Berbicara mengenai konsepsi pedagogik kritis memang belum terlalu terkenal di Indonesia. Salah satu faktornya adalah keterbatasan literatur dan refrensi terkait kajian pedagogik kritis di Indonesia. Refrensi tersebut pun masih sangat terbatas dijumpai di perpustakaan perguruan tinggi. Tercatat baru ada dua buku dengan penulia dari Indonesia yang membahas mengenai konsepsi pedagodi kritis. Buku yang pertama berjudul Pedagogi Kritis: Perkembangan, Substansi, dan perkembangannya di Indonesia (2011). Buku ini diedit oleh H.A.R Tilaar, Jimmy Ph. Paat, dan Lody Paat. Buku ini menggambarkan pantologi pedagogik kritis yang menggambarkan masih sangat muda perkembangannya di Indonesia. Buku yang kedua berjudul Pedagogi Kritis: Sejarah, Perkembangan, dan Pemikiran (2013). Buku ini ditulis oleh Rakhmat Hidayat yang membahas perkembangan pemikiran pedagogi kritis melalui beberapa tokoh pendidikan.

Pedagogik kritis didefinisikan sebagai teori dan praktik pendidikan yang didesain untuk membangun kesadaran kritis terhadap fenomena atau realitas sosial yang menindas. Menurut Monchinski pedagogi kritis merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menentang dominasi serta keyakinan dan praktik-praktik yang mendominasi. Artinya secara hakikat pedagogi kritis mempunyai tujuan untuk memposisikan pendidikan sebagai alat pembebasan siswa.

Menurut Rakhmat Hidayat konsepsi pedagogi kritis dapat dimaknai kedalam dua hal yaitu sebagai paradigma berfikir dan gerakan sosial. Jika dimaknai sebagai paradigma berfikir, pedagogi kritis menjadi dasar untuk selalu mempertanyakan dan mengkritisi pendidikan itu sendiri baik dalam tataran filosofis, teori, dan kebijakan. Selanjutnya jika dimaknai sebagai gerakan sosial, pedagogi kritis mempunyai tujuan pendidikan yang egaliter, humanis, dan demokratis. Berbekal critical thinking dikalangan peserta didik bertujuan dapat membongkar status quo yang bersifat menindas.

Secara sosiologis, perkembangan pedagogi kritis di Dunia dipengaruhi oleh tradisi neo-marxian yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt. Tercatat beberapa nama seperti Max Hoorkheimer, Theodor Adordo,Herbert Marcuse, dan Erich Fromm yang mengembangkan pemikiran neo-marxis dalam tradisi mazhab frankfurt. Menurut mazhab ini teori mengenai kelas pekerja dari paham marxis didalam masyarakat tidak lagi relevan. Oleh karenanya, pertentangan kelas yang menjadi landasan paham marxis berdasarkan determinisme ekonomi tidak lagi relevan. Mazhab Frankfurt terkenal dengan melahirkan teori kritis. Teori kritis bukan lagi mengkritik ekonomi kapitalis, tetapi mengkritik kebudayaan yang muncul akibat kemajuan teknologi dan globalisasi.

Teori kritik menjadi istilah yang menggambarkan kritik sosial dialektis terhadap struktur sosial yang dominan. Salah satu asumsi penting dari teori kritis yang terlihat dalam pedagogi kritis adalah adanya asumsi bahwa kritik ideologi dapat menghapuskan kesadaran palsu dan memungkinkan individu dan kelompok untuk mengkritik dan menentang rezim yang berkuasa dan menindas. Menurut Marcuse tidak ada perubahan sosial tanpa munculnya rasionalitas baru dan sensibilitas individu. Marcuse juga menjelaskan tidak ada perubahan sosial radikal tanpa adanya perubahan radikal dari setiap agen perubahan sosial tersebut. Artinya adalah kesamaan pemikiran teori kritis dan pedagogik kritis adalah adanya penekanan pada penyadaran terhadap rasionalitas dan kesadaran kritis untuk melawan status quo yang menindas.

