Aku adalah dia yang terduduk manis di setiap jalan kampus hijau dengan sekantong tissue digenggamanku. Kedua bola mataku melihat apa yang belum aku mengerti banyak orang yang berkumpul membentuk lingkaran berbicara lantang dengan genggaman semangat ditangannya. Mulutku tak berani merangkai kata menjadi sebuah kalimat untuk menanyakan, “ada apa disini?”. Tempat dimana aku menjajahkan itu tadi digenggamanku.
Penasaran tak berhenti sampai disitu karena aku masih mempunyai kedua telinga dan kedua bola mata yang masih berfungsi begitu jelas. Kupasang sedemikian rupa untuk memperhatikan dan mendengarnya. Belum lama ini aku melihat dan mendengarnya. Dengan bermodal jas hijau pekat, pengeras suara dan hak suara kakak-kakak dihadapanku bersuara mengemukakan pendapatnya. Tidak banyak memang yang ku mengerti namun keasikan untuk melihat dan mendengarnya menjadi penghibur tersendiri dikala penatku datang.
Aku pun sedikit demi sedikit mengetahui yang mereka bicarakan ternyata si kembar pencakar langit di samping kanan dan kiri ku belum sepenuhnya ditukar oleh lembaran benda seperti yang setiap hari ku hasilkan dari berjualan tissue. Aku pun berpikir, “Masih ada kah nanti jika aku sudah dewasa untuk menempatinya atau sudah tak ada lagi karena ditarik sang pemilik?”.
Entahlah terlalu dewasa pikiranku ini. Tidak sampai disitu yang dapat ku dengar ternyata ada beberapa si adik pencakar langit ini tak lagi terawat keadaannya mulai kusam tubuhnya mulai rapuh bisa saja mungkin tertiup angin langsung rata dengan tanah. Aku takut jika suatu saat diriku berada di dalamnya dan rata ikut bersamanya.
Tubuhku mulai ingin beranjak dari tempat yang terpijak oleh kedua kakiku, namun lagi-lagi seseorang dengan suara lantangnya menyuarakan hak-haknya membuat diri ini tetap manis terduduk dengan rasa penasaran yang masih terjaga. Kali ini yang terdengar adalah mereka yang mempunyai keterbatasan disabilitas, mereka tak dapat sepenuhnya mengenyam bangku di dalam ruang dingin dengan materi sebagai pengenyangnya karena keadaan kampus yang belum dapat mendukung keberadaan mereka.
Sungguh ingin sekali aku sumbangkan hasil daganganku untuk memenuhi kebutuhan mereka namun rasanya percuma saja tak sampai pada level cukup hasilnya. Dulu saat ku ingin meminta sesuatu dan dihadapkan suatu masalah aku selalu datang ke bapak untuk segera memenuhi dan menyelesaikannya. Namun, sekarang rasanya bapak ku sudah tidak ada, “Apa dia mengumpat di balik tempok besar?”. “Apa aku harus mendobraknya?”.
Mungkin saja akan ku lakukan dengan segenggam suara ku bagai palu besar sebagai alat untuk mendobraknya. Harapan dari si kecil mu ini hanya satu pak, keluarlah temui kakak-kakakku dan selesaikan, kemudian akan aku hadiahkan sebuah senyuman.
Oleh: Dinar Monita (BK UNJ Angkatan 2016)
Tulisan ini dipersembahkan untuk Pesta Literasi 2017 yang diselenggarakan oleh UNJKita.