Marilah kawan, mari kita kabarkan
Ditangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan, mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang kebebasan

Ahad, 28 Oktober 1928 yang dikenal sebagai hari sumpah pemuda. Sebuah ikrar yang telah dideklarasikan dengan tegas dan lugas bahwa…

Pertama,
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedoea,
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga,
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Dengan dideklarasikannya ikrar tersebut lebih menegaskan bahwa pemuda ada untuk Indonesia, rela berjuang demi kemerdekaan Indonesia, dan menjadi garda terdepan dalam memerangi kezaliman. Namun tanpa dideklarasikan pun pemuda sudah dilabeli dan diamanahkan tugas yang sangat berat, seperti agent of change, tunas bangsa, masa depan negara, wajah negara, dan lain-lain.

Namun…
Apakah ikrar, label, dan amanah tersebut masih diemban pemuda zaman now?
Masihkah peduli pada negeri? Atau sibuk panjat diri?
Masihkah haus mengkritisi? Atau diam berpijak di negeri tirani?
Atau bahkan memilih dilabeli apatis dari pada menjunjung idealis?
Duh sebenarnya apa yang terjadi pada pemuda masa kini?
Apa ini hanya stand up comedy atau wajah asli negeri?

Hanya segelintir pemuda yang masih berjalan dengan memegang teguh amanah yang diwarisi tersebut. Katanya mereka mencari apa yang sebenarnya terjadi di negerinya ini. Dan katanya mereka percaya ditangannya tergenggam arah bangsa, maka dari itu mereka bergerak menyuarakan sebuah keadilan dan menyanyikan lagu tentang kebebasan. Jika saja pemuda berdiam diri dan hanya menonton kasus-kasus negeri sambil minum kopi disetiap pagi, negeri ini jadi negeri sang penguasa dan rakyat akan mati perlahan.

Dibawah kuasa tirani,
Ku susuri garis jalan ini,
Berjuta kali turun aksi,
Bagiku satu langkah pasti.

Namun apakah turun kejalan sebuah langkah yang benar?
Jika benar, apakah mereka yang tidak turun ke jalan bisa dibilang apatis?
Jawabannya tidak. Tidak ada yang memaksa untuk turun kejalan dan tidak ada yang menahan untuk tidak turun kejalan.

Dari pandangan subjektif penulis, pemuda itu ada empat jenis, yaitu

Pertama, mutlak apatis. Pemuda jenis ini sabodo teuing, sedikit pun tak ada rasa memiliki negeri. Karena semakin kita merasa memiliki semakin kita bergerak untuk memperbaiki, sangat berbeda dengan pemuda jenis ini. Jika ditanya opini tentang permasalahan Indonesia mereka akan menaiki sebelah alisnya lalu berkata

“hm ada korupsi E-KTP? Setnov nabrak tiang? Yaudah sih ada hukum yang ngurus kan”

Atau
“Duh ga ngerti lah gua, biar mereka-mereka aja yang ngurus.”

Dan yang lebih parahnya
“Bodo amat lah, ga ngaruh juga sama hidup gua. Toh gua makan nyari duit sendiri.”

Yap ini benar terjadi seperti apa yang dialami penulis.

Kedua, literasi panjat diri. Pemuda jenis ini pengetahuannya bisa diacungi jempol. Mengkritisi negeri dengan berbagai cara, contohnya dengan cara menulis dan debat dikelas. Mengapa debat dikelas? Karena pemuda jenis ini kebanyakan mengerti dan memahami hanya untuk penilaian dikelas. Dan kebanyakan pemuda jenis ini jika diajak diskusi diluar kelas dengan berbagai macam alibi menjawab tidak. Namun pemuda jenis ini lebih baik daripada pemuda jenis pertama tadi, setidaknya pemuda ini tau negerinya sedang tidak baik-baik saja.

Ketiga, peduli namun tak mengerti. Pemuda jenis ini harus dijaga baik-baik. Sebagian pemuda jenis ini hanya ikut-ikutan. Nah karena berawal dari ikut-ikutan, pemuda jenis ini tak tahu dasar permasalahannya, dikhawatirkan pemuda ini menerima informasi tanpa disaring. Dan sebagiannya lagi akan banyak mengikuti diskusi untuk mendapatkan informasi yang fakta dan aktual. Setidaknya peduli saja dulu, masalah informasi bisa didapat dengan mudah dengan cara searching ataupun diskusi.

Keempat, idealis. Pemuda ini lah yang menjadi garda terdepan dalam pergerakkan. Literasi bukan panjat diri yang diinginkan hanya mampu menyuarakan kegelisahan dalam hati. Mengkritisi dengan tujuan pembangunan negeri. Merangkul pemuda lain yang ingin bergerak namun tak memiliki wadah. Yang meneriakkan Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! dari dalam hati dan membuat hati yang lainnya bergetar hebat. Pemuda yang memiliki planning-planning hebat untuk Indonesia kedepannya.

Hidup adalah pilihan, Bung. Tinggal pilih mau jadi pemuda jenis keberapa. Jangan jadikan sumpah pemuda hanya jadi sumpah masa lalu. Negeri ini milik semua yang bernaung dibawahnya, bukan hanya milik mereka yang berkuasa. Bergerak maupun diam adalah kontribusi untuk negeri, entah kontribusi yang berbuah baik atau buruk nantinya.

Untuk kata terakhir penulis, getarkan hati dengan menyanyikan lagu pemersatu pemuda khususnya mahasiswa dari Sabang sampai Merauke, totalitas perjuangan

Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpang jalan

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
di lembar sejarah manusia

Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta

Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta.

 

Oleh : Silviana Eka Dewi Hapsari

Categorized in: