“Perempuan adalah tiang negara. Apabila perempuan itu baik, maka negara akan baik dan apabila perempuan itu rusak, maka negara akan rusak pula.”
Betapa besar makna dibalik kata-kata tersebut. Di mana perempuan telah dianggap sebagai tolok ukur dari kebaikan sebuah negara. Secara sederhana dapat diartikan bahwa perempuan telah menjadi faktor yang sangat penting dalam keberlangsungan, bahkan masa depan negara itu sendiri.
Mencoba memahami kalimat-kalimat tersebut, apa sebenarnya yang dapat membuat perempuan begitu penting dalam masyarakat maupun kehidupan bernegara?
Melihat dari segi potensi fitrahnya, perempuan setelah dewasa akan menikah, kemudian mempunyai anak. Ketika ia mendidik anaknya, secara otomatis ia akan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter dan pendeteksian minat serta bakat yang dimiliki oleh anak tersebut.
Pola demikian berlaku bagi seluruh perempuan di muka bumi. Satu perempuan berhasil mendidik anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan, kemudian disusul oleh perempuan lainnya sehingga ketika seluruh perempuan berhasil mendidik anak-anaknya, akan muncul generasi emas hasil didikan dan peran dari perempuan itu sendiri. Sampai di sini perkataan yang menyebutkan bahwa perempuan merupakan tolok ukur negara sangat dapat diterima oleh akal.
Dalam pemahaman yang terbuka, seharusnya setiap orang dapat sepakat dengan konsep tersebut. Sejak awal memang perempuan telah memegang peranan penting. Bertolak belakang dengan hal tersebut, filsuf-filsuf dari barat memiliki pemahaman yang berbeda. Seperti Plato. Ia pernah mengemukakan bahwa perempuan sama dengan binatang, sehingga tak perlu berpendidikan. Pun dengan Thomas Aquinas yang mengatakan perempuan sebagai defect male, sebenarnya bukan ciptaan dari produksi pertama seperti halnya laiki-laki. Atau pendapat Baudrillard yang mengatakan bahwa perempuan sebenarnya adalah sebuah penampakan.
Beberapa pendapat tersebut tidak dapat dilihat sedikitpun objektivitasnya dan tidak menggambarkan kebenaran atau kebijaksanaan sebagaimana yang selalu dicari atau dielu-elu kan oleh para filsuf. Karena hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tanggapan yang sinis dan keinginan satu golongan berada di atas golongan yang lain. Ketidakadilan dalam segi berpendapat atau menilai suatu hal, terlebih perempuan sebagai makhluk hidup dengan peranannya yang tentu menimbulkan perlawanan atas dasar hal yang tidak benar.
Perempuan di dunia terlahir sebagai manusia yang seutuhnya. Memiliki perasaan, memiliki keinginan untuk mengetahui banyak hal, memiliki keinginan untuk membentuk kehidupannya sendiri, dan akan berjalan seperti fitrahnya. Secara biologis, perempuan memiliki rahim untuk mengandung. Ketika janin berada di dalamnya melalui waktu normal sekitar sembilan bulan 10 hari, bayi akan lahir. Kehidupan baru di mulai. Sebagai seorang ibu, pengalamannya akan senantiasa berlanjut. Demikian seterusnya. Peran sebagai seorang ibu tentunya terlepas dari segi profesi atau kekuasaan di bidang lain. Ini hanya sebagai fitrah alami seorang perempuan. Terlepas dari minat dan bakat yang perempuan miliki.
Jika para filsuf barat telah salah mendefinisikan, bahkan berani menilai bagaimana arti seorang perempuan dari sudut pandang mereka yang sama sekali tidak menghargai, maka wajar ketidakadilan merajalela. Karena dasarnya tidak ada keinginan untuk mengakui bahwa perempuan adalah bagian terpenting bagi kehidupan mereka. Pun ketika mereka hebat memberikan penilaian, sejatinya mereka tetaplah terlahir dari rahim seorang perempuan. Ketika Plato mengakui bahwa perempuan hanya seperti binatang, secara otomatis berlaku konsep bahwa Plato lahir dari seorang binatang.
Maka, apakah bisa manusia dengan pemikiran bijak dan titel filsufnya terlahir dari seekor binatang? Sehingga jika ia memegang teguh penilaiannya yang demikian, maka tak ada beda bahwa ia anak binatang.
Jika kita berkiblat pada peradaban yang tidak memahami keadilan, tentu tidak akan mungkin kita mendapatkan keadilan itu sendiri. Dalam pemahaman Islam, seorang perempuan yang solihah (baik) merupakan sebaik-baik perhiasan. Sebagaimana yang kita ketahui, sifat perhiasan adalah indah, menyenangkan, bernilai, dan seseorang tidak mudah memilikinya. Pun ketika dimiliki pasti akan dijaga dengan sangat baik. Demikianlah perempuan. Konsep dasar ini bukan hanya pemanis bagai siklamat. Namun memang demikian. Peradaban Islam telah mencatat bagaimana pendapat perempuan dihargai, bahkan pendapatnya dijadikan dasar pengambilan keputusan. Atau kesedihan seorang perempuan menjadi sebab wahyu turun.
Peradaban Islam telah mencatat bagaimana pendapat perempuan dihargai, bahkan pendapatnya dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Bukan omong kosong, Khadijah Binti Khuwailid ra. merupakan seorang bangsawan Quraisy yang berprofesi sebagai entrepreneur yang sangat sukses dan kaya-raya. Di mana beliau mengatur perdagangan internasional dari Makkah ke Damaskus dan sekitarnya. Contoh ini merupakan kebebasan berprofesi dalam islam. Bahkan setelah menikah dengan Muhammad, Rasulullah saw ia tetap melanjutkan kegiatan usahanya dibantu oleh sang suami. Kemudian Ummu Salamah, pernah melihat bahwa terdapat indikasi ketidakpatuhan para sahabat karena kecewa pada keputusan Muhammad Rasulullah saw atas perjanjian hudaibiyah, lantas Ummu Salamah memberikan saran kepada Rasulullah untuk segera memberikan contoh tanpa berkata sedikitpun. Rasulullah saw menerima dan melaksanakan pendapatnya. Sungguh banyak tokoh dan kisah menarik lainnya yang membuktikan bahwa dihadapan Islam, perempuan memiliki keunggulannya tersendiri.
Kemudian jika kita mengetahui, sejatinya konsep dasar islam tidak sedikitpun meninggikan salah satu gender atau mengatakan bahwa gender laki-laki lebih baik dari perempuan, pun sebaliknya. Namun yang disampaikan adalah jika seseorang mengerjakan kebaikan baik laki-laki atau perempuan maka akan mendapat kehidupan yang baik dan balasan yang lebih baik. Dapat dibuktikan dengan:
“Barang siapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. An-Nahl: 97)
Mempercayai adanya wahyu maupun firman adalah sesuatu hal yang penting. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh sang pencipta. Manusia (termasuk di dalamnya perempuan) tidak lahir dengan sendirinya. Proses ilmiah yang dipahami seperti sperma yang masuk ke dalam rahim akan menjadi janin dan setelah kurun waktu tertentu akan lahir memang benar.
Namun siapa yang mengatur proses ilmiah tersebut dengan prosedur tanpa cacat sehingga bisa terjadi proses hamil dan melahirkan? Itulah salah satu kekuasaan Allah sebagai pencipta.
Perlu diketahui pula bahwa Ia tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin, pun dengan kecenderungan gendernya. Namun Allah mengatakan bahwa yang membedakan adalah takwanya. Dapat dibuktikan dengan:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”.
Sebenarnya tidak ada larangan atau pembatasan yang menyebutkan bahwa peran seorang perempuan hanya sebatas pada mengurus rumah tangga.
Sebenarnya tidak ada larangan atau pembatasan yang menyebutkan bahwa peran seorang perempuan hanya sebatas pada mengurus rumah tangga. Pokoknya adalah ia dapat bertakwa dan tidak mengerjakan hal-hal yang mendatangkan keburukan, maka itu baik baginya. Namun bagi perempuan yang hanya ingin fokus pada orientasi pengembangan peradadaban dengan membentuk keluarga dan anak-anaknya itu juga baik baginya.
Bercerita tentang kondisi di Indonesia, beberapa tahun belakangan, paham kesetaraan gender sangat marak. Terlebih baru-baru ini, tepatnya Sabtu, 03 Maret 2018 telah berlangsung Women’s March Jakarta. Sebagaimana yang diketahui, aksi tersebut merupakan aksi yang dipersiapkan menuju Women International Day atau Hari Perempuan Internasional yang akan jatuh pada 08 Maret 2018 esok.
Aksi Sabtu lalu memiliki delapan poin tuntutan, seperti Menghapus Kebijakan Diskriminatif, Pengesahan berbagai hukum dan kebijakan, Menjamin dan menyediakan akses keadilan dan pemulihan dan korban kekerasan, Menghentikan intervensi negara terhadap tubuh, Menghapus stigma dan diskriminasi berbasis gender, Menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender, Mengajak masyarakat untuk tidak melakukan praktik kekerasan, dan Menyelesaikan kekerasan berbasis gender.