Peletak dasar konsepsi pedagogik kritis dunia adalah seorang pemikir dan praktisi pendidikan asal Brazil yaitu Paulo Freire. Seperti yang sudah kita bahas pada bagian sebelumnya bahwa setting sosial berpengaruh terhadap seorang tokoh dalam mengkonsepsikan teori, hal ini pun berlaku kepada Paulo Freire. Freire menjadikan pembebasan sebagai tujuan dan hakikat dari pendidikan karena keadaan Brazil saat itu dikuasai oleh rezim yang otoriter. Selain itu Freire mengalami kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929.

Paulo Freire pernah mengkritik mengenai proses pendidikan yang tradisional yaitu “sistem bank”. Konsep pendidikan “sistem bank” membatasi kebebasan peserta didik dan memasukan pengetahuan secara paksa kepada siswa. Dalam buku Freire yang berjudul “The Politic of Education; Culture, Power, and liberation” menjelaskan bagaimana kritik Freire kepada “sistem bank”. Menurutnya, pendidikan yang populer dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan saat ini adalah “sistem bank”. Dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Siswa menjadi obyek pasif yang penurut, sehingga siswa tidak diajarkan untuk sadar terhadap ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru, apalagi terhadap fenomena dan realitas sosial yang dihadapinya.

Sebagai solusi Freire dari kritiknya terhadap sistem bank, ada lima kontribusi mendasarnya yang memiliki arti khusus dalam dirkusus dalam praktik pedagogi kritis. (1) Penekanannya pada metode dialog dalam proses pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek aktif. (2) Memfokuskan pembelajaran kepada tataran praksis. (3) Penyadaran terhadap realitas dan fenomena sosial yang dihadapi oleh siswa. (4) Kegiatan pembelajaran terhadap pengalaman hidup siswa. (5) Proses pembelajaran terhadap pengalaman hidup sebagai kritis menjadi kritik dari berkembangnya proses pembelajaran sistem bank. Berkaca dari lima kontribusi mendasar menurut freire artinya pendidikan adalah proses pembebasan dengan tujuan penyadaran atas realitas dan fenomena sosial. Siswa dijadikan subyek aktif dalam proses pembelajaran dengan proses dialog yang bersifat dialektik dengan Guru. Sehingga disini diposisikan sebagai siswa yang bebas, pendidikan bertujuan sebagai alat pembebasan.

Berbicara terkait pendidikan sebagai alat pembebasan yang dinarasikan oleh Paulo Freire, dalam konteks ke-Indonesiaan sebenarnya sudah ada yang menarasikan konsepsi tersebut. Sebelum Freire menarasikan pendidikan yang membebaskan, seorang tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara menarasikan pendidikan sebagai alat memerdekakan siswa. Asumsi ini bukan tanpa dasar, tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar adalah alat memerdekakan siswa dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya sejak lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnyya lahir batin atau tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar akan kekuatannya sendiri. Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat).

Berdasarkan kutipan di atas, ada tiga poin yang dapat kita ambil dari tujuan pendidikan sebagai alat memerdekakan siswa. Ketiga poin tersebut adalah berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Asumsi dasar ini hampir sama seperti apa yang dinarasikan oleh Freire terkait pendidikan sebagai alat pembebasan.

Ki Hadjar Dewantara hidup pada fase awal tahun 1900-an kemudian mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tahun 1922. Sementara Paulo Freire lahir pada tahun 1921, kemudian Freire mendapatkan gelar doktor pada tahun 1959. Artinya disini adalah bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak bersinggungan langsung dengan konsepsi pedagogik kritis yang dinarasikan oleh Freire, karena mereka hidup pada fase yang berbeda. Namun menurut H.A.R Tilaar, Ki Hadjar Dewantara telah mengenal pemikiran pendidikan barat dari John Dewey, Maria Montessori, Kerchrnsteiner, dan Jan Lighthart yang mengadopsi pendidikan secara teoritis dan praksis. Kemudian Ki Hadjar Dewantara dihadapkan pada realitas sosial di Indonesia yang kental dengan kolonialisme dari Belanda. Kedua hal ini mereduksi Ki Hadjar untuk menarasikan pendidikan dengan asumsi dasar memerdekakan siswa.

