Dalam rangka menyesuaikan amanat Undang-Undang (UU PT) No. 12 Tahun 2012 tentang penetapan satuan biaya operasional perguruan tinggi dikeluarkanlah kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti). Dengan UKT, mahasiswa hanya membayar satu nilai yang sama per semesternya selama empat tahun.
UKT yang dimaksud sudah mencakup pembiayaan uang gedung, SPP, Sistem Kredit Semester (SKS), Kuliah Kerja Lapangan (KKL), bahkan wisuda. “Pemerintah berharap biaya yang ditanggung mahasiswa per semesternya lebih rendah dan mudah dikendalikan,” ujar Patdono Suwignyo, Sekretaris Jenderal Dikti. UKT juga disokong oleh subsidi pemerintah berupa Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).
Adanya penambahan golongan UKT ini tak lepas dari bertambahnya biaya operasional yang diemban kampus. Pembantu Rektor II UNJ, Komarudin mengamini kenaikan tersebut. UKT, yang awalnya sebagai gerakan penolong mahasiswa miskin untuk mengenyam pendidikan, nyatanya dalam perkembangannya malah membuat mahasiswa semakin tercekik. Jika dikalkulasikan, UKT lebih tinggi dari pembiayaan sebelum adanya UKT.
Masalah Lama Belum Selesai, Kini Muncul Masalah Baru.
Isu yang beredar di publik adalah pemerintah menurunkan anggaran pendidikan dan justru meningkatkan anggaran di bidang pertahanan dan infrastruktur. Lalu bangsa ini mau diarahkan sebagai bangsa yang mampu bertahan ataukah sebagai bangsa yang cerdas? Entahlah, namun pasti setiap kebijakan pasti telah diperhitunkan oleh ahlinya. Satu hal yang kami ketahui bersama, bahwa di negara maju anggaran pendidikan dan kesehatan sangat diperhatikan oleh pemerintah. Perubahan angaran pendidikan sangat memengaruhi banyak regulasi di instansi pendidikan yang salah satunya yaitu Perguruan Tinggi Negeri. Sistem pembiayaan di PTN sudah diatur sedemikian rupa dalam bentuk Uang Kuliah Tunggal yang menuai perbincangan hangat sejak mulai diberlakukanya. Istilah kampus kerakyatanpun makin jauh disandang oleh PTN yang makin kini makin naik biayanya bak kampus swasta. Lantas hal apa yang mendasari PTN dapat menjadi komersil bak kampus swasta yang seenaknya begitu saja melakukan pungutan pada mahasiswanya? Parahnya lagi mayoritas mahasiswa apalagi seorang aktivis BEM hanya tahu bahwa PTN tidak boleh memungut uang pangkal/pungutan lain selain UKT yang sudah ditetapkan diawal. Benarkah???

Permenristekdikti No.22 Tahun 2015 tentang BKT dan UKT
Kebijakan pemerintah terbaru tentang Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri. Dalam peraturan tersebut di pasal 8 memang dinyatakan bahwa PTN dilarang memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Sarjana dan Program Diploma menyatakan bahwa ”PTN dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT.
Namun hal ini justru berbanding terbalik dengan redaksi di pasal selanjutnya yakni pasal 9 yang menyebutkan bahwa PTN dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Sarjana dan Program Diploma dari mahasiswa baru program sarjana dan program diploma yang terdiri atas: mahasiswa asing; mahasiswa kelas internasional; mahasiswa yang melalui jalur kerja sama dan/atau; mahasiswa yang melalui jalur seleksi mandiri.
Artinya ada sebuah inkonsistensi regulasi disini, dimana pemerintah tidak memberikan kesempatan untuk keluarga berpenghasilan minimum yang masuk di jalur seleksi mandiri, namun memberlakukannya dengan sama rata. Dengan diberlakukan UKT saja banyak orang tua mahasiswa yang mengeluh karena UKT yang didapat tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya, Kemudian dengan peraturan menteri tersebut maka dari pihak Perguruan Tinggi Negeri banyak yang mengeluarkan kebijakan dengan menaikkan golongan UKT ataupun dengan memberlakukan sumbangan seperti Biaya Pengembangan Fasilitas Pendidikan pada seleksi jalur mandiri, yang akhirnya disamaratakan sebesar Rp 15.000.000 (Lima Belas Juta Rupiah) untuk semua program studi seperti yang terjadi dalam seleksi mandiri Penmaba UNJ.

Biaya Pengembangan Fasilitas Pendidikan sebesar 15 Juta Rupiah di Jalur Masuk Penmaba UNJ
Komersialisasi Pendidikan Makin Nyata Tampaknya
Pada Tahun 2016 Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) mengalami penurunan karena salah satu faktornya adalah banyaknya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri, sehingga dana BOPTN harus dibagi-bagi lagi. Sedangkan jumlah dana BOPTN tidak disesuaikan dengan pertambahan Universitas Negeri tersebut, sehingga dampaknya di Universitas adalah menaikkan golongan UKT ataupun menarik sumbangan. Salah satu cara pemerintah menanggulangi dampak dari kurangnya dana BOPTN adalah dengan kebijakan baru terkait kuota Beasisiwa Bidik Misi yang hanya dibatasi hanya 10%. Masalahnya dengan mengurangi kuota Bidik Misi akan menghasilkan masalah baru dilingkungan masyarakat seperti banyaknya masyarakat yang kurang mampu yang tidak akan kuliah karena memikirkan biaya kuliah yang akan mereka bayar.
Pendidikan bukanlah ladang untuk mencari uang dan orang tua mahasiswa bukanlah buruh tani yang selalu ditekan. Jika memang tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa maka seharunya pemerintah menyesuaikan jumlah PTN yang ada di Indonesia ataupun perubahan PTS menjadi PTN lebih diperketat lagi sehingga untuk selanjutnya PTS tidak terlalu mudah menjadi PTN yang nantinya berdampak pada BOPTN. Jika pengurangan dana BOPTN yang berdampak pada biaya kuliah mahasiswa dan yang menanggung itu adalah para orang tua mahasiswa, maka peran pemerintah patut untuk dipertanyakan. Kembalikan jiwa pendidikan sebagaimana mestinya untuk mencerdaskan bangsa tanpa menekan rakyat, karena komersialisasi pendidikan salah satu bentuk virus yang mulai meyerang negara kita dari dalam yang nantinya jika ini dibiarkan terus menerus maka akan menghancurkan bangsa Indonesia secara perlahan namun pasti akan terjadi.
Pendidikan memang bagian utama yang perlu dikembangkan di negara, namun juga harus mengutamakan rakyat. Melihat secara mendalam pendidikan pada masa sekarang memang sedikit menyedihkan, terlebih jika kita soroti di Perguruan Tinggi Negeri. Kebijakan pemerintah terkait PTN di Indonesia memang masih kurang tepat karena pada akhirnya kebijakan tersebut akan mempengaruhi dari kebijakan Universitas itu sendiri yang kemudian akan berdampak pada orang tua mahasiswa
Komersialisasi pendidikan tak berbeda dengan komersialisasi produk pertanian yang dihargai sesuai dengan demand dan perkembangan pasar. Komersialisasi pendidikan ini yang akhirnya menjadikan adanya gap yang jelas antara kaum berpunya dengan kaum jelata. Semakin tinggi biaya pendidikan dan minimnya anggaran dari pemerintah maka kesejahteraan rakyat akan sangat jauh digapai.