Keinginan yang kuat untuk memiliki hak yang sama dengan laki-laki sebenarnya memunculkan pertanyaan besar. Seperti yang telah dibahas, bahwa terdapat beberapa konsep pemikiran yang menilai eksistensi dari perempuan. Dua blok yang sangat menonjol adalah paham barat dengan filsufnya atau paham Islam. Sedangkan untuk menjadi lebih adil, Indonesia sendiri memiliki hukum dan dasar pemahaman berasas keadilan sebagaimana dalam pancasila. Lantas dasar mana yang dapat menyebabkan hak perempuan ingin disetarakan dengan laki-laki?
Jika muncul keinginan demikian, berarti terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang dianut adalah perempuan bernilai tidak sebaik dan berada di bawah laki-laki. Sehingga menaruh posisinya yang selalu di bawah. Sedangkan pernyataan demikian dapat disimpulkan sebagai efek bola salju dari para filsuf barat yang sama sekali tidak paham tentang konsep maupun peranan perempuan.
Menelisik poin tuntutan “Menghentikan intervensi negara terhadap tubuh”, fungsi negara adalah melindungi warga negaranya. Masuk pada dasar individual, perawatan tubuh dan penjagaannya akan ditumpukan pada sang pemilik, yaitu dirinya sendiri.
Jika terjadi kekerasan seksual, kejahatan pada perempuan bahkan pelecehan, apakah itu bagian dari kesalahan negara? Bisa jadi, jika ketika terjadi kasus demikian pemerintah sebagai pengelola negara diam saja. Maka pasti akan dikeluarkan undang-undang untuk melindungi segenap warganya. Namun coba dipahami kembali. Biasanya apa yang dapat menyebabkan terjadi pelecehan terutama pada perempuan?
Salah satunya adalah ketidakmampuan untuk menjaga dirinya dengan menampilkan bagian tubuh sehingga memicu orang lain untuk bertindak jahat pada orang tersebut merupakan kemungkinan yang masuk akal. Jika secara individu seseorang tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan mengenakan busana atau dengan berpenampilan yang menggoda, lantas siapa yang harus bertanggung jawab. Sehingga perndapat yang bijak adalah perempuan yang sangat berharga harus terlebih dahulu bertanggung jawab atas dirinya sebelum orang lain. Menghargai diri sendiri bisa dalam artian tidak sembarang orang dapat melihat keindahannya. Pun dapat menyentuhnya. Perempuan harus dapat memahami hal ini tentunya.
Kemudian sama halnya seperti perempuan yang beragam, demikian laki-laki. Tidak dapat dikatakan bahwa semua laki-laki lebih sukses dari perempuan. Banyak perempuan sukses dan berprestasi bahkan mengundang decak kagum. Karena mereka mempesona dengan caranya sendiri. Keinginan untuk disamaratakan dengan laki-laki bukannya justru dapat menurunkan citra perempuan yang baik?
Sampai disini pembaca dapat memahami bahwa pada dasarnya perempuan sudah mulia dengan fitrahnya. Ketika ingin memiliki kehidupan yang baik, tentu harus berusaha dan itu berlaku untuk seluruh manusia.
Jika terdapat perempuan yang menginginkan disetarakan gendernya dengan laki-laki, lantas apakah seluruh perempuan merasa demikian? Sehingga, ketika banyak kampanye yang menginginkan penyetaraan, lantas secara bersamaan bukankah itu merupakan sebuah pengakuan bahwa memang perempuan berada di bawah laki-laki?
Pemaknaan gender tidak dapat sembarang digeneralisir untuk kebaikan seluruh perempuan.
Pemaknaan gender tidak dapat sembarang digeneralisir untuk kebaikan seluruh perempuan. Makna kesempurnaan yang tidak dimiliki manusia akan dikembalikan pada konsep saling melengkapi agar mendekati kesempurnaan. Laki-laki tidak sempurna. Perempuan juga tidak sempurna. Ketika laki-laki dan perempuan bersama, maka akan semakin banyak kolaborasi yang akan tercipta, seperti lahirnya generasi baru. Ketidaksempurnaan laki-laki tidak akan bisa diselesaikan dengan sesama laki-laki. Demikian halnya perempuan. Ketidaksempurnaan perempuan tidak akan bisa diselesaikan dengan sesama perempuan. Karena sebagian yang tidak mereka miliki ada pada sebagian lainnya.
Semoga tulisan ini dapat dipahami dengan luas dan bermanfaat. Kesalahan tentu milik manusia, namun berpendapat adalah kebebasan yang dapat dinikmati dalam bernegara. Semoga kesejahteraan terlimpah kepada kalian
Sumber: