Debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) putaran pertama telah digelar pada Kamis (17/1). Tanggapan positif dan negatif bergulir pada kedua pasangan calon. Bahkan, kritik atas format debat pemilihan presiden (pilpres) yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak terbendung hingga KPU merespons hal itu dengan membuka peluang untuk dirumuskannya kembali format debat pada putaran selanjutnya.
“Selain kritik bocoran kisi-kisi, KPU juga akan mengevaluasi teknis dan mekanisme debat selanjutnya,” Ungkap Wahyu Setiawan (18/1) selaku Komisioner KPU disitir dari laman sindonews.com.
Debat pilpres merupakan sarana baik untuk mencerahkan publik, salah satunya terkait penjelasan visi dan misi yang komprehensif dari masing-masing calon pasangan. Harapannya, visi dan misi kontenstan akan dieksplorasi saat debat hingga ke akar-akarnya. Visi dan misi akan tereksplorasi dengan format debat yang baik. Pada gilirannya, diharapkan pula bahwa kontestan akan saling bertanya dan menjawab sebagai bentuk uji kualitas satu sama lain mengenai ide besar yang diusung.
Namun, debat pilpres putaran pertama tidak menghadirkan itu sehingga KPU selaku formatur debat menuai banyak kritik. Selain itu, juga tak kalah penting ialah pada debat tersisa performa masing-masing calon harus cerdas dan kritis sehingga akhirnya membuka tabir pembeda yang ditawarkan oleh kedua pasangan calon.
Pada debat pertama, publik kurang tercerahkan karena muncul pertanyaan dan jawaban diklaim berbasis data. Namun, ketika dilakukan crosscheck tidak lebih berangkat dari tendensi.
Contohnya, pertanyaan yang di dalamnya mempertanyakan tentang caleg eks napi korupsi, capres Joko Widodo menyebut Partai Gerindra paling banyak terkait hal itu dengan mengklaim menukil data dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Namun, ternyata dihimpun dari beberapa media, rilis data dari ICW terbaru malah menunjukkan Partai Golkar sebagai penyumbang tertinggi jumlah caleg eks-napi korupsi.
Kemudian soal tax ratio yang Prabowo Subianto katakan bahwa sekarang hanya menyentuh 10% bahkan kurang. Sedangkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa pada tahun 2018 tax ratio sebesar 11,5%. Ini yang dimaksud publik menjadi kurang tercerahkan pada debat pertama. Ini mengkhawatirkan karena bisa publik saja mengonsumsinya mentah-mentah, mengingat literasi bangsa ini belum atau masih jauh dari kata baik. Hal semacam itu seharusnya dihindari, karena berpotensi memperkeruh suasana.
Untuk memunculkan iklim debat yang diharapkan tampaknya bisa dilakukan beberapa hal di antaranya; pertama, KPU dapat mengonsep format debat hingga dapat mengeksplorasi Grand Design kedua pasang calon sesuai tema yang diangkat.
Kedua, kontestan pilpres harus bijak, beritikad baik sebagai negarawan dalam debat, hingga tidak lagi keluar data-data keliru sebagai bentuk tanggungjawab mencerahkan calon pemilih dan mencerahkan kondisi masyarakat yang sempat keruh di tengah kontestasi politik ini.
Suntingan setelah dipublikasi di koran sindo dalam rubrik “Poros Mahasiswa” pada Kamis (24/1/19)
Comments