital umat saat ini. Hipotesanya ialah apabila umat terbekali oleh literasi digital yang cukup, maka mereka tidak akan mudah terprovokasi terhadap segala informasi yang tersebar pada gawai mereka. Bahkan, apabila umat benar-benar sudah tercerdaskan oleh edukasi mengenai literasi digital, maka mereka tidak hanya akan cerdas dalam memilah secara selektif setiap berita yang masuk, namun juga akan menjadi para pennyedia informasi digital yang mampu menetralisir hoax di Internet.
Kembali pada pembahasan di muka, sebenarnya Al-Qur’an sebagai pandangan hidup umat muslim memiliki relevansi yang erat kaitannya dengan permasalahan literasi. Dalam Al-Qur’an sendiri, telah termkatub ayat-ayat tersurat maupu tersirat yang berisi anjuran maupun perintah untuk membudayakan literasi. Hal itu jelas dibuktikan dengan ayat pertama yang turun ialah “iqra’” yang kemudian kembali ditegaskan dengan surah Al-Qalam yang berarti “pena”. Hal ini mengidikasikan intruksi membaca dan menulis yang memiliki makna luas dan sebagai sentral dari proses tumbuh kembangnya sejarah keilmuan Islam.
Ghirrah budaya literasi pada masa keemasan Islam hendaknya kembali dimunculkan dengan penelitian pemaknaan lebih dalam terhadap ayat-ayat terkait literasi untuk diperbaharui maknanya sehingga mampu menjawab permasalahan literasi digital saat ini.
Menurut Ibnu Katsir, nun, hijaiyah pertama yang membuka Surah Al-Qalam artinya adalah ikan besar di dalam gelombang besar samudra. Ikan yang memikul tujuh lapis bumi, hal ini dikuatkan oleh Ibnu Abbas, Qatadah, dan Hasan. Dapat dilihat bahwa ikan yang dimaksud ialah ilmu, dalam mencari ilmu kita memerlukan tahapan-tahapan yang digunakan untuk mencapai ilmu tersebut.
Al-Qalam, salah satu surah dalam Al-Qur’an yang kental dengan perintah dan motivasi untuk membudayakan literasi—terbukti dengan ayat pertamanya “nuun. Wal qalami wamaa yasturuun..”—kiranya dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan era digital. Yaitu, dengan melakukan pemaknaan lebih dalam dari surah Al-Qalam dengan mencari nilai yang dapat implementatif terhadap permasalahan kontemporer tersebut.
Maka Sadarkah kita bahwa semua permasalahan duniawi sejatinya telah dibahas dalam Al-Qur’an? Kitab suci umat Islam itu mungkin tidak selalu secara gamblang membahas sebuah kasus per kasus serupa yang terjadi di era ini. Namun, bukan berarti Al-Qur’an benar-benar tak pernah membahasnya.
Kalau kamu belum juga berhasil menemukan jawaban atas apa yang kamu cari, mungkin kamu hanya membaca Al-Qur’an tanpa memaknainya. Abudin Nata dalam bukunya yang berjudul “Studi Islam Komperehensif” juga menegaskan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat konstruksi nilai-nilai, petunjuk hidup, dan segala hal yang mencakup bahan-bahan yang dapat membangun ajaran Islam. Maka peran Al-Qur’an ialah menjadi sumber bahan bangunan yang tak pernah akan habis massanya. Meskipun ayat Al-Qur’an tetap, namun kandungannya dapat implementatif di masa terdahulu, sekarang, dan yang akan datang.
Hafshah Shafya
Prodi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Comments