Pemimpin ialah orang yang memimpin, petunjuk, buku petunjuk (pedoman) yang asal katanya “pimpin”.1 Sedangkan Menurut Kartono (2010:18), pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.

Ada yang perlu disoroti dari apa yang dikemukakan Kartono, yaitu pemimpin ialah sosok yang memiliki kecakapan dan kelebihan dalam mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan Kartono, karena pemimpin ialah sosok yang mesti dapat mempengaruhi orang lain sebab kecakapannya dalam memimpin, dan juga sosok yang telah mendapat legalitas untuk memimpin suatu organisasi yang kemudian legalitas ini mendukung kemampuan leadership seorang pemimpin tersebut.

Legalitas itu dioptimalkan dengan amar ma’ruf nahi munkar yang salah contohnya ialah ketika ketua organisasi tempat dimana kita mengaktualisasi diri mengajak untuk melakukan sesuatu yang baik, semisal sholat di awal waktu.

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ الْعَيْزَارِ أَخْبَرَنِي قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ حَدَّثَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَسَأَ لْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِ ـ (رواه البخارى رَقْم ٤٩٦)

 

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid Hisyam bin ‘Abdul Malik berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah mengabarkan kepadaku Al Walid bin Al ‘Aizar berkata, Aku mendengar Abu ‘Amru Asy Syaibani berkata, “Pemilik rumah ini menceritakan kepada kami -seraya menunjuk rumah ‘Abdullah – ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” ‘Abdullah bertanya lagi, “Kemudian apa kagi?” Beliau menjawab: “Kemudian berbakti kepada kedua orangtua.” ‘Abdullah bertanya lagi, “Kemudian apa kagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” ‘Abdullah berkata, “Beliau sampaikan semua itu, sekiranya aku minta tambah, niscaya beliau akan menambahkannya untukku.” (HR. Bukhori No. 496).2

Bahkan posisi yang stategis di dalam satu organisasi juga dimanfaatkan oleh anak dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyarie, KH Abdul Wahid Hasyim. Suatu ketika, misalnya, Wahid Hasyim mengingatkan sebagian pemimpin Masyumi, yang dianggapnya mengabaikan waktu salat saat bersamuh. Pemimpin sidang menjawab urusan yang dibahas tak bisa ditinggalkan.3

Dari sana, organisasi ialah ruang dimana sekumpulan orang saling menebar kebaikan dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran untuk mencapai tujuan secara bersama-sama. Memanfaatkan kesempatan dimana saling menguatkan dalam menjalankan perintah-Nya dan menghindari apa yang dilarang-Nya, takwa, agar kemudian menjadi amal jama’i, beriringan dengan menyelesaikan misi-misi untuk visi bersama. Sebab takwa ialah hal yang perlu terus menerus dipupuk dalam setiap diri dan perlunya saling mengingatkan. Dalam pandangan Islam, bahwa ilmu pengetahuan tidaklah dianggap sebagai satu syarat hidup yang dapat berdiri sendiri. Di samping pengetahuan, diletakkan syarat lain, yaitu takwa… dua sayarat hidup tadi, ilmu dan takwa, dalam pandangan Islam tidak mungkin dijauhkan dan harus sama-sama cukup lengkap.4

Dari sana, kita tahu urgensi dari takwa juga ketajaman berpikir yang akan memproduksi hujjah untuk berdialektika, terlebih bagi pemimpin.

Ketajaman berpikir pun adalah hal yang mesti dimiliki oleh pemimpin organisasi –begitu pun anggotanya mengikuti kemudian, di samping takwa tadi, yang artinya pemimpin mesti bertakwa dan juga berilmu.

Kemajuan otak tidak disertai dengan kemajuan budi pekerti atau takwa telah menyebabkan nilai dan pandangan manusia jadi berubah banyak, tidak ke atas tapi ke bawah.5

                Sebelum tulisan yang jauh dari kata baik ini diakhiri, penulis akan mensarikan apa yang kemudian KH Wahid Hasyim utarakan dalam menjawab keinginan orang-orang yang tidak menginginkan Kementerian Agama (Kemenag). Saat itu orang-orang yang ingin Kementrian Agama dibubarkan berpendapat, beberapa pendapatnya bahwa Kemenag tidak dibutuhkan karena tugas-tugas Kemenag dapat diemban oleh kementerian-kementerian yang telah ada, seperti Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kehakiman.

KH Wahid Hasyim tetap pada pendiriannya, menurut beliau negara tetap perlu melayani masyarakat mengenai persoalan-persoalan agama. Kendati pun fungsi-fungsi Kemenag dapat dilakukan kementerian lain, KH Wahid Hasyim mengingatkan jika pembubaran itu terjadi akan menyinggung perasaan umat Islam. Karena dalam perjalanan pembentukannya pada tahun 1946, kementrian ini ada untuk menjawab keinginan banyak umat muslim untuk ada satu departemen yang dapat mengkoordinir persoalan-persoalan agama.

Ada 3 tipologi masyarakat yang memiliki persepsi soal Kemenag yang disinggung oleh KH Wahid Hasyim dalam pidatonya pada Konperensi antara Kementerian Agama dan Pengurus-pengurus Besar Organisasi Islam Non-Politik, pada November 1951, yaitu,6

Kelompok pertama, mereka yang tidak senang atas Kemenag karena dianggap akan mengganggu prinsip-prinsip mereka sendiri. Kelompok pertama ini ialah mereka yang tidak memiliki semangat keagamaan atau sekuler.

Kelompok Kedua, mereka yang antusias menyambut kementerian ini, dan cenderung menyandarkan harapan yang tinggi. Kelompok ini adalah umat Islam umumnya yang menjadi mayoritas penduduk.

Kelompok Ketiga, mereka yang menyambut baik tapi dengan sikap khawatir bahwa kementerian ini akan mengganggu mereka. Kelompok ini datang dari kalangan agama minoritas.

Dalam buku Deliar Noer, “Partai Islam di Pentas Nasional”, sang Kiai berpendapat adalah suatu yang wajar bila Kemenag memberi perhatian yang lebih pada umat muslim yang berdasarkan fakta bahwa umat Islam merupakan mayoritas, yang tentu perlu perhatian ekstra untuk merawat komunitas yang besar. Itu dilakukan bukan karena diskriminasi namun karena jumlah umat Islam yang besar. Pendapat itu keluarkan untuk menjawab keberatan kalangan non-muslim atas Kemenag yang mereka pikir lebih banyak mengurusi umat Islam.

Kemudian apa yang dilakukan KH Wahid Hasyim dapat membungkam orang-orang yang mengeritik kementerian ini hingga kementerian ini tetap bertahan, bahkan sampai batas-batas tertentu beliau dapat meyakinkan kalangan non-muslim untuk tidak perlu khawatir terhadap keberadaanya. B.J Bolland dalam salah satu bukunya menegaskan, “Wahid Hasyim-lah yang mengorganisasi Kementerian Agama sehingga menjadi penting dan meninggalkan jejaknya di situ.”

Wallahu ‘alam bishowab

Catatan Akhir:

[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemimpin diakses pada 6 November 2017 pukul 10.27 WIB
[2] Lidwa Pusaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadist diakses pada 6 November 2017 pukul 11.57 WIB
[3] Majalah Tempo Edisi 18 April 2011
[4] H. Aboebakar, Sejarah Hidup. hlm 815
[5] H. Aboebakar, Sejarah Hidup. hlm 815
[6] H. Aboebakar, Sejarah Hidup. hlm 873-875

Categorized in: