Polusi merupakan pencemaran atau pengotoran[1]. Meliputi udara, air, dan tanah. Namun penulis mengungkapkan kata polusi ini hanya sebagai kiasan supaya pembaca juga bertanya-tanya apa maksud dari judul “Polusi Suara Mengepung Meni” khususnya untuk masyarakat Universitas Negeri Jakarta.
Pada hakikatnya, sifat dari polusi adalah mengganggu. polusi ini dihasilkan dari suatu kegiatan yang diadakan tanpa memikirkan lingkungan sekitar. Bisa kita lihat ibu kota Jakarta kita yang tercinta ini. Semua gangguan alam yang kita rasakan merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan manusia yang tak memikirkan dampak yang dihasilkan. Pabrik, asap kendaraan, sampah dan sebagainya. begitu pun dengan polusi suara. Di mana suatu kegiatan yang diselenggarakan tidak pada waktu yang tepat menghasilkan suara yang dapat mengganggu orang-orang disekeliling.
Sungguh fenomena yang membuat mata terbelalak, membuat kita tak habis pikir, dan akan membuat kita geleng-geleng kepala. Di Universitas Negeri Jakarta, tepatnya Masjid Nurul Irfan. Saat itu menjelang waktu sholat isya. Waktu itu, lapangan di kampus A dipenuhi gema sorak-sorak para supporter lomba futsal yang diadakan oleh jurusan X (tidak saya sebutkan). Lalu satu lagi acara yang tidak kalah gemuruhnya yakni di lapangan Terbuk, acara musik yang diadakan oleh salah satu organisasi internal UNJ.
Kedua acara tersebut saling mengadu suara satu sama lain. Semuanya begitu kentara dan jelas terdengar dari ruangan ibadah utama Masjid Nurul Irfan. Dari kedua acara tersebut saling menggaungkan suaranya satu sama lain. Seakan-akan menciptakan pertarungan dalam pendengaran tiap jamaah masjid.
Akhirnya tibalah waktu solat. Jam masjid berbunyi. Saya pun adzan. Dalam hati saya berharap ketika adzan dikumandangkan mereka mengerti dan paham bahwa kinilah waktu mereka berhenti sejenak. Tapi, semuanya di luar ekspetasi saya! Mereka terus menggaung-gaungkan kebisingan disaat adzan dikumandangkan. Adzan, merupakan kalimat panggilan yang paling baik di antara semua panggilan. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah menegaskan dalam sabdanya:
Dari abu hurairah radiallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihu wa sallam bersabda “Apabila dikumandangkan seruan untuk sholat, setan pun pergi sambil terkentut-kentut sampai ia tidak mendengar adzan. Apabila adzan telah selesai maka ia ia kembali, jika diulangi seruan sholat (iqomah), setan pun pergi lagi. Setan pun kembali lagi ia membisikki ke dalam hati seseorang, setan berkata “ingat ini, ingat itu” yang hal tersebut tidak teringat sebelumnya, sampai seseorang tidak sadar sudah berapa rakaat dia sholat” (HR. Bukhari: 608, Al-Fath: 2/108-112)[2]
Namun, ditengah kumandang adzan, mereka tetap tidak mau berhenti sejenak sekedar untuk menghormati. Dalam benak saya, yang terjadi saat itu bagaikan sebuah pertarungan yang hebat. Tidak ada yang berlebihan mengenai ini. Bagaimana tidak? Satu suara adzan dikeroyok oleh dua kebisingan sekaligus. Akhirnya setelah adzan secara tegas saya sampaikan dengan pengeras suara masjid “Bagi civitas akademika UNJ diharap untuk memberhentikan sejenak acaranya. Karena waktu sholat isya berjamaah akan segera dimulai”
Dengan peringatan yang saya layangkan lewat pengeras suara masjid yang lumayan terdengar sampai lapangan pun mereka masih saja tetap kukuh menjalankan acara mereka masing-masing. Saya pun berusaha untuk bersabar. “Semoga saja ketika iqomah dikumandangkan mereka bisa berhenti sejenak” ujar saya dalam hati.
Waktu iqomah pun tiba. Dengan sigap saya pun langsung mengumandangkan iqomah dengan agak lebih keras supaya benar-benar terdengar oleh mereka bahwa waktu sholat isya berjamaah akan dimulai. Tapi, lagi-lagi. Ekspetasi saya meleset. Mereka tetap asyik dengan acara mereka sendiri. Terus menerus menggaungkan kebisingan ditengah sholat berjamaah. Namun yang anehnya adalah, ketika sholat isya berjamaah sudah selesai mereka malah berhenti. Apa maksud dari semua ini?
Akhirnya, ba’da sholat isya, saya dan teman saya, Fauzi Ramadhan, mencoba mendatangi kedua tempat sumber kebisingan tersebut. “Mba maaf sebelumnya. kami dari DKM, tadi dengar suara adzan nggak mba?” Tanya fauzi. “iya denger kok mas” jawab salah seorang mahasiswi tersebut. “kalo denger kok nggak berhenti sebentar ya mba? Soalnya kan kami sholat butuh khusyuk, jadi tadi agak terganggu gitu jadinya” ujar fauzi. “ya, abis gimana ya mas. Soalnya pertandingannya udah terlanjur di mulai, jadi nggak bisa dipending” jawab mahasiswi.
Mendengar jawaban tersebut saya begitu tercengang. Dengan jujur dan tidak ada merasa bersalah sedikitpun dengan dalih “pertandingan terlanjur dimulai”. Saya rasa orang yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah pun bisa menggunakan akal sehatnya dan dapat membandingkan mana yang harus lebih dihormati dan dihargai. Ketika adzan dikumandangkan dan sholat berjamaah dimulai pasti tanpa perlu kita tahu dalilnya pun yang namanya orang yang sedang ibadah harus dihargai dan dihormati. Akhirnya saya tambahkan dan tegaskan “Ya sebenernya kalo pertandingannya sih nggak ganggu ya mba, tapi tolong lain kali nggak usah pake mic buat presenternya dan pendukung nggak usah sorak-sorak yang kenceng”. Akhirnya kami pun pergi dan mengunjungi lapangan Terbuk. Di sana ada semacam pertunjukan musik. Tapi yang satu ini saya akui memang lebih logis jawabannya. Dengan pertanyaan yang sama, jawaban singkat mereka, mereka mendengar suara adzan dan berhenti saat adzan, namun tidak berhenti ketika sholat dimulai, dan mereka pun mengakui kesalahan dengan meminta maaf.
Sebagai seorang muslim kita wajib menghargai hak-hak saudara kita. Apalagi dalam hal ibadah. Jangankan mengganggu orang yang sholat dengan suara musik atau sorak-sorak supporter futsal, bahkan mengganggu orang sholat dengan bacaan Al-Quran yang keras pun kita dilarang. Dalam suatu makna hadis disampaikan:
“Siapa diantara kalian yang membaca (Surat Sabbihisma Robbikal A’la di belakangku) ? Lantas ada seseorang yang menjawab, ‘Saya (namun saya tidak mengingankan/meniatkan dari hal itu kecuali kebaikan)’. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam pun bersabda, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa sebagian kalian telah menyelisihiku padanya”[3].
Para ulama mencoba mengungkap makna pengingkaran nabi yang terdapat dalam hadis tsb, salah satunya adalah ibnu taymiyah Ibnu Taimiyah Rohimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang membaca Al Qur’an sedangkan orang lain sedang sholat sunnah maka dia tidak boleh mengeraskan bacaannya (karena) hal itu akan mengganggu, membuat orang lain tersebut tidak khusyuk”.
Dipertegas lagi oleh Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin: “Sekelompok orang membaca Al-Quran dengan lantang di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Quran itu lebih utama (afdhal). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Quran itu menjadi makruh”.
Di akhir tulisan ini, inti yang ingin saya sampaikan ialah, bahwa kita sebagai manusia yang diberi akal oleh Allah ta’ala seharusnya kita mampu menimbang mana yang harus dihormati dan mana yang harus menghormati, Mana yang diprioritaskan dan mana yang bisa dinomorduakan. Kita adalah mahasiswa. Di dalam kelas kita mampu berargumen dengan lihainya dengan diksi-diksi yang cantik nan memesona. Seakan-akan melambangkan bahwa mahasiswa adalah puncak dari cara berpikir intelektual. Namun sayang, semua itu hanya sebagai pelepas dahaga pikiran kita di ruang kelas, tak kita bawa dalam cara kita ber-hablumminannas. Seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’i: “ilmu itu adalah yang diamalkan, bukan hanya yang bertengger di kepala”
Wallahu a’lam
[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/polusi[2] Imam Az-Zubaidi, Ringkasan Shahih Bukhari (tahqiq: Ahmad Ali Sulaiman), (Solo: Insan Kamil, 2016), h. 127
[3] HR. Bukhari – Muslim dari jalur periwayatan ‘Imron bin Hushoin Rodhiyallahu ‘anhu, (dalam sholat dzuhur)
Oleh: Tusmana
Comments