Berita plagiarisme disertasi Nur Alam menyebar begitu cepat di media sosial dalam beberapa hari ini. Berita tersebut menjadi perbincangan berbagai kalangan. Nur Alam lulus dalam waktu 2 tahun dengan indeks prestasi 3,90 dan predikat summa cumlaude, terindikasi disertasinya sarat dengan tindak plagiat. Mirisnya itu terjadi di kampus saya UNJ (Universitas Negeri Jakarta), kampus yang sejak berdirinya didedikasikan untuk menjaga marwah akademik sekaligus lulusanya mayoritas diorientasikan untuk menjadi pendidik profesional, dan kaum profesional diberbagai bidang lainya.
Teringat Tokoh Besar
Tokoh – tokoh besar yang lahir, besar, dibesarkan dan membesarkan kampus yang berlokasi di Rawamangun Jakarta ini seperti Maftuchah Yusuf, Deliar Noer, Winarno Surachmad, R. Soedjiran Reksosoe-darmo, Jujun Suriasoemantri, Conny Semiawan, HAR Tilaar, Sudjiarto dan para begawan ilmuwan lainya tentu miris mendengar berita tersebut, termasuk ‘anak-anak ideoligis’ mereka yang giat merawat marwah akademik kampus ini.
Sambil menulis ini maaf saya sambil meneteskan air mata mengingat wajah para ilmuwan senior tersebut yang sebagian telah tiada, teringat wejangan integritas akademiknya yang tak pernah saya lupakan…
Plagiarisme : Praktik Culas robohkan moralitas Akademik
Tindakan plagiat atau Plagiarisme sesungguhnya tidak hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi lebih dari itu ia adalah praktik culas dan jahat yang merobek integritas dan moralitas akademik dan lembaga pendidikan. Bahkan memberi pengaruh pada runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga terhormat yang disebut Universitas. Saking pentingnya persoalan tindak plagiat ini Pemerintah melalui Kemendiknas mengeluarkan peraturan khusus yang termuat dalam Permendiknas No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Dalam 15 tahun terakhir ini kepercayaan publik terhadap Universitas turun drastis pasca terbongkarnya praktik korupsi di sejumlah Universitas ternama di Indonesia yang membuat para Rektor dan pejabat kampus meringkuk dalam penjara. Kasus plagiarisme semakin memperparah public distrust (ketidakpercayaan publik) terhadap Universitas. Seperti pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Tiga Faktor Sebabkan Plagiarisme
Mengapa plagiarisme terjadi di institusi terhormat Universitas? Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan plagiarisme terjadi di Universitas.
Pertama, faktor rendahnya integritas pengelola kampus. Ini terjadi karena pengelola kampus mengabaikan standar kualitas penerimaan mahasiswa, terutama mahasiswa pascasarjana. Akibatnya, maaf tidak sedikit para pejabat tinggi atau pengusaha memanfaatkan celah ini untuk masuk menjadi mahasiswa doktoral dengan mudah. Dibuatkan kelas khusus dan waktu khusus, sore atau malam hari, bahkan mungkin dengan harga khusus. Parahnya perlakuan khusus ini terjadi hingga penyusunan disertasi.
Kelonggaran perlakuan khusus ini pintu masuk plagiarisme karena lemahnya kontrol, termasuk kontrol terhadap kualitas disertasi. Ini makin diperparah jika pejabat atau pengusaha yang kuliah doktoral tersebut adalah kawan dari pejabat kampus tersebut atau memiliki kedekatan hubungan. Apalagi kemudian pejabat kampus tersebut menjadi promotor atau bahkan penguji disertasinya. Maka conflict of interest tidak akan bisa dihindari.
Kedua, faktor rendahnya integritas mahasiswa pascasarjana. Maaf, mereka yang memiliki jabatan atau sibuk bisnis sambil kuliah doktoral seringkali berpotensi mengabaikan nilai-nilai penting dalam dunia akademik, seperti tentang kejujuran akademik atau sejumlah indikator lainya terkait scientifict attitude. Jika rendahnya integritas mahasiswa bertemu dengan rendahnya integritas pengelola kampus maka tidak bisa dibayangkan betapa pintu plagiarisme itu terbuka lebar.
Apalagi jika bertemu juga dengan dosen yang rendah integritasnya. Misalnya ada satu dosen membimbing tigaratusan disertasi dalam tiga tahun, ini aneh dan membuka peluang plagiarisme karena _overload_ jumlah yang dibimbing. Parahnya dosen yang membimbing ratusan disertasi itu menikmati karena ada nilai rupiah dibalik bimbingan disertasi itu. Ini miris sekali mendengarnya.
Ketiga, faktor longgarnya uji plagiarisme. Kelonggaran ini terjadi bisa karena aturan yang sengaja dibuat misalnya dengan derajat kesamaan 40 % boleh lulus atau karena tidak menjalankan uji plagiarismenya, instrumen aplikasi uji plagiarisme tidak digunakan. Pada saat yang sama bisnis disertasi menemukan peluangnya. Praktek bisnis pembuatan disertasi ini bisa semakin parah karena ada semacam peluang untuk kerjasama dengan para dosen pembimbing disertasi yang tidak memiliki integritas.
Solusi atasi kasus UNJ
Bagaimana dengan kasus UNJ? Temuan tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemenristekdikti tentang tindak plagiat dari sejumlah peserta doktor di UNJ didasarkan pada analisis _meta data file_disertasi yang menunjukan sejumlah disertasi diproduksi dari satu komputer. Ini sulit dibantah secara scientifict karena semacam forensik digital.
Salah satunya adalah disertasi Nur Alam. Disertasi Nur Alam tersebut menurut tim EKA Kemenristekdikti terindikasi menyadur dari laman-laman penyedia arsip disertasi di internet. Diantara saduran tersebut terdapat pada Bab I sebanyak 74,4 persen dari tulisan di laman penyedia arsip disertasi. Kemudian, Bab II dan Bab III, Tim EKA menemukan kejanggialan lain, yakni ketidaksinambungan tulisan di bab-bab tersebut dengan isi disertasi yang ditulis. Menariknya promotor Nur Alam ini maaf adalah orang penting di kampus ini.
Temuan tim EKA Kemenristekdikti tersebut sudah sampai ke Menristekdikti dan ditindaklanjuti dengan membuat tim independen Kemenristekdikti yang cenderung menghasilkan temuan yang sama.
“It is my duty to end my service and resign my mandate as president”
Itu pernyataan Presiden Hongaria Pal Schmitt yang mundur pada Senin (2/4/2012) setelah gelar doktornya pada 1992 dicabut sesudah adanya pernyataan ia melakukan plagiat sebagian dari disertasinya. (http://www.bbc.com/news/world-europe-17586128)
Bagaimana dengan akhir plagiarisme di UNJ ? Kuncinya ada pada moralitas akademik, sikap tegas Menristekdikti dan sikap ksatria Rektor UNJ yang saya cintai. Selebihnya Wallahu a’lam (hanya Tuhan yang tau).
Oleh : Ubedilah Badrun, pengajar Sosiologi Politik FIS UNJ