Hujan turun di sore hari yang sebelumnya pada siang harinya sangat panas. Kejadian ini beberapa hari ini sering terjadi, siang panas lalu sorenya hujan deras. Dalam derasnya hujan, tiga orang terjebak dalam ruangan dan tidak bisa pulang. Sakti, Yusuf, dan Ferdy terjebak hujan di dalam ruang robotik ditemani barang-barang peralatan dan laptop masing-masing di depan mereka.
“Boy, lihat nih udah dibuka pendaftaran Kontes Robot Indonesia. Ikut ga nih?” Sakti menunjuk laptopnya dan memperlihatkannya ke Yusuf dan Ferdy.
“Wih boleh tuh. Ada berapa kategori sekarang ? Kita kan dulu ikut empat kategori walau kalah semua.” Yusuf menjawab dengan tetap fokus ke laptopnya.
“Masih sama ada lima kategori kayak tahun lalu. Tapi ada yang diganti nih. Diganti jadi Kontes Robot Sepak Bola Indonesia divisi beroda. Robot Pemadam Api beroda ga ada tahun ini.” Sakti menjawab.
Akhirnya tim robotika UNJ memutuskan untuk ikut dalam tiga kategori. Robot ABU, Robot Pemadam Api Berkaki dan Robot Seni Tari Indonesia. Karena kendala dana yang menghadang jadi diputuskan hanya tiga kategori. Dan diputuskan Sakti, Yusuf, dan Ferdy menjadi ketua tim masing-masing kategori. Masih ada waktu lima bulan sebelum kontes robot diadakan.
Masalah dana adalah masalah besar yang selalu menimpa ketika saat ini datang. Karena satu robot bisa menghabiskan dana minimal sepuluh juta rupiah. Itu semua untuk membeli material dan keperluan-keperluan yang dibutuhkan. Tentu ini membuat semua kebingungan. Dengan segala pemikiran dan otak yang bekerja keras mencari cara terbaik mengurangi pengeluaran yang ada.
Waktu terus berputar. Selain mengurusi kontes ini, ada juga tim robotik yang mengurusi bidang lainnya. Seperti ada proyek untuk membantu orang yang membutuhkan. Dan ada juga satu orang senior dari Sakti, Briyan yang tergabung juga di tim robotik dan akan mengikuti kompetisi Internasional untuk pertama kalinya dan itu waktunya satu minggu sebelum kontes diadakan. Hal ini tentunya akan makin membuat sulit tim yang akan berlomba karena berkurangnya tenaga yang dibutuhkan. Tim ABU yang diisi oleh Sakti dan dua seniornya, tim pemadam api diisi oleh Yusuf dan satu juniornya, serta tim Ferdy dan dua temannya yang masih harus semangat mempersiapkan semuanya.
“Gimana robotnya? Udah bisa jalan belum?” Suara dari dosen pembimbing yang tiba-tiba datang ke ruangan dan membuat kaget seisi ruang.
“Hmm ini pak duh gimana ya. Masih ada sedikit trouble. Ini ada yang rusak jadi ga bisa jalan robotnya pak.” Sakti menjawab.
“Haduh gimana sih? Serius ga nih? Serius mau menang ga ni? Kalau emang ga serius, mending tahun depan ga usah ikut lagi.” Nada pembimbing kami sedikit meninggi dengan tangannya bertumpu di pinggangnya .
Semua yang berada dalam ruangan terdiam tak ada suara. Tidak ada yang tahu harus berbuat apa. Waktu yang kurang satu bulan lagi yang tersisa dan robot juga belum beres justru bertambah masalah. Dengan wajah kecewanya, dosen pun meninggalkan ruangan. Setelah ditinggal, seluruh yang ada di ruangan merenung. Waktu yang sebentar lagi dan robot yang bermasalah terus-menerus menjadi hambatan bagi mereka.
“Gimana nih? Waktu udah dua minggu lagi. Tapi kita masih kayak gini aja. Kasihan dosen kita juga yang udah bantu kita ngurus sana-sini. Mulai dari dana yang memang tidak seberapa dan tempat kita untuk riset ini.” Sakti memecah kebisuan dalam ruangan.
“Iya benar. Selama ini kita kebanyakan main-main. Apa yang kita incar untuk ini? Mengincar trofi juara atau mengincar sertifikat yang didapat? Jika dalam hati kita hanya ingin mengincar sertifikat, hilangkan itu. Kita tidak pantas untuk ikut dalam kontes ini.” Yusuf berbicara sambil menundukkan kepalanya.
Semua orang yang ada di ruangan kembali termenung. Ada sepuluh orang di ruangan ini dan mereka memikirkan kata-kata Yusuf tadi. Apa mereka pantas berada di sini untuk kontes yang tinggal dua minggu lagi?
“Bangkit kawan. Masih ada waktu dua minggu. Bukan waktu tinggal dua minggu. Kita masih punya kesempatan. Masih ada. Ayo semangat lagi. Kita torehkan sejarah untuk tim robotika ini.” Sakti mencoba menyemangati teman-temannya.
Dalam waktu dua minggu semua yang terlibat dalam kontes ini melakukan hal yang terbaik dan mengorbankan segala yang mereka miliki. Mulai dari uang, waktu dan tenaga demi mencapai juara dan mengangkat trofi kemenangan. Di tengah-tengah perjuangan mereka, ada sebuah berita besar datang dari senior mereka yang berjuang di negeri jiran dalam lomba inovasi bersama teman-temannya dari fakultas lain.
“Ayo tim KRI dapatkan yang lebih dari ini di kontes robot Indonesia nanti.” Pesan yang dikirimkan dengan gambar medali perak yang didapatkannya di sana. Hal ini membuat semangat mereka terbakar kembali.
Dua hari sebelum kontes diadakan seluruh peserta harus sudah tiba di tempat kompetisi. Kompetisi pertama tingkat regional. Tim UNJ akan menghadapi kampus dari daerah Jawa Barat, Banten, dan sebagian Sulawesi. Seperti ITB, UI, PNJ, dan berbagai kampus dengan kemajuan teknologi di bidang robotikanya. Perjuangan berat menanti di depan.
Malam harinya, Sakti izin kepada yang lain untuk keluar menenangkan diri sebelum pertandingan. Ia memilih untuk pergi ke tempat makan dan duduk santai di sana. Sakti duduk di meja seorang diri dengan kepalanya bertumpu pada kedua tangannya yang saling mengenggam.
“Sakti? Betul kamu Sakti, kan?”
Sakti mengangkat kepalanya dan melihat ke arah sumber suara dengan mata yang sedikit sipit.
“Iya betul. Kamu siapa ya?” Sakti bertanya dengan tetap menatap ke arah wajahnya.
“Ini aku, Noer. Kita dulu satu SMA. Tapi mungkin kamu ga tahu siapa aku. Oh iya kamu ngapain disini?” Noer menjelaskan dengan posisi duduk di hadapan Sakti. Ia duduk tanpa seizin Sakti.
“Oh aku disini untuk kompetisi esok. Kebetulan aku ikut kontes robot Indonesia mewakili UNJ.” Minuman yang dipesan Sakti tiba saat ia menjelaskan.
“Wah sama dong. Aku juga ikut kontesnya esok dikategori robot ABU. Eh tapi setahu aku UNJ belum pernah menang lagi deh belakangan ini, ya kan?” Kali ini minuman Noer datang.
“Iya benar belakangan ini tidak pernah menang. Bahkan lolos ke tahap nasional pun tidak juga.” Sakti menjawab lalu mulai minum.
“Padahal kamu dulunya terkenal dengan kepintaranmu, rajin, dan dikenal baik oleh guru-guru. Tapi kamu memilih masuk UNJ. Siapa suruh kamu masuk UNJ ? Coba kamu masuk kampus lain yang lebih dari UNJ. Prestasi dibidang robotik akan banyak kau dapati dibanding UNJ yang lolos nasional pun tidak.” Selesai berbicara Noer pun mulai minum minumannya.
“Apa maksudmu? Masuk UNJ adalah pilihanku. Memang benar kami belum bisa memberi raihan prestasi. Tapi kami memberikan UNJ sesuatu hal yang lain. Kami memberikan pengabdian kami dengan membantu sesama. Kami di tim robotik membatu mengerjakan mesin pelontar bola sepak takraw untuk penelitian S2. Membantu teman-teman membuat gelas untuk tuna netra. Membantu teman-teman lainnya untuk men-servis barang-barang elektronik. Dan masih banyak lagi yang kami bantu.” Kini gelas minuman Sakti sudah berada di meja kembali.
“Hanya membantu saja? Apa kamu ga butuh prestasi? Untuk mengangkat nama baik komunitasmu dan juga kampus?” Kini gelas yang dipegang Noer juga sudah di meja kembali.
“Tentu prestasi memang penting. Satu keuntungan di UNJ kami tim robotik bisa mencatat sejarah dan membuat sejarah pertama kali berprestasi. Jika di univ lain hanya melanjutkan dan mempertahankan, maka kami disini membuat sejarah. Perlahan tapi pasti kami mulai berprestasi walau kecil-kecilan. Teman kami ada yang juara III pada lomba Line Follower Robot. Seniorku yang menjadi juara pada bidang desain aplikasi pada MTQ walau tingkat kampus dan juga meraih silver medal pada kompetisi inovasi di Malaysia dalam bidang pendidikan yang digabungkan dengan teknologi bersama dengan teman-temannya. Jadi inilah kami, membangun dari awal. Mencetak sejarah baru dan tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk kampus dalam hal prestasi ataupun pengabdian kami.” Sakti selesai berbicara dan makanan yang mereka berdua pesan pun tiba. Selama makan tidak ada suara berbincang yang terdengar dari mereka berdua.
Waktu kontes pun tiba. Semua peserta dari seluruh kampus yang hadir telah siap bertanding memperebutkan juara. Begitu pula Sakti dengan robot ABU-nya yang memiliki misi melempar chakram ke titik point. Yusuf dengan robot pemadam apinya yang harus mematikan api dalam teka-teki labirin yang menghadang. Serta Ferdy yang mengharuskan robotnya menari tarian ‘Gendhing Sriwijaya’ mengikuti irama musik.
Kini Sakti berhadapan dengan Noer yang baru dikenalnya semalam. Saling menatap dengan penuh semangat dan yakin akan menang. Sakti mengajukan salaman sebelum bertanding. Dan diterima oleh Noer. Dan kompetisi pun dimulai setelah ada bunyi gong dan penonton dalam ruangan bergemuruh.
Oleh: Briyan Priyo Saputro (Pendidikan Teknik Elektronika UNJ Angkatan 2013)
Tulisan ini dipersembahkan untuk Pesta Literasi 2017 yang diselenggarakan oleh UNJKita.