Ki Hadjar Dewantara pernah mengkritik proses pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda. Proses pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda saat itu hanya mengedepankan intelektualisme. Sehingga pendidikan saat itu hanya menghasilkan pekerja murah bagi pabrik-pabrik milik Belanda. Proses pendidikan pada saat itu tidak bertujuan untuk menyadarkan siswa terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Kemudian Ki Hadjar Dewantara memanifestasikan pendidikan yang memerdekakan siswa dalam Taman Siswa. Hal ini senada dengan kritik yang digagas oleh Freire terhadap pendidikan sistem bank.

Menurut Ki Sri-Edi Suwarsono (Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa), Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga harus membuat orang mempunyai keinginan untuk bermartabat, berbuat lebih bagi masyarakat, bangsa, dan dunia. Artinya adalah proses pendidikan berusaha untuk penyadaran terhadap realitas dan fenomena sosial supaya siswa dapat ikut berkontribusi dalam perubahan di masyarakat.

Jika dilihat dari penerapan proses pembelajaran yang diterapkan oleh Ki Hadjar, Ki Hadjar Dewantara menggunakan pendekatan among dengan tiga semboyannya. Tiga semboyan tersebut antara lain Ing ngarso sung tulodo, di depan selalu menjadi teladan. Ing madyo mangun karso, di tengah anak didik, membangun semangat. Tut wuri handayani, di belakang mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya. Artinya adalah siswa dijadikan sebagai subyek aktif dalam proses pembelajaran dengan tujuan memerdekakan siswa dari realitas dan fenomena sosial.

Menurut H.A.R Tilaar, Pedagogik yang berkembang pada masa penjajahan adalah pedagogik penindasan, yang bertujuan untuk memproduksi pekerja murah untuk dieksploitasi dengan menghilangkan identitas kebangsaanya. Pendidikan di Taman Siswa berusaha menanamkan identitas nasional dengan berlandaskan pada budaya leluhur di Indonesia. Artinya disini adalah pendidikan yang dikonsepsikan oleh Ki Hadjar Dewantara berusaha menanamkan identitas nasional dengan tujuan pendidikan berdasarkan realitas sosialnya. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara menambahkan.

Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kecewaan dalam hidup kita berhubungan dengan sifatnya masyarakat seperti yang kita kehendaki.

Jika kita komparasikan secara penerapan proses pembelajaran dengan konsepsi Paulo Freire sangat menekankan pada proses dialog. Siswa dijadikan subyek aktif dalam belajar. Guru dan siswa dijadikan subjek belajar dengan obyeknya adalah realitas sosial. Ki Hadjar Dewantara juga memposisikan siswa dan guru sebagai subyek dalam belajar dengan proses pembelajaran sesuai dengan realitas sosial dengan tujuan memerdekakan siswa. Tujuan pragmatis Ki Hadjar Dewantara adalah memerdekakan siswa untuk membangun kesadaran kritis untuk menuju Indonesia yang merdeka. Secara keseluruhan perbandingan konsepsi pendidikan antara Ki Hadjar Dewantara dengan Paulo Freire dapat dilihat pada Skema di bawah ini.

Baca Juga: Arti dan Tujuan Pendidikan Menurut Pakar

Perbandingan Pemikiran Pendidikan: Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire

Perbandingan:

– Setting sosial Kehidupan

Paulo Freire: Hidup pada rezim yang otoriter. mengalami kemiskinan dan kelaparan.
Ki Hadjar Dewantara: Hidup pada zaman kolonialisme Belanda, dengan ketidakadilan dalam mengakses pendidikan.

– Kritik terhadap Model Pendidikan

Paulo Freire: Kritik terhadap model pendidikan sistem bank karena membatasi kebebasan siswa dan memasukan pengetahuan secara paksa kepada siswa. Siswa sebagai subyek pasif dalam belajar.
Ki Hadjar Dewantara: Kritik terhadap pendidikan yang mengedepankan intelektualisme sehingga siswa kehilangan identitas kebangsaannya. Pendidikan bertujuan untuk mmeproduksi pekerja murah bagi perusahaan belanda. Siswa menjadi subyek pasif dalam belajar.

– Tujuan Pendidikan

Paulo Freire: Pendidikan adalah proses pembebasan dengan tujuan penyadaran atas realitas dan fenomena sosial.
Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan sebagai alat memerdekakan siswa. Terdiri dari siswa mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Semua berdasarkan realitas dan fenomena sosial.

– Posisi Siswa dan Guru

Paulo Freire: Siswa dan guru sebagai subyek aktif. Kemudian realitas sosial adalah subyeknya.
Ki Hadjar Dewantara: Siswa dan guru sebagai subyek aktif. Kemudian realitas sosial adalah subyeknya.

– Penerapan Pengajaran dan Pembelajaran

Paulo Freire: Mengedepankan metode dialog, dengan menciptakan proses dialektik antara guru dan murid yang menjadikan siswa dapat bebas dalam berfikir dan berfikir kritis.
Ki Hadjar Dewantara: menggunakan pendekatan among dengan tiga semboyannya. Tiga semboyan tersebut antara lain Ing ngarso sung tulodo, di depan selalu menjadi teladan. Ing madyo mangun karso, di tengah anak didik, membangun semangat. Tut wuri handayani, di belakang mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya.

Jika dilihat dari beberapa perbandingan di atas, dapat penulis katakan bahwa Ki Hadjar Dewantara merupakan pioneer pedagogi kritis di Indonesia dan dunia. Sebelum Paulo Freire mengkonsepsikan pendidikan sebagai alat pembebasan, Ki Hadjar Dewantara lebih dahulu mengkonsepsikan pendidikan sebagai alat kemerdekaan. Asumsi penulis senada dengan H.A.R Tilaar yang menulis buku yang berjudul Sowing The Seed of Freedom: Ki Hadjar Dewantara as A Pioneer of Critical Pedagogy, 2014. Buku tersebut menarasikan Ki Hadjar sebagai pioneer dari aliran pendidikan pedagogi kritis dengan menanamkan nilai-nilai kemerdekaan dalam diri siswa sebagai subyek dari proses pembelajaran.

Jika dapat dismpulkan konsepsi pedagogi teoritis Ki Hadjar Dewantara sangat dipengaruhi oleh setting sosial ketika hidup. Pengaruh-pengaruh feodalisme dan kolonialisme yang menyebabkan pendidikan hampa kesadaran terhadap siswa mereduksi pemikiran Ki Hadjar mengenai pedagogi kritis. Walaupun tidak secara langsung Ki Hadjar Dewantara mengkonsepsikan pedagogi kritis dan tidak dipengaruhi oleh tradisi neo-marxian, namun secara praktik dan tujuan pembelajaran terkonstruksi konsepsi pedagogi kritis.

Melalui pendekatan among dengan tiga falsafah Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, dan Tut wuri handayani yang menjadi dasar pedagogik kritis Ki Hadjar Dewantara. Guru menjadi pamong dalam proses pembelajaran. Ketika didepan selalu menjadi teladan, di tengah siswa membangun semangat, dan di belakang mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya. Guru dan siswa menjadi subyek belajar, dengan memposisikan siswa sebagai manusia yang merdeka. Realitas sosial menjadi hal yang harus diperbaharui dan di kritisi sebagai obyek bersama dalam proses pembelajaran. Semua hal tersebut mempunyai tujuan membangun kesadaran kritis siswa untuk membentuk manusia yang merdeka.

Oleh: Fattah Amal Iko (SEMERU UNJ)

Categorized in: