Pagi ini, hirup pikuk keramaian kembali menyelimuti suasana kampus hijau. Berbagai pelajar berseragam abu-abu berlalu-lalang membawa map-map berwarna yang dipeluknya penuh kebanggaan. Sorot mata penuh harapan terlihat dari para orang tua yang menemani sang anak untuk daftar ulang ke kampus impiannya. Ya benar, hari ini merupakan waktu pendaftaran ulang bagi calon mahasiswa baru seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Selain kehadiran calon mahasiswa baru jalur SNMPTN, pagi ini kampus juga diramaikan dengan para peserta ujian SBMPTN. Beberapa mahasiswa pun tak mau kalah meramaikan kampus dengan berbagai kegiatan. Ada yang menjadi pusat informasi untuk calon mahasiswa baru, ada yang menjadi pemandu lokasi untuk peserta ujian, dan ada yang berjualan karena melihat adanya peluang.

Ada beberapa lokasi yang menjadi titik ramai di kampus hari ini, salah satunya adalah bank. Para calon mahasiswa baru diwajibkan untuk melakukan pembayaran UKT sebagai salah satu persyaratan daftar ulang. Siang ini, saya sedang berada di Bank BNI kampus untuk mencetak buku tabungan. Sambil menunggu antrian, saya memperhatikan setiap anak dan orang tua calon mahasiswa baru yang memasuki bank. Mereka sibuk sekali mengisi formulir dan melengkapi berkas pendaftaran. Ketika sedang asyik memperhatikan, ada seorang ibu yang masuk dan tersenyum sambil duduk di samping saya. Sambil menunggu antrian, saya pun bercakap-cakap dengan ibu tersebut.

“Nganter anaknya daftar ulang yah bu?” Tanya saya
“Iya nih dek, Alhamdulillah bisa masuk negeri.” Jawab ibunya sambil tersenyum
“Jurusan apa bu anaknya?” Tanya saya lagi
“Jurusan fisika dek.” Jawab ibunya sambil memperhatikan anaknya yang sedang mengambil nomor antrian.
“Wah lumayan mahal bu di fakultas itu, dapet golongan berapa bu UKT nya?”
“Iya dek, awalnya saya masuk ke golongan 6 karena waktu pengisian online anak saya salah masukkin data. Pas tau bayarannya 7,3 juta saya langsung mikir kok negeri mahal banget ya. Tadinya saya ragu masukkin anak saya kesini. Tapi kasian anaknya, akhirnya saya mengajukan keringanan ke kampus. Akhirnya bisa di masukkin ke golongan 3, trus saya juga dikabarin anak saya kalo kemarin kakak-kakak tingkatnya pada demo nuntut diturunin UKT nya. Alhamdulillah banget bayarannya pun jadi turun.” Jawab ibu tersebut sambil tersenyum

Ketika mendapat jawaban tersebut, seketika saya teringat perjuangan kawan-kawan yang melakukan aksi kemarin. Untuk pertama kalinya saya melihat langsung buah dari perjuangan aksi.
“Alhamdulillah yah bu, iya bu kemarin kita mengadakan aksi besar-besaran di depan rektorat menuntut dicabutnya kebijakan baru tersebut.” Kata saya melanjutkan percakapan.

Setelah saya menjawab, tiba-tiba ibu tersebut memegang tangan saya untuk bersalaman.
“wah adek mahasiswa yang kemarin ikut aksi? Terima kasih banyak dek, pas tadi tau bayarannya turun saya langsung seneng, anak saya bilang kakak kelasnya berhasil. Tolong bilangin temen-temennya yah dek, terima kasih banyak.” Tutur ibu itu sambil tersenyum dan air muka bahagia.

Saya terharu ketika mendengar jawaban ibu tersebut. Sorot mata ibu tersebut benar-benar menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Untuk pertama kalinya saya melihat langsung apresiasi yang diberikan untuk sebuah aksi. Bukan perkataan sinis atau kalimat pesimis yang biasa dilontarkan oleh para pragmatis.

Percakapan kami pun berlanjut ke berbagai topik seputar kampus pendidikan ini. Sampai akhirnya anak ibu tersebut datang dan menghampiri kami. Mereka bersiap naik ke lantai dua untuk mengantri pembayaran. Sebelum menutup percakapan dan mengucap salam, saya berseloroh santai,
“Bu, nanti anaknya jangan dilarang jadi aktivis sama aksi yah.”
“Iya dek.” Jawabnya sambil tersenyum.

Pada hari ini sungguh ada sebuah pelajaran yang saya dapatkan. Inilah buah dari sebuah perjuangan. Aksi yang dilakukan oleh mahasiwa kemarin hari berbuah manis. Namun, uniknya manisnya buah tersebut bukan dirasakan oleh kawan-kawan yang melakukan aksi. Tetapi orang lain, orang banyak, yang pada episode ini dirasakan oleh adik-adik calon mahasiswa baru.

Pada hari ini saya tersadar sebuah hal kawan, apa yang kita dapatkan hari ini, di negeri ini, di kampus ini bukanlah sebuah harta yang diwariskan oleh para pejuang atau pendahulu kita di masa lalu melainkan sebuah hutang yang wajib kita bayar kepada adik-adik kita dan generasi yang akan datang.

Oleh : Septian Wijaya

Categorized in: