“Saya punya anggapan keren bahwa Self-publishing jalan tepat untuk buku pertama setiap penulis. Buku berikutnya terserah,” ungkap Tyo saat Rubrik (Ruang Terbuka UNJKita) Edisi Mahasiswa Penulis Buku pada tanggal 17 Maret 2018 lalu.

Ialah Tyo Prakoso alumni Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNJ Angkatan 2012 yang telah menulis buku kumpulan 21 cerita pendek berjudul, “Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra” pada tahun 2016.

Tyo, begitu panggilan akrabnya, tidak pernah meniatkan jika ia harus menulis suatu buku seperti judul di atas. Namun, Tyo memang gandrung menulis dengan beragam jenis tulisan, termasuk cerita pendek (cerpen).

Baca juga: Mengapa Mahasiswa (Tidak) Menulis?

Kegelisahan dan membaca ialah sebab Tyo menulis, hingga akhirnya tulisan (cerpen) Tyo ada tempat di satu dan tempat lainnya, tanpa terkodifikasi dengan baik. Kemudian dari sana, dalam keadaan sedang mengerjakan skripsi, maka terpikirkan cerpen-cerpen yang tidak terkodifikasi itu untuk dikumpulkan dan disulap menjadi sebuah buku narasi-narasi sejarah yang dirajut menggunakan sastra.

“Saya percaya, kita hidup karena kita memiliki sejarah. Dan hidup yang baik adalah perjuangan dari sejarah menjadi Sejarah. Nah, yang saya tulis adalah sejarah. Dalam artian, kisah-kisah masa lalu tiap-tiap tokoh yang saya buat di tiap cerita saya. Tokoh-tokoh itu, tanpa disadari, mereka sedang berjuang dari sejarah menjadi Sejarah,” jelas Tyo.

Menurut Tyo, menerbitkan secara indie pada buku pertama, itu berarti penulis tidak batasi oleh hal-hal yang acapkali menjadi pertimbangan penerbit. Penerbit indie memungkinkan hal itu. Dan buku pertama haruslah demikian. Setidaknya itu akan menggambarkan bagaimana perjalanan seorang penulis selanjutnya.

“Menulis itu luka, kata Eka Kurniawan,” ungkap Tyo.

Soal kendala menerbitkan buku sendiri, tentu banyak. Menurutnya, yang paling rumit adalah marketing dan pemasaran buku. Untungnya, saat itu Tyo bersama teman-teman yang baik dan selalu memberi dukungan padanya. Mereka semualah yang menemaninya menyusun, berdiskusi, memilih sampul, sampai acara meluncurkan buku.

Untuk bagaimana merajut antara fiksi dan fakta, Tyo sudah menuliskannya dalam esai “Sosiologi (dan) Sastra: Sebuah Telaah Kemanasukaan Atas Realitas dan ‘Realitas” [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/2017/04/sosiologi-dan-sastra-sebuah-telaah.html]. Dia tidak terlalu membuat garis tegas antara yang-fiksi dan yang-fakta atau sastra dan sejarah. Karena keberadaan imajinasilah yang mempertemukan keduanya.

“Kalau saya mau nulis cerpen yang menggunakan cerita Sejarah, maka saya riset dulu sih. Cari bahan-bahannya,” kata Tyo.

Salah satu contonya bagaimana ia merajut antara fiksi dan fakta; sastra dan sejarah, ialah cerpen “Gempa Waktu dan Kisah Tokoh Kita Pada Sebuah Simposium” [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/2017/05/gempa-waktu-dan-kisah-tokoh-kita-pada.html]. Cerpen tersebut berkisah tentang sosok bocah lelaki yang berada di kemelut peristiwa 1965. Dia menggunakan kisah keluarga DN Aidit sebagai bahan utama cerita. Tokoh utamanya adalah anaknya DN Aidit, Ilham Aidit.

“Jangan bermimpi jadi penulis hebat, berupayalah jadi pembaca tekun.” Zen Res.

Categorized in: